Menyoal Makar 11 Aktivis
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Pagi-pagi benar pada Jumat, 2 Desember 2016, kepolisian telah mendatangi rumah 11 aktivis. Masing-masing, dibawa ke Markas Komando Brigade Mobil, yang ada di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Mereka adalah Ahmad Dhani, Eko Suryo Santjojo, Brigjen (Purn) TNI Adityawarman Thaha, Mayjen (Purn) TNI Kivlan Zein, Firza Huzein, R achmawati Soekarnoputri, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Aliv Indar Al Fariz, Jamran, dan Rizal Kobar.
Polisi menuding mereka dengan tindak pidana berbeda. Dhani diduga melakukan tindak pidana sesuai Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang mengatur mengenai penghinaan kepada penguasa.
Jamran dan Rizal Kobar disangka melanggar Pasal 28 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, mengenai penyebaran berita bohong, atau informasi untuk menimbulkan kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Selain mereka bertiga, kepolisian menduga delapan aktivis lainnya, membuat pemufakatan jahat untuk melakukan makar, sesuai Pasal 107 juncto Pasal 110, juncto Pasal 87 KUHP.
Setelah menjalani pemeriksaan awal, tujuh aktivis dibebaskan, dan tiga lainnya, yakni Sri Bintang, Jamran, dan Rizal, dijebloskan ke sel di Rumah Tahanan Markas Polda Metro Jaya.
Dalam Rapat Kerja Polri dengan Komisi III DPR, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, menjawab pertanyaan mengenai masalah ini.
Menurut Tito, penangkapan harus dilakukan untuk menjaga kesucian Aksi Bela Islam III, yang digelar di lapangan Monumen Nasional. Sebab, kepolisian mendapatkan informasi, bahwa aktivis itu berusaha menyusupi aksi damai yang berisi doa dan salat Jumat berjamaah.
"Itu mereka (peserta aksi) mau ibadah, karena itu kita enggak ingin ada pihak lain yang mengganggu kesucian ini. GNPF (Gerakan Nasional Pembela Fatwa) bilang, 'Pak tolong jangan sampai ada orang yang mengganggu massa kita, memanfaatkan massa. Kita pun sudah enggak bisa pegang massa kalau jumlahnya sudah jutaan orang'," kata Tito Senin, 5 Desember 2016.
Tito menjelaskan, penangkapan ini dilakukan dalam rangka penegakan hukum terhadap mereka yang ingin memanfaatkan massa aksi sebagai momen, untuk bisa menduduki Gedung DPR.
"Kalau demo-demo biasa depan DPR silakan. Tetapi, kalau memaksa menduduki itu inkonstitusional," ujar Tito.
Kata Tito, aktivis ini sudah bersiap untuk menggiring massa selepas acara di Monas selesai untuk bergerak ke DPR. Bahkan, demi mengantisipasi kemungkinan ini, kepolisian menurunkan enam ribu personil untuk mengamankan gedung DPR. "Kita kelilingi semua DPR."
Namun Polri tak mau mengambil risiko, sehingga menangkap orang-orang yang dianggap sebagai aktor intelektual dari gerakan itu, sebelum mereka bisa menggerakkan massa di Monas.
Tito berbicara tak hanya berdasarkan konferensi pers yang dilakukan sejumlah aktivis ini sehari sebelumnya, pada Kamis, 1 Desember 2016. Sebab mereka juga telah menyiapkan perangkat teknis untuk menggiring massa.
"Untuk mencegah mereka hijack ini (Aksi Bela Islam), karena rawan sudah disiapkan juga mobil komando, maka paginya kita lakukan kegiatan penangkapan," ucap Tito.
Penangkapan ini sengaja dilakukan serentak dan di pagi hari menjelang digelarnya aksi. Meski sesungguhnya proses itu bisa dilakukan sebelum hari pelaksanaan Aksi Bela Islam.
Menurut Tito, jika penangkapan dilakukan sebelum hari H pelaksanaan Aksi Bela Islam, kepolisian khawatir tindakan ini akan menimbulkan isu berupa penggembosan terhadap aksi yang sudah direncanakan pada 2 Desember 2016 itu.
"Bapak-bapak (Anggota DPR) paham betul bagaimana kekuatan media sosial, dan mohon maaf bagaimana sadisnya media sosial. Kalau kita lakukan penangkapan sehari sebelumnya, maka yang terjadi nanti akan dibalik, seolah-olah ini dalam rangka penggembosan Aksi Bela Islam, wah itu berbahaya sekali," ucap Tito.
Kemudian melanjutkan, "Karena itu kita setting penangkapannya subuh, karena subuh tidak ada timing lagi untuk membangkitkan, menggoreng-goreng, memprovokasi massa besar."
Alasan Penahanan
Mengenai penahanan terhadap tiga tersangka, Tito bilang, dilakukan karena penyidik sudah memiliki bukti cukup mengenai tindak dugaan pidana yang mereka lakukan.
Sementara untuk yang lainnya, penyidik masih melengkapi bukti tambahan dugaan tindak pidana mereka. Hal ini karena, "Untuk penahanan diperlukan bukti yang cukup, faktor utamanya adalah kita masih memerlukan tambahan bukti-bukti yang cukup, sehingga kasus ini masih berkembang dan berjalan," kata Tito.
Selain melengkapi bukti tambahan, khusus untuk Rachmawati, penyidik mempertimbangkan aspek kesehatan.
Terkait keterlibatan purnawirawan TNI, Tito menegaskan Polri tak akan tebang pilih. Penegakkan hukum akan diterapkan terhadap mereka, tanpa memandang latar belakangnya.
Bahkan sebelum menangkap para tersangka, Polri telah berkomunikasi dengan jajaran TNI. "Sudah melakukan proses komunikasi, khususnya antara bapak Pangdam Jaya) dengan Kapolda (Metro Jaya), Pangdam juga lapor ke Panglima TNI, dan Panglima dukung. Pangdam bahkan kirimkan timnya dari Den Intel dan POM mendampingi penyidik polri."
Berkat penangkapan ini, Aksi Bela Islam yang digelar di Monas bisa berjalan damai tanpa gangguan. Massa pun membubarkan diri dengan tertib, sesuai kesepakatan yang sudah dibuat sebelumnya antara kepolisian dengan GNPF Majelis Ulama Indonesia.
Massa membubarkan diri usai salat Jumat berjamaah, sehingga selama aksi ini digelar tak ada insiden luar biasa.
"Kegiatan 212 itu berlangsung aman, tidak ada insiden berarti, dan gerakan yangg berupaya melakukan kekerasan di MPR-DPR, sudah kita lakukan penangkapan di subuh, maka bagian lapangannya menjadi bubar. Istilahnya gagal total, hasilnya aman," tegas Tito.
Sebelumnya Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Polisi Boy Rafli Amar, telah menjelaskan alasan kepolisian menangkap 11 aktivis ini dengan menggunakan pasal mengenai makar.
"Dalam pemahaman penyidik, perbuatan makar sebagai tindakan permufakatan atau makar dapat di dikategorikan delik formil. Tindakan permufakatan ini tidak harus menjadi kenyataan dulu baru bisa dihukum," kata Boy di Divisi Humas Polri, Jakarta, Sabtu 3 Desember 2016.
Boy mengakui, definisi makar yang digunakan Polri berbeda dengan persepsi di masyarakat selama ini. Yaitu makar sebagai tindakan yang mengulingkan pemerintahan sah dengan cara revolusi bersenjata.
"Ini pembelajaran hukum yang bagus di era demokrasi yang sangat mengedepankan kebebasan. Tetap, kita kembali harus diingatkan semua pihak, kebebasan yang ada, berdasarkan kebebasan yang tidak absolut di negara yang berdasarkan hukum," jelasnya.
Kepolisian tak ingin demokrasi justru memicu perbuatan inkonstitusional. Di sisi lain, Boy menolak bila persepsi Polri terhadap makar ini, dianggap membungkam demokrasi.
"Kritik dengan makar berbeda. Memberikan masukan kepada pemerintah dengan pandangan yang kritis itu lumrah di negara demokrasi, tetapi tetap dalam rambu hukum. Hukum harus dipegang," terangnya.
Meski tak ditahan, Polri berjanji untuk memproses para tersangka hingga mendapatkan kepastian hukum.
Kritik pada Polri
Upaya Polri untuk menjaga stabilitas nasional dengan menangkap para aktivis ini menuai kritik. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Aboe Bakar Al Habsyi, menilai penangkapan tak seharusnya terjadi.
Dia bilang dugaan makar yang dilakukan para tersangka belum memiliki aksi konkrit, sehingga akan memberikan kesulitan tersendiri pada penyidik untuk membuktikan sangkaan mereka.
"Situasi ini tak perlu terjadi. Akan setback (kemunduran). Kalau makar perlu data yang begitu kuat. Tapi baru sekadar wacana, baru suara, orang-orangnya belum siap. Jangan kita setback, main tangkap begitu," kata Aboe di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 5 Desember 2016.
Menurut Aboe, tak perlu para aktivis itu sampai ditangkap, karena mereka bisa dipanggil dan diajak berdialog.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Komisi III DPR Fraksi PDIP Trimedya Panjaitan.Dia meminta proses hukum terhadap para tersangka dilakukan secara hati-hati, agar penegakan hukum ini berjalan sesuai koridor hak asasi manusia.
"Yang harus dijaga Kapolri, jangan ada kesan kita seperti pada saat rezim Soeharto, penangkapan aktivis dilakukan secara represif dan kurang menjunjung HAM," kata Trimedya di gedung DPR, Jakarta, Senin 5 Desember 2016.
Namun secara garis besar Trimedya menyadari tindakan makar merupakan perbuatan yang berbahaya, dan yakin Polri punya alasan kuat menangkap para aktivis itu. "Sehingga memang caranya saja perlu dievaluasi oleh pihak Polri."
Evaluasi Pasal Makar di KUHP
Peristiwa ini menjadi unik karena di era demokrasi, masyarakat sebagai pemegang kedaulatan memang layak mengkritik pemerintahan.
Namun pasal mengenai perbuatan makar ini berpotensi membungkam demokrasi. Sebab, pasal ini dibuat pada era kolonialisme Belanda, dan kala itu kerap digunakan terhadap masyarakat yang menuntut kemerdekaan.
Menurut peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Miko Ginting, pasal mengenai makar ini bersumber dari bahasa Belanda aanslag, yang berarti serangan atau penyerangan. Maka, orang yang disangkakan melakukan perbuatan makar, mestinya telah memenuhi tindakan penyerangan.
"Sehingga kalau tidak ada serangan berat dan kekerasan, tidak ada makar," ucapnya saat dihubungi VIVA.co.id, Senin, 5 Desember 2016.
Miko melanjutkan, pemufakatan jahat untuk perbuatan makar, mestinya memenuhi dua unsur, yaitu niat untuk melakukan perbuatan dan melaksanakan perbuatannya. "Apakah ada niat dan perbuatan untuk maksud tertentu?"
Mengacu pada sejarah pasal mengenai makar, Miko menilai ada ketidakpastian dalam pasal itu, sehingga penerapannya seringkali tidak tepat. Pun berpotensi menjadi pasal karet.
Hal ini karena perumusan pasal ini tidak memenuhi prinsip lex certa dan lex stricta. Norma hukum harus jelas dan tepat. Oleh sebab tidak ada ketegasan kuat mengenai norma hukum mengenai pasal makar, dia meminta para pembuat aturan meninjau kembali pasal-pasal mengenai makar dalam KUHP.
Kebetulan saat ini DPR tengah membahas revisi Buku Kedua KUHP, yang berisi peraturan mengenai kejahatan.
"Kalau tidak dapat dirumuskan sebaiknya tidak perlu diatur," ungkap Miko.
Apalagi di era demokrasi, pasal mengenai makar akan mudah dimanfaatkan pemerintahan berkuasa untuk membungkam masyarakat mereka yang kritis. Terutama jika pemerintahannya sensitif.
"Kalau dari kaca mata era demokrasi kemudian semangat perlindungan HAM, tuduhan makar harus dipertimbangkan kembali," harap Miko.