Krisis Rohingya dan Sikap Sunyi Aung San Suu Kyi
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id – Nama baik Aung San Suu Kyi sebagai peraih Nobel Perdamaian tahun 1991 dipertaruhkan. Sikapnya yang tak sedikit pun memberikan komentar pada kekejaman militer terhadap Rohingya, di Rakhine, di negaranya sendiri, membuat banyak orang mempertanyakan keadilan, hak asasi manusia, dan demokrasi yang diperjuangkan serta telah mengantarnya menjadi peraih penghargaan bergengsi.
Indonesia, negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, bereaksi atas diamnya Suu Kyi. Dua demonstrasi besar menentang Myanmar terjadi di Jakarta dan Bandung. Sejumlah tokoh Islam di Indonesia meminta Nobel Perdamaian Suu Kyi dibatalkan. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri bahkan telah menyampaikan sikapnya.
"Pemerintah Indonesia menekankan bahwa perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia harus diberikan secara setara kepada seluruh masyarakat di Rakhine, termasuk minoritas Islam Rohingya. Mereka harus dihormati dan dijaga," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir di Jakarta, Rabu, 23 November 2016. Pemerintah RI juga meminta otoritas Myanmar untuk segera memulihkan situasi di wilayah Rakhine.
Lima hari setelah Pemerintah RI menyampaikan sikapnya soal kekerasan di Myanmar, Aung San Suu Kyi dikabarkan batal ke Indonesia. Menurut Kementerian Luar Negeri Myanmar, Indonesia yang meminta penundaan tersebut.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Myanmar, Kyaw Zay Ya, tidak menjelaskan alasan rinci dari penundaan tersebut. "Kami berdiskusi dengan pihak Indonesia yang belum siap dan menunda kunjungan itu," kata Kyaw Zay Ya, seperti dikutip dari BBC, Selasa 29 November 2016.
Aksi kekejian militer Myanmar pada etnis Rohingya, kembali naik ke permukaan. Bermula dari paparan Human Rights Watch, yang melaporkan penyerangan yang dilakukan oleh militer terhadap etnis mayoritas Muslim tersebut. Organisasi non pemerintah yang berbasis di Amerika Serikat itu menyatakan, tentara Myanmar terus melakukan penyerangan terhadap Rohingya di Rakhine, Myanmar.
Selama serangan sepekan itu, lebih dari 1.250 rumah dibakar dan 30.000 warga Myanmar terpaksa mengungsi. Direktur Eksekutif Human Rights Watch Wilayah Asia Brad Adams, mengidentifikasi, sekitar 820 struktur bangunan telah hancur di lima desa yang berlokasi di barat daya Myanmar, antara 10-18 November 2016.
"Kami memiliki data soal itu melalui pantauan citra satelit. Alih-alih menuduh dengan gaya dan penolakan militer, pemerintah seharusnya bisa melihat fakta sesungguhnya," ujar Adams, seperti dikutip dari Channel News Asia, 21 November 2016.
Selain itu, ia menuturkan, saksi dan aktivis juga melaporkan tentara yang membunuh, memperkosa perempuan, menjarah, dan membakar rumah-rumah penduduk Rohingya.
Jumlah itu dibantah pemerintah Myanmar. Mereka mengklaim hanya 300 rumah yang dihancurkan. Pemerintah Myanmar juga mengatakan, apa yang dilakukan oleh militer itu adalah sebuah serangan balasan terhadap aksi kelompok militan Muslim yang lebih dulu menyerang mereka.
Namun, pemerintah Myanmar menolak kedatangan pengamat internasional yang ingin mengetahui kondisi sebenarnya di negara tersebut.
Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa, hampir 70 Muslim Rohingya dinyatakan tewas dan sekitar 400 orang ditangkap, setelah militer menyerang dengan menggunakan helikopter tempur selama dua hari berturut-turut. Para aktivis juga mengklaim bahwa jumlah tersebut bisa jauh lebih tinggi.
PBB Bereaksi
Tak hanya Indonesia, sikap diam Suu Kyi juga membuat PBB angkat suara. Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee, mengkritik penanganan pemerintah Myanmar atas krisis ini. Ia mendesak PBB segera melakukan tindakan darurat perlindungan warga sipil.
"Pasukan keamanan tidak boleh diberikan keleluasaan untuk meningkatkan operasi militer mereka," katanya.
Penasihat Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pencegahan Genosida, Adama Dieng, mengatakan, reputasi Myanmar dalam pertaruhan. "Reputasi Myanmar di mata dunia internasional menjadi pertaruhan. Myanmar harus menunjukkan komitmennya untuk menghormati hukum dan hak asasi manusia bagi semua warganya," kata Dieng, seperti dikutip situs Reuters, Rabu, 30 November 2016.
Pejabat Tinggi Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNHCR, John McKissick, menilai kekerasan yang terjadi di Rakhine merupakan upaya pemerintah Myanmar untuk "membersihkan" etnis Muslim Rohingya. Menurut McKissick, selama enam pekan terakhir Angkatan Bersenjata Myanmar melakukan operasi dengan mengusir dan membunuh Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Hal ini berakibat pengungsian besar-besaran ke negara tetangga, Bangladesh.
"Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah harus berfokus pada akar penyebab. Militer Myanmar dan petugas penjaga perbatasan telah membunuh, memperkosa wanita, membakar, dan menjarah rumah. Bahkan, memaksa mereka untuk menyeberangi sungai," kata McKissick, saat berada di kota perbatasan kedua negara, seperti dikutip BBC, Jumat, 25 November 2016.
Bangladesh, negara tetangga yang menjadi sasaran pelarian Muslim Rohingya juga mempertanyakan sikap Myanmar. Kementerian Luar Negeri Bangladesh memanggil Duta Besar Myanmar di Dhaka, Myo Myint Than, untuk menyampaikan kekhawatiran terhadap meningkatnya operasi militer negeri junta itu selama enam pekan terakhir.
Menteri Luar Negeri Bangladesh, Kamrul Ahsan, bahkan telah mendesak Myanmar untuk memastikan integritas perbatasan dan menghentikan imigrasi warga Rohingya dari Negara Bagian Rakhine. "Kami berusaha mencegah ribuan warga Myanmar yang mengalami kesulitan (akibat operasi militer), termasuk perempuan, anak-anak, dan orang tua, yang terus mengalir ke perbatasan dan masuk ke Bangladesh," kata Ahsan, seperti dikutip dari BBC, 24 November 2016.
Ia juga mengungkapkan, ribuan pengungsi Rohingya ini berusaha memasuki Bangladesh melalui jalur darat dan laut.
Krisis kemanusiaan ini akhirnya menjadi sandungan bagi Suu Kyi. Apalagi sejak partai yang dipimpinnya menjadi pemenang pemilu tahun lalu, Suu Kyi dan partainya menjanjikan rekonsiliasi nasional. Tapi kasus kekerasan pada Muslim Rohingya membuat kecewa.
Enam pekan setelah serangan militer Myanmar pada Rohingya, Suu Kyi tetap diam. Apalagi ini bukan serangan pertama. Tahun 2012, apa yang terjadi di Rohingya juga menjadi pembicaraan internasional.
Saat itu, Suu Kyi juga tak bersuara. Kini, PBB sudah angkat bicara, dan jika Suu Kyi terus memilih sunyi, masih layakkah gelar sebagai pejuang demokrasi dan hak asasi manusia tersemat di dadanya?