Menunggu Keajaiban Sel Punca
- Pixabay
VIVA.co.id – Teknologi pengobatan yang memanfaatkan stem cell atau sel punca dianggap sebagai hal yang menjanjikan. Kecanggihan sel punca adalah menghilangkan kebutuhan akan obat-obatan, perangkat pembantu kedokteran, hingga operasi pada pasien.
Hal ini karena sel punca bisa diambil dengan memanfaatkan sel induk atau sel yang berada dalam perkembangan embrio manusia, atau bisa juga disebut sebagai sel awal yang bisa tumbuh menjadi berbagai organ manusia.
Sifatnya yang regeneratif membuat pasar sel punca global dianggap menjanjikan. Laporan Frost & Sullivan dalam Analysis of the Global Stem Cell Market menunjukkan pendapatan pasar sel punca mencapai US$40,01 miliar pada 2013.
Angka ini diprediksi meningkat hingga tiga kali lipat pada 2018 menjadi US$117,66 miliar, dengan rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 24,1 persen. Ini termasuk juga menghitung pasar sel punca dewasa maupun embrionik.
Dalam laporan tersebut juga terlihat, walau Amerika Utara menjadi pemimpin dalam pendapatan pasar sel punca, dengan kontribusi pendapatan 50 persen, Asia Pasifik disebut sebagai wilayah dengan pertumbuhan terpesat setiap tahunnya. Bahkan, pasar sel punca di Apac, yang pada 2013 bernilai US$5,60 miliar, pada 2018 diprediksi meningkat menjadi US$18,71 miliar.
“Pendanaan untuk penelitian stem cell telah meningkat signifikan sejak 5 sampai 10 tahun belakangan. Bahkan, perusahaan ventura kapital yang berinvestasi di riset ini juga banyak. Pemerintah pun mulai menyadari pentingnya industri sel punca,” ujar Frost & Sullivan Healthcare Consultant, Sanjeev Kumar, dikutip dari PR News Wire.
Dikatakan peneliti dari IPB, dr. Berry Juliandi, sel punca memang cukup menjanjikan, karena bisa dipakai untuk berbagai fungsi, termasuk mengganti kerusakan sel dan jaringan. Bahkan, baru-baru ini ada penelitian yang menyebut jika sel punca bisa membuat penderita tuna rungu bawaan untuk bisa mendengar kembali. Berry mengakui hal ini dan hasil penelitian itu pun diklaim bisa dipercaya.
“Sel punca berpotensi untuk berbagai hal, seperti antiaging (penuaan), terapi kelumpuhan, osteoarthritis, sampai diabetes dan lainnya. Semua memungkinkan, namun perlu tahap-tahap lanjutan untuk menyempurnakannya, sebelum diaplikasikan ke manusia,” kata Berry melalui pesan singkatnya kepada VIVA.co.id, Jumat, 25 November 2016.
Manfaat lainnya, kata Berry, adalah digunakan sebagai model dalam penelitian dasar mengenai perkembangan hewan dan manusia. Bahkan, bisa juga digunakan untuk bahan tes berbagai obat sebelum diberikan ke manusia, serta personalized medicine.
“Jadi potensinya sangat beragam dan banyak. Namun memang semuanya masih perlu disempurnakan,” katanya.
Terapi Menjanjikan
Penelitian dan terapi sel punca sejatinya telah dilakukan sejak 1996. Masuk ke Indonesia pada 2007. Seperti pengobatan biasa, terapi ini menggunakan media jarum suntik untuk memasukkan sel ke tubuh pasien. Sel tersebutlah yang akan menggantikan atau memperbaiki jaringan yang rusak.
Berdasarkan sumbernya, sel induk yang digunakan dalam terapi sel punca, terdiri atas sel punca embrionik dan dewasa. Embrionik adalah sel yang diambil dari massa sel dalam, atau suatu kumpulan sel yang terletak di satu sisi blastocyst, yang berusia lima hari dan terdiri atas 100 sel. Sementara itu, sel punca dewasa adalah sel induk yang ada di semua organ tubuh, terutama di sumsum tulang belakang, darah tali pusat ataupun fetus.
Salah satu yang dianggap telah berhasil diaplikasi pada manusia adalah kerusakan sel pendengaran yang diderita tuna rungu karena kelainan genetik. Tim ilmuwan Juntendo University, Tokyo, Jepang, yang dipimpin Kazusaku Kamiya, mengklaim mampu memanfaatkan sel punca koklea yang nantinya digunakan untuk menggantikan sel yang rusak pada telinga.
Koklea merupakan bagian telinga yang penting bagi fungsi pendengaran. Bentuknya mirip saluran spiral yang berpola dua per tiga putaran mengitari pusat tulang.
“Kami mengoreksi mutasi gen yang dinamakan Gap Junction Beta 2. Gen ini yang menyebabkan hilangnya pendengaran satu dari 1.000 anak yang lahir,” kata Kamiya.
Manusia lahir memiliki 11.000 sel rambut di masing-masing telinga. Sel ini sangat vital untuk bisa mentransmisikan suara dari telinga ke otak.
Saat usia senja, dia melanjutkan, sel rambut telinga juga ikut rentan. Sebagian manusia mengalami beberapa sel rambut ini mati, baik karena sel tubuh yang semakin tua, daya suara yang berlebihan, sampai konsumsi obat tertentu.
Kamiya berharap dalam lima hingga 10 tahun lagi, bisa ditemukan cara untuk memasukkan sel punca ini ke dalam telinga, sehingga bisa meregenerasi sel yang hilang dan membuat pendengaran kembali normal.
Selain pendengaran, sel punca juga diklaim bisa mengobati penyakit jantung. Dua relawan pasien penyakit jantung di Inggris mengklaim telah sembuh.
Konsultan dan direktur kardiologis di RS St. Bartholomew, Profesor Anthony Mathur, mengatakan bahwa sel punca yang digunakan pada kedua pasien itu diekstrak dari sumsum tulang masing-masing. Kemudian, sel itu disuntikkan ke dalam area yang rusak di dalam jantung.
Terapi sel punca yang banyak dilakukan di Indonesia adalah untuk diabetes. Hanya dengan menempelkan sel punca ke dalam pankreas yang rusak. Di Singapura, perusahaan biomedik bernama CellResearch Corporation telah mengklaim keberhasilan ini.
Bahkan, penelitian mereka menarik perhatian badan obat dan makanan Amerika (FDA). Menurut CEO CellReseach, perusahaannya saat ini telah bernilai US$700 juta dengan kepemilikan 39 paten di seluruh dunia. Mereka mengklaim telah menyembuhkan 3.000 luka yang tidak bisa disembuhkan, memperbaiki kornea mata, dan memperbaiki penglihatan pada 80 pasien mata.
Di belahan dunia lain, penelitian sel punca untuk penyakit lain masih berlangsung, bahkan masih dicari penyempurnaannya untuk pengobatan jantung koroner, pelemahan pompa jantung, stroke, Parkinson, hingga kanker, dan gangguan tulang.
Kontroversi Sel Punca
Meski menjanjikan, penelitian medis memang tidak pernah lepas dari kontroversi. Kumar dari Frost & Sullivan mengatakan, regulasi yang dulu sempat memasung penelitian ini mulai perlahan kendur. Namun, isu pelanggaran etik dan hukum masih menghantui.
Permasalahan etika yang muncul ke permukaan dikarenakan sumber sel induk adalah berupa embrio dari hasil abortus, zigot sisa, dan hasil pengklonan. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan, seperti tanggung jawab moral, pelanggaran hak asasi manusia, dan berkurangnya penghormatan pada makhluk hidup.
Isu ini tidak ditampik oleh Berry. Menurut dia, kontroversi lebih pada pemakaian sel punca dari embrio yang dianggap tidak etis. Selain itu, penggunakan sel punca manusia kadang digunakan untuk eksperimen dengan objek lain.
“Penggunaan sel punca embrio dianggap tidak etis. Eksperimen menggunakan sel punca manusia untuk dipakai ke hewan, atau dari hewan ke manusia, juga mengandung potensi pelanggaran etika. Namun, masih banyak jenis sel punca yang tidak kontroversial karena bersumber dari sel individu dewasa dan eksperimennya dari manusia ke manusia, atau hewan ke hewan,” kata Berry.
Namun begitu, dia yakin jika pertumbuhan terapi sel punca di Indonesia tumbuh dengan sangat baik. Baik dari jumlah penelitian maupun kepercayaan pemerintah, dianggapnya sudah meningkat dengan pesat.
Sifat sel punca yang regeneratif secara jelas memberikan harapan yang besar bagi dunia kesehatan. Bukan tidak mungkin, tidak ada lagi penyakit yang tidak bisa diobati karena sel yang rusak dalam tubuh dan menyebabkan penyakit bisa diperbaiki kembali. Dalam waktu tidak sampai 10 tahun, kemungkinan sel punca sudah bisa digunakan untuk terapi kesehatan. Asal permasalahan etika bisa diselesaikan terlebih dahulu.