Jaminan Korban Teroris yang Sempat Terlupakan
- BNPT
VIVA.co.id – Aksi terorisme yang terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur kembali makan korban. Kali ini, buah kekejaman kejahatan kemanusiaan tersebut, tewasnya seorang anak, sementara tiga anak lainnya menderita luka parah. Aksi-aksi teror memang tak bisa tidak, selalu menyisakan korban. Lalu klausul bantuan korban karena itu dirasa penting diatur dalam RUU Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme. Sebuah langkah penanggulangan teror yang berperspektif korban.
Lebih dari 10 bulan setelah adanya kejadian bom Thamrin pada Januari 2016 silam, digulirkan revisi Undang Undang Penanggulangan Terorisme. Revisi dinilai perlu lantaran undang-undang yang sebelumnya dicap masih memiliki banyak kekurangan dalam pemberantasan aksi terorisme yang masih terjadi dari waktu ke waktu di Indonesia.
Selain klausul penguatan peran Detasemen Khusus atau Densus 88 Antiteror, RUU tersebut juga memuat sejumlah perubahan. Salah satunya adalah soal kepastian penanganan korban baik bantuan maupun program pemulihan yang dijamin oleh negara. Pasalnya dalam regulasi yang ada, korban teroris selama ini kurang diperhatikan. Pun tanpa regulasi yang mengikat, pemerintah dinilai kurang serius memperhatikan korban teroris.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Abdul Haris Semendawai mengakui bahwa perhatian terhadap korban terorisme selama ini cenderung minim. Bahkan menurutnya, kerap terjadi bahwa korban mendapat bantuan dana hanya sebatas penanganan awal di rumah sakit.
Padahal penanganan korban terorisme patut dilakukan secara berkesinambungan termasuk mengait terapi psikologis para korban.
Menunggu Undang-undang Rampung
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan atau Menko Polhukam Wiranto mengatakan, klausul bantuan korban sudah dimasukkan pemerintah dalam draf RUU yaitu revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme. RUU tersebut tengah dibahas di DPR melalui Pansus RUU Terorisme. RUU termasuk dalam daftar RUU prioritas untuk dituntaskan DPR. Produk legislasi itu diketahui telah mulai dibahas pada masa sidang yang lalu.
“Memang kami baru mengusulkan dalam UU Terorisme yang direvisi. Kami mengusulkan adanya bantuan kompensasi korban-korban terorisme,” kata Wiranto di Kompleks Kepresidenan, Jakarta sebagaimana dikutip dari VIVA.co.id, Jumat 18 November 2016.
Dia mengatakan, pemberian santunan kepada korban bom perlu diatur dalam peraturan perundangan. Dengan diatur dalam UU, maka akan bisa dipertanggungjawabkan dalam hal keuangan negara. Wiranto juga mengatakan, sudah mengomunikasikan hal anggaran tersebut dengan Kementerian Keuangan. Pemerintah karena itu tinggal menunggu perampungan RUU di legislatif. “Tinggal di DPR. Barangnya itu sudah di DPR,” kata Wiranto.
Namun Wiranto mengatakan, terganjalnya legal formal soal pemberian dana bantuan kepada korban tak menjadikan pemerintah tinggal diam atas jatuhnya korban aksi terorisme. Pemerintah sebagai contoh, tetap membantu korban ledakan bom Samarinda. Pemberian bantuan juga dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Wiranto menyebutkan bahwa dia juga langsung mengirim staf ke Samarinda secara khusus untuk mengurus bantuan bagi para korban.
”Tapi kemarin karena masalah kemanusiaan dan kita tahu bahwa belum tentu para keluarga korban terorisme adalah orang mampu, maka kami putuskan untuk memberikan bantuan kepada korban bom di Samarinda itu,” ujar Wiranto.
Hanya Fokus ke Pelaku
Hal ihwal mengenai korban terorisme ini lebih awal sudah disampaikan oleh LPSK. Menurut lembaga tersebut, selama ini pemerintah terlalu fokus pada penangkapan para pelaku teror dan cenderung menafikan korban teroris. Padahal para korban mengalami trauma tak hanya secara fisik namun juga psikologis.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, lembaganya sendiri menjadikan perlindungan terhadap korban terorisme menjadi proritas selama ini. Namun akibat anggaran yang juga terbatas, maka LPSK tidak bisa menyantuni korban secara menyeluruh dan berkepanjangan.
Hingga Oktober 2016, Abdul Haris mengatakan ada ratusan korban terorisme yang pernah ditangani oleh LPSK. Oleh karena itu, Abdul Haris menyambut baik masuknya klausul soal korban dalam revisi UU Terorisme. LPSK menurutnya, juga siap memberikan masukan.
“Ada sejumlah progres yang tengah dilakukan, misalnya melakukan revisi pada UU Nomor 15 Tahun 2003. Sebelumnya aturan tersebut dianggap kurang dalam mengimplementasikan korban terorisme,” kata Abdul Haris Semendawai.
Sementara Kepala BNPT Suhardi Alius juga menilai penting adanya perhatian khusus terhadap para korban terorisme. Aturan mengenai korban, layak diundangkan.
“Orang-orang hanya fokus pada pelaku. Lantas bagaimana dengan korbannya? Ini yang perlu kita tinjau lebih dalam lagi,” kata Suhardi dalam acara workshop tingkat nasional tentang “Kesejahteraan Saksi dan Korban Terorisme” di Jakarta, 25 Oktober 2016 lalu.
Sejak tahun 2001, Indonesia sudah mengalami aksi teror yang memakan banyak korban jiwa. Kejahatan terorisme dianggap tak hanya menyebabkan korban secara raga namun juga sosial, ekonomi dan mental. Sayangnya, aturan mengenai perlindungan korban baru ada dalam Undang Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang diundangkan pada tahun 2014.
“Kita bisa lebih tegas lagi dalam menangani hal ini (korban), termasuk soal revisi. Itu bisa diatur lebih rinci dan mendalam oleh LPSK,” katanya.
Anggaran Cadangan
Dihubungi secara terpisah, Ketua Pansus revisi UU Terorisme, Muhammad Syafii mengatakan, semua fraksi yang ada di DPR mendukung adanya pasal kompensasi atau bantuan bagi korban terorisme.
“Filosofi produk UU harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah. Dengan filosofi itu agak aneh kalau korban bom tidak diberi bantuan apapun. Itu yang jadi salah satu poin krusial kita dan alhamdulillah semua fraksi dan Kepala BNPT Suhardi sudah ber-statement harus diberi bantuan,” kata Syafii saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat 18 November 2016.
Apabila RUU tersebut sudah diundangkan nantinya, maka korban dan keluarganya akan mendapatkan bantuan dari negara. Korban akan mendapatkan hak rehabilitasi.
“Kasihan itu 1.098 anggota (korban) yang tergabung dalam AIDA (Aliansi Indonesia Damai) dan Penyintas Nusantara, semuanya difabel akibat bom itu. Mereka belum dapat sentuhan apa pun dari pemerintah. Ini mereka berjuang sendiri atasi trauma akibat peristiwa itu. Jadi kami ingin ini disantuni,” lanjutnya.
Pansus menyatakan bahwa menurut laporan yang mereka terima, jusru orang asing yang menjadi korban terorisme yang lebih mudah mendapatkan bantuan di Indonesia.
Hal yang juga disoroti oleh DPR adalah perlunya penguatan peran BNPT sehingga bisa memberi label penilaian pihak yang bisa dianggap sebagai korban terorisme. Setelah adanya semacam verifikasi terhadap korban terorisme, maka para korban akan mendapatkan hak-haknya dalam jangka waktu tertentu dari negara. Sementara nominal bantuan, tidak bisa dipastikan dalam UU dan akan diatur dalam peraturan lanjutannya.
“Kami tidak bisa prediksi berapa kali peristiwa teroris dan skala korban. Makanya tak bisa dianggarkan di salah satu kementerian. Tapi bisa dimasukkan ke dalam dana cadangan negara, biaya anggaran di Kementerian Keuangan yang sewaktu-waktu bila dipelukan, bisa dikucurkan,” kata Politikus Gerindra tersebut.