Proses Panjang Wujudkan Kendaraan Rendah Emisi
- VIVA.co.id/M. Ali. Wafa
VIVA.co.id – Jika diperhatikan, saat ini banyak warga kota besar di Indonesia yang berjalan kaki, atau mengendarai motor dengan memakai masker sebagai penutup hidung dan mulut.
Umumnya, masker dikenakan oleh mereka yang sedang sakit. Namun, tidak sedikit warga yang memanfaatkan alat tersebut untuk melindungi tubuh mereka dari polusi udara. Mereka menganggap, polusi udara saat ini sudah berada di level yang mengkhawatirkan.
Selain industri, faktor lain yang banyak menyumbang polusi di Indonesia adalah kendaraan bermotor. Menurut data dari Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek, jumlah kendaraan yang ada di DKI saat ini mencapai 25 juta unit.
Artinya, potensi polusi udara yang dihasilkan di Ibu Kota saja sudah sangat tinggi. Belum lagi, jika digabungkan dengan kendaraan lain yang ada di kota-kota lainnya.
Dari data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, tercatat kualitas indeks udara di Jakarta berada pada level sedang, dengan angka 50-60 Partikulat (PM10).
Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian, Gusti Putu Suryawiryawan mengatakan, dari data UIO (Unit in Operation), saat ini ada 13 juta mobil yang menghasilkan 53 megaton CO2 (gas karbon) di Indonesia.
"Jika kita menjalankan bisnis seperti biasa, bisa dibayangkan, Indonesia di 2030 menjadi penghasil 100 megaton gas karbon. Akan menjadi negara yang lebih kotor polusi udaranya," ungkapnya.
Sementara itu, menurut Sekjen Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara, kerugian yang harus ditanggung masyarakat akibat polusi kendaraan bermotor mencapai Rp38 triliun per tahun.
"Berdasarkan data dari PBB, kerugiannya sekitar Rp38 triliun di Jabodetabek, dalam satu tahun," kata Kukuh.
Angka tersebut, lanjut Kukuh, didapat dari jumlah pembelian obat, perawatan dan juga kerugian akibat masyarakat yang tidak masuk kerja, karena polusi udara yang ditimbulkan.
Selanjutnya….masih pakai standar emisi lama
***
Menurut beberapa pihak, salah satu penyebab tingginya polusi yang dihasilkan kendaraan bermotor adalah standar emisi yang diterapkan.
Hingga saat ini, Indonesia masih memakai standar emisi Euro 2, yang resmi ditetapkan oleh Uni Eropa 20 tahun lalu.
Sementara itu, beberapa negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand, saat ini sudah menerapkan standar Euro 4. Bahkan, Singapura telah memakai Euro 5.
Sekadar informasi, standar Euro saat ini menjadi patokan bagi industri otomotif untuk merancang dan membuat kendaraan yang efisien dan ramah lingkungan.
Standar ini mengatur kadar polusi yang boleh dihasilkan oleh semua kendaraan bermotor, mulai dari sepeda motor, mobil pribadi hingga truk dan bus.
Dengan menaikkan standar emisi, diharapkan kualitas udara di Indonesia tidak akan bertambah parah. Karena, polusi yang dihasilkan kendaraan berkurang jumlahnya.
Selain itu, industri otomotif nasional juga akan terbantu, bila pemerintah Indonesia mau menerapkan Euro 4.
Hal ini karena, selama ini pabrikan otomotif memakai platform terbaru dari principal, untuk merancang dan memproduksi kendaraan.
Platform tersebut, tentunya sudah disesuaikan dengan kebutuhan pasar global. Dan pasar otomotif global saat ini menjadikan Euro 4 dan Euro 5 sebagai standar.
Jika teknologi mesin Euro 4 dibawa ke Indonesia, harus dilakukan penyesuaian dengan bahan bakar yang ada di Tanah Air. Hal itu akan berimbas pada tambahan biaya riset dan produksi.
Menurut External Affairs and Public Relations Director General Motors Indonesia, Yuniadi Haksono Hartono, alasan GM tidak menghadirkan mobil baru bermesin diesel di Indonesia adalah karena standar emisi yang masih Euro 2.
“Kalau di negara-negara lain, sudah standar emisi Euro 4 hingga Euro 5. Sementara, Indonesia masih Euro 2. Jadi, bahan bakar itu kan harus disesuaikan," ujar Yuniadi beberapa waktu lalu.
Hal yang sama juga diutarakan Product Development Director Isuzu Astra Motor Indonesia, Edy J Oekasah. “Harus ada tambahan biaya pengembangan mesin untuk turun jadi Euro 2,” ungkapnya.
Sementara itu, pemerintah mengaku, saat ini Kementerian Perindustrian sudah memiliki rencana untuk mengganti standar Euro 2 menjadi Euro 4.
"Saya sedang mengkaji dengan Menperin, bagaimana Euro 4 harus segera dikaji dan diterapkan di Indonesia," kata Wakil Presiden, Jusuf Kalla, beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan, dengan naiknya standar bahan bakar tersebut, diharapkan akan memacu adrenalin persaingan Industri otomotif Indonesia untuk bersaing di pasar dunia.
"Produsen mobil tentu akan senang dengan naiknya bahan bakar tersebut, supaya nantinya bisa ekspor lebih banyak lagi," ujarnya.
Selanjutnya….kesiapan Pertamina
***
Dari komentar para pelaku industri otomotif, terlihat jelas bahwa penerapan Euro 4 tergantung dari kebijakan pemerintah dan juga penyedia BBM, yakni PT Pertamina.
Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohannes Nangoi mengungkapkan, ia masih terus mendesak pemerintah untuk dapat memberikan bahan bakar yang layak.
"Bahan bakarnya bagaimana? Jangankan hibrida, standar untuk BBM saja masih belum jelas. Karena, banyak sekali bahan bakar yang dijual pemerintah belum masuk standar. Ini harus kita bereskan terlebih dulu," jelasnya.
Hal senada juga diungkapkan Putu. Menurutnya, persoalan yang dihadapi terkait sistem Euro4 saat ini terletak pada pemasok bahan bakar.
"Persoalannya bukan dengan produsen mobil. Persoalannya itu dengan pemasok bahan bakar, yaitu Pertamina. Pertamina sedang melakukan revitalisasi kilang-kilangnya," jelasnya.
Keluhan itu juga telah disampaikan Putu ke Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jusuf Kalla juga telah menyampaikan hal tersebut ke Pertamina.
"Kilang minyak untuk Euro 4 kalau bisa lebih dipercepat," ujar Kalla, saat berbincang dengan Vice President Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro.
Menurut Wianda, untuk menyelesaikan kilang minyak Euro 4, butuh banyak tahapan. "Tahap satu, kami akan bangun kilang minyak Euro 4 di Balikpapan, dan 2019 mendatang sudah selesai,” ujarnya.
Ia menambahkan, untuk membuat satu kilang minyak, nilai investasinya mencapai US$5 miliar. Jika dirupiahkan, kira-kira Rp65 triliun. "Kami bekerja sama dengan Menteri ESDM dan Menteri Perindustrian," katanya.
Sayangnya, kehadiran Euro 4 bukannya tanpa cela. Wakil Direktur Utama, sekaligus Pelaksana Tugas Direktur Pemasaran Pertamina, Ahmad Bambang mengatakan, harga jual BBM Euro 4 akan lebih mahal dari BBM yang dijual Pertamina saat ini.
“Harga pasti lebih mahal, tapi selisihnya tidak banyak,” ungkap Ahmad saat dihubungi VIVA.co.id, Selasa 15 November 2016.
Amhad juga menjelaskan, Research Octane Number (RON) paling rendah untuk BBM berstandar Euro 4 adalah 91. Sehingga, nantinya akan akan perubahan spesifikasi pada BBM yang dijual di Indonesia.
“Pertalite nantinya akan naik, dari RON 90 ke 91. Saat ini, Pertamax Turbo sebenarnya sudah Euro 4, hanya kandungan sulfurnya saja yang belum memenuhi,” jelasnya. (asp)