Mengapa Takut dengan Serbuan Pekerja Asing

Buruh kasar di Indonesia sedang mengangkut semen di sebuah pelabuhan.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Tado

VIVA.co.id – "weleh....weleh bahaya negeri ini petani cabe aja....dari negara cina," demikian komentar salah satu akun Facebook menanggapi sebuah berita yang ditayangkan di laman VIVA.co.id, Jumat, 11 November 2016, yang berjudul .

Komentar itu memang sederhana. Namun diakui itu menjadi sebuah bentuk representasi kecemasan publik soal isu-isu yang berkaitan dengan 'serbuan' pekerja Tiongkok atau Cina ke Indonesia.

Maklum, isu-isu soal pekerja Cina di Indonesia memang selalu menjadi buruan netizen. Perdebatan dan desas-desus buruk soal pekerja asal negeri tirai bambu itu pun menjadi hal masif di media sosial. Singkatnya ada kekhawatiran besar soal serbuan pekerja Cina ini ke Indonesia.

Juli silam, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri memang pernah membenarkan bila adanya peningkatan jumlah pekerja asal Tiongkok ke Indonesia. Dalam data Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang diterbitkan Kementerian Ketenagakerjaan pada 2014.

Dipastikan memang ada ribuan buruh asal Cina yang mendapat izin bekerja di Indonesia. "Sekitar 14-16 ribuan dalam periode satu tahun," kata Hanif, Minggu 17 Juli 2016.

Hanif pun tak menampik adanya peningkatan jumlah pekerja asal Cina dibanding dengan jumlah total pekerja asing di Indonesia yang mencapai 70 ribu orang. Hanya saja memang peningkatan itu cenderung fluktuatif. "Mereka keluar dan masuk dalam periode satu tahun itu," kata Hanif.

Rincian Tenaga Kerja Asing di Indonesia
Tahun 2013
1. China 14.317 orang
2. Jepang 11.081 orang
3. Korea Selatan 9.075 orang
4. India 6.047 orang
5. Malaysia 4.962 orang
6. Australia 3.367
7. Inggris 2.631 orang
8. Amerika Serikat 2.197 orang

Tahun 2014
1. China 16.328 orang
2. Jepang 10.838 orang
3. Korea Selatan 8.172 orang
4. India 4.981 orang
5. Malaysia 4.022 orang
6. Amerika Serikat 2.658 orang
7. Inggris 2.227 orang
8. Australia 2.664 orang

Sumber: Kemenaker RI

Namun demikian, Hanif menyebut bahwa soal isu 'serbuan' buruh Cina ke Indonesia sepantasnya tak perlu dipersoalkan. Sebab, jumlahnya sangat sedikit terutama dibandingkan dengan angkatan kerja di Indonesia yang mencapai 129 juta orang.

Dan jauh lebih sedikit dibanding dengan jumlah yang ada di luar negeri, yang sudah mencapai dua juta orang. "Tenaga asing yang kerja di kita hanya 70 ribu. Kita lebih banyak kok yang kerja di luar (TKI), Hong Kong apalagi," tambah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yanonna Hamonangan Laoly.

Cek Fakta: Video TKA China sedang Siksa Warga Negara Indonesia

TKI Ilegal Tiba di Jakarta

FOTO: Tenaga Kerja Indonesia ilegal saat dipulangkan ke Indonesia/VIVA.co.id

709 Personel TNI-Polri Amankan Ribuan Karyawan PT GNI yang Kembali Kerja Pascakerusuhan

Cina Paling Masif
Di Indonesia, kekhawatiran soal pekerja Cina di Indonesia, sejatinya memang bukan tanpa alasan. Sebab selama beberapa waktu ini mereka memang muncul secara masif dan cenderung melakukan pelanggaran.

Di Minahasa Utara misalnya, tepatnya di sebuah tambang di . Warga mengaku resah dengan kemunculan puluhan tenaga kerja asal Tiongkok tak berizin di daerah itu. "Kalau ada petugas imigrasi, para WNA itu bersembunyi atau pindah ke kampung lain," kata Kepala Desa Kahuku Pulau Bangka Imanuel Tinungki.

Bentrok Pekerja di Pabrik Smelter di Morowali Utara, 2 Orang Tewas

Apa yang terjadi di Pulau Bangka tersebut bisa jadi merupakan salah satu contoh kecilnya. Sebab banyak isu soal maraknya pekerja Cina di daerah justru kerap tenggelam atau terkadang justru tak pernah diketahui oleh pemerintah daerah.

Maklum, banyak pekerja Cina di daerah, umumnya memang bekerja sebagai buruh khususnya di bidang pertambangan yang banyak berkutat jauh dari hiruk pikuk.

Hingga kemudian, muncul sebuah kabar ada petani cabai di Bogor Jawa Barat. Meski jumlahnya memang belum seberapa. Namun ini mengejutkan. Anggapan bahwa buruh Cina banyak bersembunyi di pertambangan, ternyata tak sepenuhnya benar.

Di Bogor, faktanya mereka bisa bermukim dan bertani tanpa izin di lahan seluas empat hektare untuk bertanam cabai. Mereka pun melakoninya layaknya para petani lokal.

"Awalnya, mereka mengaku sebagai turis yang sedang berwisata. Namun setelah penyelidikan, keempat warga asing itu menjadi pekerja di perkebunan," kata Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Bogor, Toto Satoto, Jumat, 11 November 2016.

Dan ironisnya, ada seorang diantara empat warga Tiongkok itu mengaku sudah 10 tahun di Indonesia. Ditambah lagi seluruhnya tidak memiliki dokumen yang sah. "Kami kecolongan," singkat Bupati Bogor Nurhayanti.

Ilustrasi/Seorang petani memetik cabai.

FOTO: Ilustrasi/Petani cabai merah di Indonesia/VIVA.co.id doc

Lalu, apakah kondisi ini juga merayap di kota besar? Sejauh ini, kebanyakan kasus yang ditemukan terkait dengan masuknya warga negara asing, khususnya warga Tiongkok seperti terjadi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Bali, Medan hingga Surabaya dan Jawa Barat.

Kejadian yang muncul adalah masuknya mereka secara bergelombang dalam jumlah besar dan sembunyi-sembunyi masuk ke Indonesia untuk membangun bisnis sindikat penipuan internasional termasuk juga berbisnis narkoba dan segelintir lain bekerja di industri dan lainnya.

Ini ditunjukkan dari data yang didapat oleh Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM dan kepolisian. Ratusan WNA pun sudah diamankan terkait tindak pidana tersebut dan itu menyentuh seluruh negara atau tidak cuma Tiongkok.

Hanya saja memang, sebagaimana data terhadap 2.968 orang yang dijaring dalam dua pekan pada awal Oktober 2016. Dari jumlah itu, 773 orang diantaranya melanggar peraturan keimigrasian dengan 203 orang diantaranya adalah warga Tiongkok.

"Faktanya, sementara ini memang RRT (Tiongkok) mendominasi jumlah pelanggaran, mulai dari masuk secara ilegal hingga, perbuatan pidana seperti narkotika dan pidana lainnya," kata Direktur Pengawasan dan Penindakan dari Direktorat Jenderal Imigrasi di Kementerian Hukum dan HAM, Yurod Saleh.

Apa yang ditakutkan?
Lantas sesungguhnya apa yang ditakutkan dengan munculnya pekerja asing di Indonesia?

Saat ini, fakta yang tak bisa ditunda lagi adalah masuknya Indonesia dalam era pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kondisi siap tidak siap ini menjadi masalah besar untuk Indonesia sesungguhnya.

Sebab di era itu, Indonesia justru belum memiliki pondasi yang kuat untuk para pekerjanya. "Tenaga kerja di Indonesia kurang terampil dan tidak memiliki sertiifikasi profesi sebagai bukti kelayakan," ujar Center Director EF English First, Mahardika Halim.

Dari data yang dimiliki Mahardika, terungkap bahwa dari 1.000 orang angkatan kerja, tenaga kerja yang terampil di Indonesia hanya 4,3 persen. Sementara itu, di Singapura, bisa mencapai 34,7 persen, Malaysia 32,6 persen, dan Filipina sebanyak 8,3 persen. "Sisanya angkatan kerja Indonesia adalah buruh kasar," kata Mahardika.

Data ini menakutkan. Apalagi jumlah angkatan kerja di Indonesia terus bertambah tiap tahunnya. Bandingkan saja pada tahun 2015. Data Badan Pusat Statistik mencatat ada 122,4 juta jiwa angkatan kerja dan kemudian meningkat lagi pada tahun 2016 menjadi 127,8 juta jiwa dari total penduduk 250 juta orang.

"Dalam 12 bulan di Indonesia bertambah 5.400 tenaga kerja. Jumlah ini sama dengan populasi di negara Singapura," kata Mahardika.

proyek pembangunan lrt

FOTO: Ilustrasi aktivitas pekerja asal Indonesia/VIVA.co.id doc

Hanif Dhakiri, Menteri Tenaga Kerja RI juga mengakui memang ada masalah dalam tenaga kerja di Indonesia. Peluang orang Indonesia masuk ke pasar kerja umumnya memang terkendala dengan kesiapan dan kelayakan mereka yang diukur dengan sertifikasi profesi.

Meski Hanif tak menampik bahwa pekerja Indonesia memang memiliki kemampuan. Namun fakta memang menunjukkan bahwa pekerja di Indonesia akan berat bersaing menghadapi penetrasi pekerja asing yang akan menyerbu masuk di Indonesia.

Karena itu, pihaknya memprioritaskan urusan sertifikasi untuk tenaga krja akan digenjot untuk menyambut era pasar bebas ASEAN. "Orang kita ini sangat baik dari segi kemampuan, tetapi apakah kemampuan itu diakui atau tidak, itu yang akan kita selesaikan," kata Hanif.

Atas itu, secara prinsip ketakutan publik sesungguhnya harus dibenahi. Ini bukan soal banyaknya orang Tiongkok yang kebetulan terangkat ke permukaan sehingga seolah-olah menyerbu ke Indonesia.

Namun ini soal ancaman pekerja asing yang akan merambah seluruh lini ruang kerja untuk pekerja di Indonesia. Tiongkok atau tidak, bukan itu masalahnya. Sentimentil kepada etnis Tionghoa tidak akan menyelesaikan masalah.

"Jangan selalu curiga jika ada tenaga kerja asing, tenaga kerja asing itu datang mendorong investasi," seperti diucapkan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjawab isu soal tenaga kerja asing di Indonesia Januari silam.

Harus diakui, cara pandang JK itu, memang dikaitkan dengan program pemerintahnya saat ini yang memang hendak menampung seluruh investasi ke Indonesia.

Karena itu, JK berpendapat bahwa tenaga kerja asing di Indonesia patut disyukuri. Bahwa di balik kehadiran mereka yang dianggap mengancam pekerja Indonesia. Mereka justru membuka peluang dalam negeri untuk meraup investasi.

"Setelah ada investasi asing baru, datang tenaga kerja asing. Target kita satu tenaga kerja asing itu bisa menyumbang 100 lapangan kerja nasional," ujar JK.

Jangan Dibedakan
Apa pun itu, dengan berjalannya era globalisasi. Masuknya pekerja asing entah itu Tiongkok atau bukan, sesungguhnya tidak perlu dikejutkan lagi.

Tinggal lagi regulasi yang baik dan pengawasan yang kuat untuk para pekerja asing tersebut. Sebab, dari beberapa kejadian terungkap memang muncul ada diskriminasi terhadap para pekerja asing dan lokal di Indonesia.

Di Hamparan Perak Deli Serdang Sumatera Utara misalnya, laporan masyarakat mengungkap bahwa para tenaga kerja asing yang kebetulan berasal dari Tiongkok ternyata mendapatkan fasilitas lebih mewah dibanding pekerja lokal.

Selain gaji yang lebih besar, para tenaga kerja asing ini mendapatkan mess dan fasilitas akomodasi lainnya. "Padahal keahlian para pekerja itu biasa saja. Menurut pengamatan masyarakat, kalau cuma bisa bekerja seperti itu, pekerja Indonesia banyak yang bisa dan tidak perlu memakai TKA," kata anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Saleh Partaonan Daulay.

Kejadian terungkap berikutnya di Serang Banten. Tepatnya di perusahaan semen di Pulo Ampel. Sebanyak 70 buruh kasar asal Tiongkok yang diamankan karena tidak memiliki dokumen apapun.

Mengaku diupah Rp500 ribu sehari atau setara Rp15 juta per bulan. Jumlah itu jauh berbanding terbalik dengan pekerja lokal yang hanya diupah Rp2 juta per bulan atau Rp80 ribu per hari.

Ilustrasi pekerja asing dari Asia

FOTO: Ilustrasi/Para pekerja asing di Indonesia

Atas itu, perhatian serius terkait serbuan tenaga kerja asing wajib menjaid prioritas pemerintah. Begitu pun kesiapan para pekerja di Indonesia. Jangan sampai pula, kedepan bertanam cabai pun akhirnya dikuasai oleh para pekerja asing.

"Kita hidup di dunia yang serba terbuka sekarang. Indonesia tidak bisa menutup pintu untuk kedatangan mereka (tenaga kerja asing). Saya melihat pemerintah harus bisa memberi keseimbangan antara kebutuhan warga negaranya (akan pekerjaan) dan kedatangan pekerja asing (untuk bekerja)," kata Gilbert Houngbo, Deputi Direktur Jenderal Lembaga Pekerja PBB bidang Operasional Lapangan dan Kemitraan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya