Akankah Krisis Deutsche Bank Menjalar ke RI
- REUTERS/Ralph Orlowski/
VIVA.co.id – September 2016 Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) menggugat bank terbesar ke-4 di eropa Deutsche Bank dengan denda sebesar US$14 miliar atau setara Rp182,9 triliun (kurs Rp13.065 per dolar AS). Denda yang menjerat bank ke-11 dunia itu cukup fantastis dan berpotensial memicu krisis keuangan dunia.
Gugatan tersebut kemudian membuat saham Deutsche Bank di bursa saham dunia berjatuhan akibat kekhawatiran para pelaku pasar. Bahkan, kejatuhan saham bank asal Jerman tersebut mencapai level terdalam dalam 30 tahun terakhir, ditambah pemerintah Jerman menyatakan untuk tidak akan melakukan bail out.
Dalam kasus tersebut Departemen Kehakiman AS memutuskan Deutsche Bank bersalah dalam menjual kredit perumahan murah atau subprime mortgage, yang disinyalir menjadi pusat masalah dari krisis pasar keuangan di AS pada 2008 lalu.
Kejadian tersebut tentunya memberikan pukulan beruntun bagi bank terbaik kelima dunia versi lembaga Coalition. Deutsche Bank tercatat sejak Juli 2015 mengalami penurunan saham dan telah terpangkas hingga 65 persen dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar US$16 miliar dari sebelumnya US$50 miliar.
Atas kondisi tersebut John Cryan CEO Deutsche Bank pun melakukan beberapa upaya di tengah lesunya perekonomian global salah satunya adalah melakukan restrukturisasi yang diberi nama "Strategy 2020". Program ini berisi tentang pengurangan 75 ribu karyawan dan menutup operasional di 10 negara.
Selain itu, Deutsche Bank juga banyak mengalami sejumlah gugatan, di mana biaya klaim individual maupun regulator sejak 2012 mencapai US$13,5 miliar dan memenuhi laporan keuangan perusahaan pada 2015. Sehingga tahun tersebut Deutsche Bank mencatat kerugian mencapai US$6,77 miliar atau setara Rp87,5 triliun.
Atas sejumlah masalah tersebut kemudian menimbulkan banyak pertanyaan mengenai kemampuan financial Deutsche Bank ke depan, terlebih untuk membayar denda yang nilainya cukup fantastis. Dan potensi terjadinya Kolaps menimbulkan kekhawatiran risiko sistemik terhadap perbankaan dan pasar keuangan dunia.
Kondisi tersebut pun ikut di komentari oleh Dana Moneter Internasional (IMF) yang menyatakan Deutsche Bank sebagai bank paling berisiko di dunia dan berkontribusi penting terhadap risiko sistemik di sistem keuangan global.
Menurut IMF, bank-bank besar dengan eksposure yang luas di berbagai belahan dunia bisa terkena imbas jika Deutsche Bank krisis. Mulai dari UBS, Credit Suisse hingga Bank of China, bisa terkena imbasnya. Hal itu memunculkan kekhawatiran krisis yang lebih besar, meski tak sebesar Lehman Brothers delapan tahun lalu.
Lalu bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?
Staf Ahli Menteri Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Bambang Prijambodo mengungkapkan jika Deutsche Bank benar-benar kolaps memang dikhawatirkan dapat menjalar kesejumlah negara.
Dampak pertama yang dikhawatirkan yaitu menjalar ke bank-bank sekitar negara tersebut di Eropa, yang kemudian bisa membuat negara yang sehat dan tidak ada masalah ekonomi bisa terkena impact penarikan modal, dan ini menjadi 'Wake up call' bagi pasar keuangan dunia.
Bambang mengungkapkan, untuk kawasan Asia pada umumnya bisa dikatakan tidak banyak terpengaruh bila benar Deutsche Bank alami koleps. Namun, yang patut diwaspadai akibat dampak tersebut adalah kondisi ekonomi China, yang memiliki utang corporate yang cukup besar dan itu bisa saja terimbas.
"Apakah berdampak ke Indonesia kita belum bisa lihat, sekarang memang sedang dirancang untuk di obati oleh Jerman. Efek menjalar itu semua tidak ada yang tahu, sebab yang sehat itu bisa saja ikut koleps, tapi yang jelas ini tidak lebih dari Lehmand dampaknya," jelas Bambang kepada VIVA.co.id.
Sementara itu, Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), Haru Koesmahargyo, mengimbau agar perbankan nasional mewaspadai dan mempersiapkan diri terhadap dampak krisis Deutsche Bank. Sebab, nasib bank terbesar di Jerman itu diperkirakan akan berdampak sistemik.
Menurut dia, krisis Deutsche Bank itu mengingatkan pada krisis yang terjadi pada tahun 2008 silam, sehingga harus diwaspadai meski pengaruhnya sedikit atau banyak akan sampai ke Indonesia.
Ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI) Josua Pardede mengungkapkan secara pengelompokan memang krisis yang terjadi pada Deutsche Bank bisa sistemik ke pasar keuangan global. Sebab, mereka miliki debitur yang bervariasi di ekonomi global.
Namun, secara besaran bank ini tidak sebesar Lehman Brothers delapan tahun lalu atau bisa dikatakan miliki size yang lebih kecil sehingga dampak secara langsungnya diperkirakan relatif tidak signifikan ke sistem ekonomi Indonesia.
Josua menilai, bila krisis bank Jerman itu berlanjut maka sebenarnya dampak yang akan sangat dirasakan adalah Eropa, sebab sebelumnya mereka telah mengalami hantaman dari keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau brexit ditambah masalah keuangan perbankan di wilayahnya.
Ia pun yakin dampaknya mungkin tidak akan sebesar yang diperkirakan saat ini, karena Deutsche Bank bakal meng-inject capital mereka, bahkan menjual aset ke bank lain. Dan pastinya regulator di sana sudah melakukan strategi.
"Kalau terkait dengan Deutsche Bank, relatif kecil dan cukup marginal dampaknya. Lagipula, laporan keuangan mereka pada kuartal III kemarin sudah cukup baik menurut saya. Jadi mungkin ini juga bisa menjadi sinyal positif," tegasnya.
Pelajaran penting buat RI
Josua menambahkan, bila melihat situasi krisis Deutsche Bank tentu Indonesia seharusnya tidak perlu khawatir berlebihan, sebab saat ini ada Undang-undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang bisa digunakan untuk mengantisipasi.
Artinya, sistem perbankan nasional sudah termonitor dengan baik, oleh pemerintah, Bank Indonesia, maupun Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas tersebut tentunya akan melakukan stressed out test pada bank-bank sistemik sehingga dampaknya tidak begitu besar.