Perlukah Mahkamah Agung Dirombak?

Gedung Mahkamah Agung
Sumber :
  • VivaNews/ Nurcholis Anhari Lubis

VIVA.co.id – Presiden Joko Widodo telah menyatakan komitmen untuk mengeluarkan paket kebijakan reformasi hukum di Indonesia. Paket kebijakan ini akan diarahkan untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap keadilan dan kepastian hukum.

Gazalba Saleh Lawan Vonis 10 Tahun Penjara, Ajukan Banding ke PT DKI

Reformasi itu menyangkut penataan regulasi, reformasi lembaga penegak hukum, dan membangun budaya hukum. Dalam rangka itu, Presiden mengundang banyak pihak terkait di bidang hukum, untuk memberikan pandangannya.

Salah satu lembaga yang diundang adalah Komisi Yudisial. Saat berkesempatan mengungkapkan pendapat, lembaga yang berwenang mengawasi perilaku hakim ini meminta Presiden untuk merombak struktur organisasi Mahkamah Agung.

Orang Tua Ronald Tannur Diperiksa Kejagung Hari Ini

Perombakan itu dinilai akan dapat membenahi struktur organisasi, sekaligus menekan potensi timbulnya mafia peradilan. Ketua KY, Aidul Fitriciada Azhari, menyebut perombakan itu penting dilakukan sebagai bagian dari reformasi peradilan.

"Selama ini ada overlap, tumpang tindih, terutama dominasi birokrasi di MA yang menyebabkan hakim tidak memiliki independensi," kata Aidul di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa, 1 November 2016.

Aset Zarof Ricar Diblokir Kejaksaan Agung, Apa Saja?

Peradilan modern kata Aidul, dapat diwujudkan dengan mengurangi fungsi birokrasi di tubuh MA, sehingga lembaga ini dinilai harus fokus pada tugas-tugasnya sebagai lembaga yudisial. "Yakni memeriksa, mengadili dan memutus. Kalau tugas non- birokrasi dikurangi."

Menurut Aidul, restrukturisasi di MA disebutnya sebagai prioritas, jika Jokowi memang berniat melakukan reformasi pada sistem peradilan. "Kami sarankan dimulai dari reorganisasi MA, karena akan berdampak luas pada kinerja MA yang akan mereduksi mafia peradilan dan berdampak luas juga pada kepercayaan publik," ungkapnya.

Selain restrukturisasi MA, KY juga melihat perlunya peningkatan kesejahteraan dalam bentuk fasilitas rumah bagi Hakim. Aidul melihat fasilitas perumahan bagi hakim di banyak daerah masih buruk, sehingga dinilai tak layak. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim, disebutkan bahwa hakim berhak menempati rumah negara.

Dia menilai, apabila fasilitas perumahan ini bisa dipenuhi setidaknya hakim akan memiliki martabat untuk tampil di tengah masyarakat maupun di ruang peradilan.

"Faktanya banyak Hakim yang bukan kontrak, tapi nge-kos di tempat-tempat yang sebenarnya juga tidak cukup layak, sekali pun mereka tunjangan apa remunerasinya cukup tinggi," ucapnya.

Sementara terkait Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim, KY mengusulkan diberikan tambahan kewenangan, dengan melibatkan lembaga itu dalam seluruh proses manajemen Hakim. Mulai dari rekrutmen, promosi, mutasi, penilaian profesional atau kinerja, pengawasan, dan pemberhentian hakim.

Aidul menghendaki pengawasan hakim, terutama yang berkaitan dengan kode etik, diserahkan sepenuhnya pada KY. Hal ini termasuk wewenang untuk memberikan hukuman pada hakim. Selama ini, setelah mendapatkan laporan KY hanya bisa memberikan rekomendasi pada MA untuk memberikan sanksi pada hakim yang dinyatakan melanggar kode etik.

Sayangnya, kewenangan yang ada pada konstitusi ini jarang diindahkan MA. "Ini kami sampaikan karena demi kepentingan masyarakat itu sendiri, bukan kepentingan Komisi Yudisial," jelasnya.

Sikap MA

Menanggapi usulan ini, MA serta merta menolak wacana tersebut. Menurut Hakim Agung, Suhadi, usulan itu akan menimbulkan pertentangan konstitusi.

Juru Bicara MA Suhadi

Selama ini, kewenangan KY diatur pada ayat 1 Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi: "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim."

Kata Suhadi, KY tak berwenang mengurusi kelembagaan MA. Sehingga usulan untuk merombak struktur organisasi MA berada di luar kewenangan mereka.

"Semua usulan kita KY kita tolak. Apa kompetensi dia (KY) mengatur kita, MA?" ucap Suhadi saat dihubungi VIVA.co.id, Rabu, 2 November 2016.

Dia menilai usulan ini hanya upaya KY dalam memperluas kewenangan yang sudah diberikan konstitusi.

Untuk usulan pemberian fasilitas negara agar hakim bisa lebih bermartabat, Suhadi pun tak menganggap itu sebagai sebuah terobosan. Selama ini, MA sudah menuntut hak hakim yang diatur dalam peraturan pemerintah itu.

Pada Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2012, disebutkan hakim berhak menempati rumah negara dan menggunakan fasilitas transportasi selama menjalankan tugasnya. Jika belum tersedia, hakim dapat diberikan tunjangan perumahan dan transportasi sesuai kemampuan keuangan negara.

"Kalau itu sudah lama kita impikan, justru Undang-Undang baru ini (RUU Jabatan Hakim) diwujudkan, fasilitas sebagai pejabat negara itu kita minta. Tanpa usulan KY, itu kita sudah lakukan," tegas Suhadi.

Di mata Suhadi, reformasi hukum di MA sebetulnya mudah untuk diwujudkan, dengan menempatkan hakim pada porsinya sesuai undang-undang. "Usulan MA wujudkan hakim itu adalah pejabat negara."

Unjuk Rasa di Mahkamah Agung Tuntut Keadilan di Siak

Langkah Berani Restrukturisasi MA

Melihat usulan ini, Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, menilai reformasi memang perlu dilakukan di tubuh MA. "Ada hal-hal yang memang perlu dibenahi dalam fungsi dan struktur birokrasi di tubuh MA sehingga independensi hakim lebih terjamin karena tidak ada tekanan atau ancaman dari jajaran birokrasinya," kara Arsul saat dihubungi, Selasa, 1 November 2016.

Namun di sisi lain, Politikus PPP ini juga menyinggung pentingnya penguatan peran pengawasan lembaga peradilan oleh KY, jika pada akhirnya kewenangan mereka ditambah. "Jadi KY juga harus menyiapkan diri untuk menjadi lembaga pengawas yang kredibel. Pimpinannya juga matang dan bijak ketika menyampaikan pelaksanaan kewenangan di ruang publik," ujarnya menambahkan.

Dia mengkritik pimpinan KY periode lalu yang sering kali tidak matang dalam berkomunikasi di ruang publik, sehingga menimbulkan ketegangan-ketegangan yang tidak perlu dengan pimpinan MA.

Senada dengan Asrul, rencana untuk merombak struktur organisasi MA dan menambah kewenangan KY dalam memberikan sanksi pada hakim terkait pelanggaran kode etik, menurut pengamat hukum Asep Iwan Iriawan, mestinya tak keluar dari KY. Hal ini karena lembaga itu tak berwenang memberikan sanksi pada hakim, atau mengkritik organisasi MA.

Jika hal ini dilakukan, dia menilai akan menciptakan masalah hukum baru. "Benerin hakim bukan dengan cara meminta kewenangan yang tidak diatur dalam konstitusi, apalagi prestasi KY sekarang tidak sebaik dan seberani KY sebelumnya!" Ucap Asep saat dihubungi vivA.co.id, Rabu, 2 November 2016.

Asep yang pernah menjabat sebagai hakim di Pengadilan Negeri Tanggerang ini menjelaskan, reformasi hukum bisa dilakukan secara sederhana dan justru bergantung pada MA dalam memperbaiki internal mereka.

Di lain sisi, hakim sebagai perpanjangan tangan Themis, dewi keadilan dalam mitologi Yunani, mesti memahami posisi mereka dan menjaga diri agar tak memanfaatkan jabatan dan kewenangan mereka untuk meraup keuntungan pribadi.

Selain itu, hakim pun harus menyadari bahwa perilaku dan putusan mereka akan berimbas pada tingkat kepercayaan publik terhadap sistem peradilan, juga MA tentunya.

"Jadilah hakim selayaknya hakim," ucapnya.

Sementara Direktur Institute for Criminal and Justice Reform, Supriyadi Widodo Eddyono, menilai usulan untuk merestrukturisasi organisasi MA sebagai langkah berani, terlepas bahwa usulan itu diungkapkan KY.

Dia yakin, restrukturisasi bisa menciptakan reformasi di tubuh MA. Hal ini dengan mengurangi kewenangan Sekretariat Jenderal MA, sehingga hakim pun bisa lebih independen dalam memutus perkara.

"Usul KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dulu masih relevan, mengurangi kewenangan sekjen MA," ucap Supriyadi saat dihubungi VIVA.co.id, Rabu, 2 November 2016.

Supriyadi menambahkan, "Kewenangan Sekjen MA dipotong, sekjen MA hanya untuk MA, dan kesekjenan Badan Peradilan MA dibuat terpisah, sehingga tidak di bawah Sekjen MA lagi seperti sekarang."

Satu hal yang cukup krusial adalah fungsi pengawasan MA. Selama ini Badan Pengawasan MA berada di bawah Sekretariat MA, sehingga dinilai sulit untuk menjalankan fungsinya secara optimal.

Jika badan itu bisa dibuat lebih independen, dia yakin fungsi pengawasan bisa lebih optimal dan memperkecil potensi terjadinya penyalahgunaan jabatan.

"Fungsi pengawasan tidak lagi di bawah sekjen, jadi ada check and balance," ucapnya.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya