Vonis Jessica dan Pertimbangan Hakim
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
VIVA.co.id – Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menuntaskan drama 135 hari persidangan perkara pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin, dengan menjatuhkan putusan hukuman 20 tahun kurungan penjara kepada terdakwa, Jessica Kumala Wongso.
Dalam berkas dakwaan, tuntutan dan juga putusan, tertera Jessica didakwa dengan pasal 340 KUHP, tentang pembunuhan berencana yang ancaman hukumannya, maksimal hukuman mati.
Putusan ini memang sama dengan tuntutan hukuman yang dibacakan jaksa penuntut umum, yakni kurungan penjara selama 20 tahun. Atau, paling rendah dari hukuman yang tercantum di Pasal 340 KUHP, yang dipakai untuk menyeret Jessica ke pengadilan.
Seperti tertulis di pasal 340 KUHP."Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, dancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun."
Putusan ini langsung ditanggapi Jessica. Di depan majelis hakim, wanita berusia 27 tahun ini merasa keputusan hakim tidak adil. Kuasa hukum pun langsung mengajukan banding. "Saya tidak terima dengan keputusan ini, karena tidak adil dan sangat berpihak," ujar Jessica di persidangan di PN Jakarta Pusat, Kamis, 27 Oktober 2016 kemarin.
Ketua tim penasihat hukum Jessica, Otto Hasibuan menyebutkan, pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara yang menyangkut kliennya berat sebelah. "Kalau pertimbangannya bagus mungkin kami pahami tapi pertimbangan ini betul-betul-betul sangat berpihak," ujar Otto.
Otto menilai, majelis hakim hanya mempertimbangkan bahwa, Mirna meninggal karena adanya sianida di dalam gelas es kopi Vietnam yang dipesan kliennya.
Majelis hakim dinilai tidak mempertimbangkan barang bukti nomor empat, yaitu cairan lambung Mirna. Cairan itu diambil 70 menit setelah Mirna meninggal yang hasilnya negatif racun sianida.
"Setelah mendengar putusan majelis hakim tadi, terus terang, kami merasa prihatin dan kecewa, karena majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan semua secara lengkap, terutama bukti, BB empat," ujar Otto.
Atas putusannya itu, Otto mengatakan, majelis hakim tidak arif dan bijaksana dalam membuat putusan. Bahkan pleidoi atau nota pembelaan Jessica dan timnya tidak dipertimbangkan sama sekali.
"Pleidoi kami tidak dipertimbangkan. Cara membacanya Pak Binsar itu menunjukkan sentimen sekali, kebencian kepada Jessica. Itu tidak boleh dilakukan seorang hakim. Dan oleh karena putusan hakim ini sangat tidak dan berpihak dan sangat sangat tidak berdasarkan hukum. Dan kami melihat ada lonceng kematian keadilan di pengadilan ini, dan dengan ini kami dengan tegas menyatakan banding," kata Otto.
Memang, dalam membacakan pertimbangan sebelum dijatuhkan vonis, majelis mengutarakan sejumlah asumsi. Salah satunya dengan menyatakan, tangisan Jessica saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi, adalah sebuah sandiwara dan bukan tangisan yang tulus.
"Tangisan terdakwa tidak tulus, tidak murni, tangisan itu hanya sandiwara terdakwa," kata hakim Binsar Gultom.
Saat itu, menurut Binsar, majelis menimbang, ketika membacakan pleidoi, terdakwa menangis, tapi tidak meneteskan air mata. "Tidak meneteskan air mata dan tidak ada yang menetes hingga ke mulut," kata Binsar.
Binsar mengatakan, saat menangis di persidangan, Jessica tidak memegang benda apa pun untuk menyeka air mata. "Tidak pernah memegang tisu atau sapu tangan," katanya.
Terkait hal ini, pakar hukum pidana, Romli Atmasasmita, menilai putusan murni didorong keyakinan hakim. Karena, unsur-unsur pembunuhan berencana terhadap Mirna, tak bisa dibuktikan persidangan, karena tak ada saksi atau pun alat bukti yang menguatkan dakwaan jaksa terhadap Jessica.
"Keyakinan hakim ikut menentukan, ini repotnya sistem kita," kata Guru Besar Hukum Universitas Padjajaran itu.
Menurut Romli, berdasarkan pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, hakim bisa menjatuhkan hukuman pada seseorang berdasarkan keyakinannya, bahwa alat bukti sudah terpenuhi.
Padahal, pada kasus pembunuhan berencana, mestinya ahli forensik memberikan visum et repertum atau laporan mengenai penyebab kematian seseorang, sehingga bisa disimpulkan korban kehilangan nyawa karena adanya perbuatan seseorang.
"Hakim kurang cermat memperhatikan semua keterangan saksi sama barang bukti, terutama ahli forensik. omongannya bahwa ini adalah pembunuhan kan paling penting dari forensik, bukan ahli hukum," katanya.
Tanpa Autopsi
Oleh sebab itu, pada kasus pembunuhan wajib dilakukan autopsi. Hal ini tertuang dalam Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kiminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pada paragraf tiga, dijelaskan mengenai pemeriksaan barang bukti keracunan, wajib memenuhi beberapa persyaratan teknis, seperti mengambil sampel organ atau jaringan tubuh, cairan tubuh, serta barang bukti pembanding. Pengambilan barang bukti ini harus dilakukan oleh dokter saat autopsi. Jika pihak keluarga menolak seperti yang dilakukan keluarga Mirna.
"Tunjukan Perkap-nya (Peraturan Kapolri), harusnya polisi mengatakan kami tidak bisa melanjutkan penyidikan. Sebab tidak jelas pembunuhannya karena sianida atau apa?" ucapnya.
Akibat ketiadaan visum ini, Romli melihat kasus ini ada kesan dipaksakan. Sebab, dalam proses penanganan kasusnya tak lancar, terlihat saat pelimpahan berkas penyidikan dari polisi ke jaksa. Berkas itu selalu dikembalikan dengan alasan kurangnya bukti permulaan.
"Biasanya dalam pembunuhan itu dibuktikan dari fungsi visum, prosedur ini tidak dilakukan secara utuh. Saya menilai ini (putusan) murni didasarkan keyakinan hakim," kata Romli.
Dari apa yang disampaikan Romli itu, juga terlihat keanehan dalam persidangan, yakni saat majelis hakim menyatakan pembunuhan berencana itu dilakukan Jessica dengan motif sakit hati.
Hakim Binsar Gultom, menyimpulkan motif itu, hanya mengacu pada cerita tentang pertemuan jamuan makan malam antara Jessica, Mirna, dan suaminya, Arief Soemarko, pada 2015 di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ketika Jessica baru tiba dari Australia.
Hakim menyebut, sakit hati itu muncul karena Jessica iri dengan kemesraan pasangan itu, sedangkan saat bersamaan, Jessica, sedang dalam kondisi hancur lantaran hubungannya dengan pacar dan atasan sedang retak.
"Menurut majelis, pertemuan itu membuat hati terdakwa tersayat-sayat melihat kebahagiaan Mirna dengan Arief," kata Hakim Binsar Gultom, saat membaca analis yuridis di persidangan itu.
Selain itu, menurut hakim, rasa sakit hati Jessica itu juga dipicu depresi yang pernah dialami Jessica saat berada di Australia. Hal tersebut ditunjukkan dengan berbagai insiden seperti, pernah menabrak Panti Jompo hingga mencoba beberapa kali bunuh diri. Bahkan, ketika saat dijenguk atasannya yang bernama Kristi di Rumah Sakit, Jessica sempat mengatakan bahwa dia tahu bagaimana caranya untuk membunuh orang.
Hakim lalu berkesimpulan, eskalasi emosi Jessica semakin meningkat, bahkan kini menyasar orang-orang dekatnya. Terutama orang-orang yang diharapkan Jessica bisa memberikannya pertolongan, namun justru tidak didapatnya.
"Fakta-fakta di atas jelas terlihat Jessica mengalami ketidakstabilan emosi berupa agresivitas," kata Hakim Binsar.
Bahkan, majelis Hakim meyakini Jessica, adalah orang yang memasukkan racun ke kopi Mirna, hanya karena asumsi mengenai orang yang paling lama berada di dekat kopi yang akan diminum Mirna.
Hakim menyebut jika ada lalat yang hinggap di gelas kopi tersebut, Jessica pasti mengetahuinya.
Hakim juga menyebut bahwa perbuatan Jessica tersebut telah melalui sebuah perencanaan terlebih dahulu. Hal tersebut dibuktikan dengan hadirnya Jessica yang tiba di Kafe Olivier lebih dulu dibanding Mirna. Jessica memilih tempat yang tidak terpantau oleh kamera pengawas. "Majelis menilai unsur dengan sengaja telah terbukti secara sah dan meyakinkan," kata Hakim.
Putusan hakim ini langsung disambut gembira keluarga Mirna. Ayah Mirna, Darmawan Salihin menyatakan, putusan ini membuktikan kebenaran soal pembunuh Mirna. "Terbuktilah sudah Jessica itu melakukan, itu aja udah. Yang penting sudah terbukti Jessica itu pelakunya," kata Dermawan.
Meski begitu keluarga mengaku belum puas dan akan terus mengawal kasus ini hingga tingkat banding. "Kami bakal terus mengawali sidang ini. Kalau perlu saya kawal sampai mati," ujar Arief Soemarko, suami mendiang Mirna, usai sidang vonis Jessica.