Mimpi Buruk Twitter

Spanduk logo Twitter di depan Bursa Efek New York
Sumber :
  • REUTERS/Lucas Jackson

VIVA.co.id – Twitter diterpa isu PHK karyawan. Selama sembilan bulan, profit terus menurun dan jumlah penggunanya stagnan. Banyak isu yang memberikan harapan, bahwa Twitter akan dibeli oleh beberapa perusahaan besar. Sayang, isu itu tak kunjung terwujud. Twitter masih di ujung tanduk.

Heboh! Amanda Manopo Diduga Temani Arya Saloka Hadiri Busan International Film Festival 2024

Dua isu yang diberitakan hari ini, baik soal isu PHK maupun soal investor yang urung, membuat nasib Twitter jadi tak jelas. Intinya, tidak ada penawaran yang masuk dan Twitter akan dibiarkan hidup tanpa perencanaan bisnis atau pun partner untuk bisa membuat masa depan karyawannnya cerah.

Disney, Google, Microsoft sampai Salesforce dikabarkan tertarik mengakuisisi Twitter. Isu tersebut digaungkan sehingga memberikan harapan bagi Jack Dorsey, sang pendiri Google. Namun berita bantahan dari beberapa perusahaan itu bergulir. Google membantah. Disney menarik diri, Microsoft tak mau berkomentar dan Salesforce mundur.

Ridwan Kamil: Saya Dulu Memang Pemarah, Twit Lawasnya Muncul Lagi

Sejatinya, menurut analis, PHK 300 karyawan yang kabarnya akan dilakukan Twitter bukanlah hal yang luar biasa. Dalam kuartal ketiga ini, Twitter dianggap tidak mendapatkan penghasilan yang baik. Ini bukan kali pertama Twitter mengalami penurunan pendapatan, melainkan sembilan kuartal berturut-turut. Banyak hal yang menjadi penyebab Twitter tidak menghasilkan dengan baik. Selain popularitas yang semakin menurun, jumlah anggota aktif yang tidak kunjung naik, meningkatnya kompetisi dengan media sosial lain, dan kegagalan akuisisi.

Tak Punya Inovasi

Cuitan Lama Disorot, Pramono Anung: Twitter Era 2010 Itu Bercanda

Saat ini bisa dibilang, Twitter kurang mempromosikan dirinya, kurang memiliki inovasi baru. Ini membuat penggunanya bosan dan akhirnya kehilangan interaksi antarfollower. Penulis misalnya, memiliki akun Twitter namun sangat jarang digunakan belakangan ini. Awal memiliki akun mikroblogging itu, hanya ingin tahu seperti apa Twitter.

Hanya dengan 140 karakter, kita dituntut untuk bisa menarik follower. Kreasi memang dibutuhkan dalam menulis status di Twitter di tengah keterbatasan karakter, namun kurangnya inovasi yang diberikan Twitter membuat saya bosan menggunakannya. Sampai akhirnya, saya putuskan untuk mengkoneksikan akun Twitter saya dengan Facebook dan Path. Walhasil, saya tidak perlu membuka Twitter untuk update status. Cukup tulis status di Path dan Facebook, maka status saya akan terbagikan di Twitter secara otomatis.

Mungkin seperti saya, pengguna lainnya juga menunggu inovasi apa lagi yang akan diberikan Twitter. Dulu sempat diberitakan jika Twitter akan menghilangkan batasan karakter dalam cuitan, dari 140 karakter menjadi 1.000. Namun hal itu tak kunjung diberlakukan. Hanya rumor dan isu saja.

Lalu ada lagi keinginan Twitter untuk mulai beralih menjadi platform share berita. Namun secara tidak langsung hal itu sudah dilakukan oleh para penggunanya. Kebanyakan berita ‘breaking’ yang ada di media saat ini selalu didahului dengan mengutip laporan netizen di Twitter.

Yang paling mengkhawatirkan dan perlu ditelusuri adalah kualitas dari akun baru pengguna Twitter. Saya pribadi tidak terlalu peduli berapa follower saya di Twitter, karena saya bukan selebtwit yang ingin meracuni follower dengan rayuan iklan terselubung.

Namun jika dilihat, dari 1.500 lebih follower saya, lebih dari 50 persennya orang yang saya tidak kenal, yang tidak menyertakan foto profil sehingga saya yakin jika itu adalah akun bot. Bisa jadi, Twitter menjadi sarang bot, sarangnya akun palsu, spammer.

Ini yang membuat investor secara tidak langsung mempertanyakan 300 juta pengguna Twitter itu merupakan akun asli atau palsu. Satu-satunya fitur baru yang ada di Twitter adalah integrasi dengan Periscope. Namun euforianya tidak berlangsung lama.

Salah satu penulis senior dalam majalah Fortune, Mathew Ingram menganalisa, dinamika Twitter adalah kisah keberhasilan sekaligus kegagalan. Dalam episode keberhasilan, bisa dilihat perusahaan telah mampu mengelola nilai perusahaan hingga menjadi US$17 miliar yang dipakai lebih dari 300 juta pengguna di seluruh dunia.

Namun demikian, Twitter juga mengalami episode buruk, yakni gagal mengkapitalisasi dan mengelola dengan baik pertumbuhan perusahaan. Artinya, Twitter hanya menguntungkan end-user tapi tidak tahu bagaimana cara menyenangkan para pemilik modal.

Kegagalan Twitter juga dilihat dari peran Dorsey, yang saat ini sebenarnya menduduki dua kursi CEO. Selain menakhodai Twitter, Dorsey juga menjadi CEO perusahaan mobile, Square. Hal ini dipandang turut berkontribusi bagi kegagalan mendongkrak performa perusahaan. 

Peran CEO ganda  Dorsey itu mendapat soroan dari investor legendaris, Bill Miller.  Dia mengatakan dengan menjadi CEO dua perusahaan, menurutnya akan sangat menyulitkan bagi perusahaan yang dikembangkan. 

"Gila memiliki Jack Dorsey yang menjadi CEO paruh waktu di perusahaan dengan problem yang dimiliki Twitter," jelas Miller dalam sebuah acara dikutip dari CNBC.

Nasib Twitter

Menurut analisa Lance Ulanoff dari Mashable, Twitter memiliki satu wilayah yang dianggap cukup sukses, yakni industri iklan. Twitter mendapatkan cukup banyak uang dari iklan. Pertumbuhan pendapatannya dari iklan sebesar 18 persen tahun per tahun.

“Namun sayang, sebagai perusahaan public, pemegang saham hanya mau melihat pertumbuhan yang berkelanjutan. Masa depan tanpa pertumbuhan berarti peningkatan revenue tidak akan terjadi dalam jangka panjang. Ini artinya, pengguna Twitter harus terus tumbuh,” ujar Ulanoff.

 Ulanoff yakin jika Twitter akan terus berdiri meski belum ada investor yang tertarik dalam beberapa waktu ke depan. Hal ini dikarenakan Twitter telah menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat digital. Twitter masih menjadi alat ukur bagi kebanyakan media, rujukan pemberitaan, kreasi konten dan lainnya.

Twitterlah yang menyatukan pengguna internet dengan topic yang paling dibicarakan masyarakat dunia, mulai dari konflik di teluk Arab, perekrutan ISIS sampai popularitas Donald Trump.

“Facebook juga memiliki fungsi yang sama tapi kecepatan respons pasar, secara real-time, hanya bisa dilihat di Twitter,” katanya.

Ulanoff menyebut, Twitter akan menjadi besar jika berada di tangan yang benar. Tangan itu adalah milik Google, dengan kemampuan dana yang powerful dan kecanggihan teknologi yang dimilikinya. Namun pengamat lain menilai jika Disney bisa menjadi pembeli potensial dan akan menguntungkan jika memiliki platform Twitter. Portfolio ekspansif yang dimiliki Disney belum memasukkan media dalam dafta. Padahal media macam Twitter ini bisa menjadi alat yang mumpuni untuk terus menggaungkan brand maupun produk mereka ke khalayak luas.

Dengan kapitalisasi pasar sekitar US$12,76 miliar dan kehilangan sekitar US$400 juta per tahun, Twitter dinilai terlalu mahal untuk diakuisisi oleh perusahaan lainnya. Berdasarkan laporan terakhir pada bulan Juni lalu, jumlah total karyawan yang dimiliki oleh Twitter secara global mencapai 3.860 orang.

Kamis, 27 Oktober 2016, menjadi penentu bagi ratusan karyawan Twitter. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya