Membuka Lagi Kasus Pembunuhan Munir
- Antara/Ari Bowo Sucipto
VIVA.co.id - Sudah lebih dari 12 tahun, kasus kematian aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib, belum juga tuntas. Meskipun seorang pelakunya, Pollycarpus Budihari Priyanto telah dijatuhkan vonis 20 tahun penjara. Tetapi, pelaku utama di balik kasus itu masih jadi misteri.
Kini, publik Tanah Air kembali diingatkan soal perkara tersebut. Awal mulanya, hasil penyelidikan, atau investigasi dari Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir yang dibentuk pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum juga diumumkan hingga saat ini.
Belakangan, pada 1 Maret 2016, Sekretariat Negara era Presiden Joko Widodo, justru menyatakan tidak menguasai dokumen dari tim tersebut. Padahal, hasil penyelidikan itu menunjukkan dugaan keterlibatan oknum Badan Intelijen Negara (BIN) dalam pembunuhan Munir.
Istri Munir, Suciwati, bersama Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani pun mendaftarkan gugatan sengketa kasus Munir ke Komisi Informasi Pusat (KIP) pada Kamis lalu, 28 April 2016.
Mereka mendaftarkan gugatan dengan pihak tergugat Kementerian Sekretariat Negara. Gugatan itu diajukan, karena desakan publik yang cukup kuat untuk membuka hasil penyelidikan TPF kasus Munir.
Yati mengungkap pentingnya hasil penyelidikan itu dibuka. Menurutnya, semua demi masyarakat luas.
"Ini bukan kepentingan Kontras, atau Suci, tetapi kepentingan publik. Penting ini segera dibuka, tak ada tujuan lain, hanya untuk publik," kata Yati di kantor KIP, Jalan Abdul Muis, Jakarta Pusat.
Yati juga mendesak Presiden Jokowi, segera mengumumkan hasil penyelidikan TPF atas kematian Munir. Alasannya, sejak era Presiden SBY hingga sekarang, hasil pencarian fakta kasus tersebut terus dipendam.
"Kami yakin, ada temuan penting masa SBY. Temuan itu harus diumumkan ke publik. 11 tahun tak diumumkan, tidak ada niat baik pemerintah," ujar Yati.
Sang istri, Suciwati menegaskan, pentingnya hasil penyelidikan tim itu dibuka. Langkah itu untuk mengungkap nama-nama penting, orang-orang yang terkait dalam kasus pembunuhan suaminya tersebut. Karena itu, ia mendorong Jokowi segera menepati janjinya sesuai Nawacita menyelesaikan masalah pelanggaran HAM.
Beberapa waktu setelah pengajuan gugatan, KIP. kemudian menerima gugatan sengketa informasi kasus Munir tersebut. Proses sidang lantas bergulir.
Salah satu agenda adalah memanggil dua saksi, yakni mantan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi dan mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra. Tapi keduanya tidak hadir.
Yusril tak memberikan respons. Sementara itu, Sudi sedikit lebih baik dengan memberikan jawaban tertulis atas pertanyaan dari majelis komisioner KIP.
Setelah enam kali masa persidangan, Senin 10 Oktober 2016, KIP akhirnya mengabulkan permohonan itu. Mereka memerintahkan pemerintah mengumumkan dokumen TPF kasus Munir.
Menanggapi putusan KIP itu, Sekretariat Negara tetap pada sikap semula. Mereka mengklaim tidak memiliki dokumen apapun terkait hasil investigasi TPF Munir. Karena itu, mereka tak bisa memenuhi keputusan tersebut.
"Kemensetneg tidak memiliki, menguasai, dan mengetahui keberadaan dokumen dimaksud," kata Asisten Deputi Bidang Hubungan Masyarakat Kemensetneg, Masrokhan dalam siaran persnya, Selasa 11 Oktober 2016.
Ketiadaan dokumen itu, juga membuat Setneg tidak bisa mengumumkan apapun terkait dokumen investigasi kematian Munir.
"Kemensetneg tidak menguasai dokumen tersebut. Kemensetneg tidak mungkin mengumumkan laporan TPF yang tidak dikuasainya," ujarnya lagi.
Bahkan, Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Alexander Lay mengatakan, putusan KIP itu sebenarnya tidak memerintahkan membuka dokumen hasil penyelidikan tim TPF kasus pembunuhan Munir kepada publik. Tetapi, Setneg untuk menyatakan ke publik, bahwa mereka tidak punya dokumen itu.
Atas persoalan ini, Jokowi lantas meminta Jaksa Agung Muhammad Prasetyo untuk menelusuri keberadaan dokumen tersebut. Perintah itu, segera disambut dengan janji dari Prasetyo dan institusi Polri untuk mencarinya.Â
Keteledoran, atau sabotase?
Ketua Setara Institue yang merupakan anggota Tim Pencari Fakta (TPF) Munir, Hendardi menilai tata kelola administrasi Kementerian Sekretariat Negara sangat buruk sekali.
Menurut dia, TPF telah menyerahkan berkas dan dokumennya kepada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan didampingi oleh Yusril Ihza Mahendra, Sudi Silalahi, dan Andi Malarangeng pada 24 Juni 2016.
"Jika bukan karena administrasi buruk, patut diduga adanya kesengajaaan menghilangkan dokumen tersebut oleh pihak-pihak yang tidak menghendaki penuntasan kasus Munir," kata Hendardi dalam keterangan yang diterima VIVA.co.id, Jumat 14 Oktober 2016.
Hendardi menyebut, hilangnya dokumen hasil investigasi TPF, merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.
"Karena, saat Presiden SBY membentuk TPF dan menghasilkan rekomendasi pun, hasil kerja itu juga belum mampu mengungkap kebenaran dan melimpahkan keadilan," kata dia.
Direktur Lembaga Pemantau HAM Imparsial, Al Araf menyatakan bahwa pengungkapan kasus pembunuhan Munir adalah salah satu agenda penting dalam penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa reformasi.
Menurutnya, hasil penyelidikan TPF Munir itu bisa menjadi pintu awal untuk membuka dan mengungkap kasus tersebut.
"Hasil penyelidikan TPF itu sangat penting, karena mengindikasikan adanya sejumlah kejanggalan dan sekaligus juga dugaan kuat bahwa pembunuhan itu diduga melibatkan pelaku lapangan dan dalang pembunuhan dalam institusi lembaga intelijen negara," kata Al Araf.
Al Araf menilai, Joko Widodo perlu mengingat kembali janji-janji kampanye politik saat Pilpres (Pemilihan Presiden) 2014, yang tertulis dalam Nawacita terkait penegakan HAM.
"Salah satu pembuktian dari janji-janji itu harus diwujudkan, salah satunya dengan mendorong pengungkapan dan penuntasan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir," katanya.
Al Araf meminta kepada pemerintah untuk mengadili tidak hanya pelaku lapangan, tetapi juga aktor intelektual, atau dalang di balik pembunuhan Munir yang tewas pada 7 September 2004, karena diracun dalam perjalanannya menuju Amsterdam, Belanda.
"Kami mendesak Presiden Jokowi segera membuka dan mengungkap hasil penyelidikan TPF kasus Munir kepada publik dan menindaklanjuti hasil temuan itu, kemudian membentuk tim independen baru dalam upaya mengusut secara tuntas pembunuhan Munir," tuturnya.
Dia menambahkan, lamanya pengungkapan pelaku intelektual di balik tewasnya Munir, menjadi bukti rendahnya komitmen negara, atau pemerintah untuk menegakkan HAM di Indonesia.
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J. Mahesa menegaskan bahwa putusan KIP soal Munir harus dihormati. Soal polemik hilangnya dokumen TPF, Desmond menilai pihak-pihak terkait seharusnya tak perlu bingung.
"Yang hilang itu kan di Setneg. TPF masih ada. Tak masalah. Tinggal Setneg minta lagi," kata Desmond.
Terkait dengan sikap pemerintah yang mengaku tidak memiliki dokumen, Desmond menangkapnya sebagai suatu isyarat yaitu mereka memang enggan menindaklanjuti putusan Komisi Informasi Pusat.
Dia menilai, sikap itu akan berpengaruh pada wibawa pemerintah dalam proses penegakan hukum. "Ya dong. Buat apa ada reformasi hukum, kalau ini tak ditindaklanjuti." (asp)