Setelah Ahok Minta Maaf
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, akhirnya meminta maaf pada umat Islam. Dia menyesal pernyataannya mengenai tafsiran Ayat 51 surat Al Maidah, saat menggelar dialog dengan warga di Kepulauan Seribu Selasa lalu, 27 September 2016, telah menciptakan gejolak keresahan di masyarakat.
Pernyataan maaf ini disampaikannya secara spontan, tanpa perencanaan, dan jauh dari suasana formal. Ahok, demikian pria asal Bitung Timur ini kerap disapa, menyampaikan permohonan maaf untuk membalas pertanyaan wartawan di Balai Kota DKI Jakarta, yang sudah menantinya setiap pagi di pintu masuk kantornya.
Hal ini bagian dari rutinitas pagi Gubernur saat hadir di Balai Kota DKI. Biasanya dia langsung disambut warga yang datang untuk menyampaikan beragam keluhan dan pengaduan secara langsung. Kemudian, dilanjutkan sesi wawancara dengan beragam media. Awak media mengenalnya dengan istilah 'door stop', menghentikan narasumber di pintu untuk meminta tanggapan mereka terhadap beragam isu.
"Saya sampaikan kepada semua umat Islam atau yang merasa tersinggung, saya sampaikan mohon maaf," jawab Ahok saat ditanyakan tanggapannya mengenai kelanjutan kasus ini di Balai Kota DKI, Senin, 10 Oktober 2016.
Ahok menegaskan, tak ada maksud dia melecehkan Islam dengan pernyataan itu. Dia pun mengungkapkan pernyataan itu disampaikan untuk menghilangkan kebimbangan masyarakat dalam memilih seorang pemimpin daerah, sehingga bisa menitikberatkan pertimbangan pada program.
Tak hanya memohon maaf, Ahok minta ke depan semua pihak tak lagi membahas masalah ini. Sebab dia mengakui pernyataannya justru menganggu ketentraman, terutama di masa iklim politik sedang tinggi menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017. "Saya minta maaf, saya pikir komentar ini tak usah diteruskan lagi, ini tentu menganggu keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara," ujar Ahok melanjutkan.
Dia janji, tak akan lagi mengungkit masalah agama dalam setiap kesempatan.
Pernyataan maaf ini disampaikan Ahok setelah semua polemik bermunculan dalam dua pekan pasca pertemuan dengan warga Kepulauan Seribu itu. Selama ini, Ahok mendapatkan teguran dari Majelis Ulama Indonesia Provinsi DKI Jakarta, beragam protes dan tuntutan agar lekas meminta maaf, serta dilaporkan beragam organisasi masyarakat ke penegak hukum dengan tudingan menista agama.
Nasib Dugaan Menista Agama
Markas Besar Kepolisian RI mendata ada delapan laporan terkait dugaan penistaan agama yang dituduhkan Ahok.
Direktur Tindak Pidana Umum dari Badan Reserse Kriminal Polri, Brigadir Jenderal Polisi Agus Andrianto, merinci empat laporan langsung disampaikan ke kantornya, satu laporan ke Polda Sumatera Selatan, dan tiga laporan ke Polda Metro Jaya.
Ahok dilaporkan terkait dugaan tindak pidana penistaan agama sebagaimana dimaksud pasal 156 A KUHP juncto pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selain itu, melanggar Pasal 15 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Meski ada kata maaf, Polri bertekad menuntaskan proses hukum terhadap Ahok.
"Proses hukum ada langkah-langkah yang harus diikuti. Itu berkaitan dengan pembuktian," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Inspektur Jenderal Pol. Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo III, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin, 10 Oktober 2016.
Menurut Boy, permintaan maaf bisa meredam keresahan di masyarakat dalam konteks isu agama, namun proses hukum terhadap beragam laporan masyarakat itu memiliki kondisi berbeda. Sebab Polri memiliki tugas untuk menindaklanjuti setiap dugaan pelanggaran hukum yang dilaporkan masyarakat.
Demi kebutuhan itu, penyidik Polri akan menelusuri video rekaman yang menunjukkan peristiwa di Kepulauan Seribu. "Kita cari transkrip aslinya, video aslinya seperti apa yang durasi panjang akan di telusuri di Pulau Seribu, durasi pendek yang didapat dari pelapor," kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Pol Agus Andrianto, saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin, 10 Oktober 2016.
Kata Agus, video itu akan ditelusuri tim Cyber Crime Bareskrim Polri. "Jadi, semuanya akan kita periksa ke cyber crime dan Pusat Laboratorium Forensik kita, untuk dianalisa dan kemudian dibuat transkripannya, supaya tahu apa sih perbedaan antara yang di potong dengan yang asli, jadi lengkap durasinya," katanya.
Selain itu, polisi juga akan meminta keterangan dari saksi ahli untuk bisa menyimpulkan ada tidaknya tindak pidana saat Ahok berdialog dengan warga Kepulauan Seribu.
"Kita panggil interview ahli agama, dari Kementerian Agama Dirjen Umat Islam itu, dan MUI. Kita cari ahli agama lain, apakah perbuatannya ini masuk penistaan, atau tidak karena ini belum tentu juga yang melapor benar," jelas Agus.
Sikap para Pelapor
Melihat ada permintaan maaf, Sekretaris Jenderal Dewan Syuro Dewan Pimpinan Daerah Front Pembela Islam Jakarta, Habib Novel Bamukmin, mengemukakan tak akan menarik laporan mereka atas terhadap pernyataan Gubernur DKI Jakarta.
Dia memastikan untuk mempertahankan laporan itu, sehingga proses hukum terhadap Ahok bisa terus berlanjut.
"Permintaan maaf kami terima sebagai sesama anak bangsa. Ya, kami tetap proses masalah hukum," ujarnya saat dikonfirmasi, Senin, 10 Oktober 2016.
Baginya permintaan maaf secara lisan masih kurang sempurna, sehingga mendesak Ahok membuat pernyataan tertulis. Hal ini sebagai jaminan agar dia tak lagi melakukan perbuatan serupa di masa mendatang.
Satu sikap dengan FPI, Pemuda Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi yang melaporkan Ahok juga bergeming. Mereka tetap mendesak penegak hukum untuk menuntaskan kasus ini.
"Laporan tetap lanjut. Kita minta Polda segera memanggil Ahok dan memproses hukum. Ahok minta maaf silakan, itu bagus saja. Tapi proses hukum lanjut," ujar Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Pedri Kasman, kepada VIVA.co.id, Senin, 10 Oktober 2016.
Dia menilai permintaan maaf mestinya tak menggugurkan perbuatannya di mata hukum. Sebab permintaan maaf adalah bentuk tanggung jawab moral, sedangkan hukum memiliki konsekuensi sanksi yang bersifat memaksa.
"Minta maaf itu satu hal, tapi penistaan agama adalah kasus pidana yang harus diproses hukum dengan seadil-adilnya," katanya.
Menurut Pedri, kasus Ahok ini juga bisa menjadi pelajaran bagi pejabat publik lainnya, agar lebih berhati-hati dan tidak sembarangan mengeluarkan pernyataan.
"Proses hukum lanjut, demi keadilan hukum, demi menjaga wibawa hukum dan pelajaran bagi semua orang agar hati-hati dengan pernyataannya, apalagi pejabat publik," katanya.
Tak Boleh Sembarangan
Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar akhirnya mengingatkan Ahok, agar bijak dalam melontarkan pernyataan. Terlebih, jika mengutip ayat dalam kitab suci umat Islam, Alquran.
"Ini jadi pelajaran, bukan hanya Ahok. Biarlah ayat itu jadi milik umat Islam, jangan terjadi lagi," kata Nasaruddin dalam perbincangan di tvOne, Senin, 10 Oktober 2016.
Nasaruddin mengaku sudah melihat secara utuh video Ahok itu berulang kali. Dia mengamati betul kalimat Ahok yang menyatakan: "Kan, bisa saja dalam hati kecil, bapak ibu enggak bisa pilih saya, karena dibohongi (orang) dengan surat Al Maidah 51 macam-macam itu."
Mantan Wakil Menteri Agama RI ini menilai kalimat itu dalam keseluruhan konteks jauh dari menghina ayat Alquran. Namun, mengundang interpretasi lain. "Saya mengimbau ada kearifan bagi orang yang keliru mendalami ayat, apalagi mereka yang tidak memahami (Alquran)," ujarnya.
Sementara mengenai makna di balik ayat 51 surat Al Maidah. Nasaruddin menjelaskan, surat itu adalah perintah agar umat memilih pemimpin muslim, sebagai respons dari peristiwa khusus saat itu.
Umat Islam baru saja menghadapi perang Uhud, dan ada provokasi dai Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang tokoh yang dikenal munafik di Madinah. Lalu ayat itu turun untuk menghindari umat Islam bersekutu dengan kaum munafik.
"Ada empat Tafsir tadi malam saya kaji, Tafsir Ibnu Katsir, itu pada umumnya 'auliya' itu yang dimaksud adalah pertemanan," terang Nasaruddin.
Kendati demikian, Nasaruddin tak sepenuhnya menyalahkan umat muslim yang memahami 'auliya' sebagai pemimpin. Sebab, kata 'auliya' merupakan bahasa jamak dari ‘waliya’, yang lazim dipahami orang Arab sebagai pemimpin suatu wilayah.
Dia pun mengajak umat Islam bijak dalam merespons ujaran Ahok ini, dan tidak termakan isu maupun ajakan untuk melakukan aksi main hakim sendiri terhadap Ahok, dan menyerahkan kasusnya ke aparat penegak hukum.
"Saya pecaya, MUI sudah memberikan gambaran yang bagus," ungkapnya.
Senada dengan Nasaruddin, Politikus Partai Nasional Demokrat Irma Suryani Chaniago, berharap kasus ini selesai setelah ada permintaan maaf. Dia ingin semua pihak tak lagi menggunakan isu suku, agama, ras, dan antar golongan untuk mendongkrak popularitas ataupun menjatuhkan lawan.
Dia menilai masyarakat tak butuh lagi isu pengalih, yang akan membuat mereka berpaling dari mencari tahu program, visi dan misi para kandidat. Baginya sudah cukup propaganda hitam dipraktikkan pada Pemilu Presiden 2014 lalu.
Kini, dia mengajak masyarakat melangkah maju dan meninggalkan cara tercela itu. Sebab mengetahui program lebih prioritas daripada membahas isu SARA. "Semua kandidat diharapkan kampanye program dan jangan gunakan black campaign ke depan. Cara-cara yang digunakan pada Pilpres 2014 jangan lakukan lagi," tegas Irma di kompleks gedung parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 10 Oktober 2016.
Anggota Komisi IX DPR ini pun heran dengan mereka yang memainkan isu SARA dalam kontesasi Pilkada ini. Menurutnya, menyinggung masalah SARA akan merusak semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika', frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan menjadi “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Secara filosofi, bangsa ini memang terbentuk dari beragam suku, agama, ras, dan golongan, sehingga mengeksploitasi kelebihan ini secara negatif, sama saja mengikis persatuan.
"Jangan lah kita robek Bhinneka Tunggal Ika ini hanya demi kepentingan sekelompok orang dan partai saja," ujar Irma.
Kegundahan Irma memang masuk akal, karena mengedepankan isu SARA sebagai pijakan kampanye, hanya mengajak masyarakat memilih berdasarkan emosi. Padahal untuk memajukkan bangsa, khalayak mesti memiliki materi agar dapat menimbang pilihan yang ada. Di situ fungsi program, serta visi dan misi dari pasangan calon.