Hilangkan Stigma Negatif Gangguan Jiwa
- VIVA.co.id/M. Ali Wafa
VIVA.co.id – Lokasi sekitar Bundaran Patung Kuda di seberang Monumen Nasional (Monas), depan Gedung Indosat, Jalan Medan Merdeka Barat, Minggu pagi, 9 Oktober 2016 dibanjiri sekitar 1.300 orang, perempuan dan laki-laki, tua dan muda. Ribuan manusia dengan kaus putih, bertuliskan Walk The Talk warna hijau muda di atas semburat kuning pada bagian depan, rela datang pagi-pagi demi memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, yang jatuh setiap tanggal 10 Oktober.
Dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Ketergantungan Obat Indonesia (Arsawakoi), serta Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) memperingatinya dengan menggelar jalan sehat mengelilingi Monas, dengan start pukul 08.00 WIB dan selesai pukul 10.00 WIB. Kegiatan ini merupakan bentuk kreatif sesuai konteks tema besar Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tahun ini, Dignity in Mental Health: Psychological and Mental Health First Aid For All atau Martabat dalam Kesehatan Jiwa: Pertolongan Pertama Psikologis dan Kesehatan Jiwa Bagi Semua, dengan subtema Jiwa yang Sehat Berawal dari Keluarga Sehat.
Peringatan tersebut dilakukan demi menyampaikan komunikasi, informasi dan edukasi kesehatan jiwa kepada seluruh lapisan masyarakat, sekaligus mendukung kesehatan jiwa di Indonesia. Sebab kurangnya informasi dan edukasi mengenai penanganan kesehatan jiwa menyebabkan dampak negatif terhadap penderita.
Sebagai contoh, sekitar 50 mantan pasien gangguan jiwa di Manado pada Juni lalu terpaksa dikembalikan ke penampungan di Rumah Sakit Daerah Prof Dr VL Ratumbuysang Kota Manado lantaran ditolak oleh keluarganya. Alasannya, karena keluarga khawatir penderita kembali kambuh, dan stigma negatif gangguan jiwa, yang disamakan dengan gila dan terlanjur melekat, sehingga menimbulkan ketakutan dan rasa malu di keluarga dan masyarakat.
Akibatnya perlakuan tak manusiawi kerap mereka terima, seperti memasung penderita gangguan jiwa yang masih menjadi tradisi di sejumlah daerah. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menyebut, ada 56 ribu penderita gangguan jiwa di Indonesia yang dipasung, jumlah ini naik signifikan dibanding tahun 2009, yang tercatat sebanyak 18 ribu.
Tanpa disadari dan laik diketahui bahwa orang dengan permasalahan kesehatan jiwa di dunia memang terus merangkak naik angkanya setiap tahun, termasuk di Republik ini, mulai gangguan jiwa ringan, seperti depresi hingga berat, seperti
skizofrenia.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) 2016, ada sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang mengalami bipolar, 21 juta menderita skizofrenia, dan 47,5 juta mengidap dimensia. Sementara data Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang. Angka itu sekitar 6 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400 ribu orang atau sebanyak 1,7 per mil atau 1.000 penduduk. Jumlah kasus gangguan jiwa berat terbanyak di Yogyakarta dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), masing-masing 2,7 per mil, menyusul Sulawesi Selatan sebanyak 2,6 per mil, Bali dan Jawa Tengah masing-masing sekitar 2,3 per mil.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan RI, Fidiansyah mengatakan, meski berdasarkan data kota Gudeg dan Serambi Mekkah menduduki posisi teratas jumlah penderita gangguan jiwa, namun bukan berarti tak ada provinsi lain di negeri ini yang angka penderitanya lebih tinggi dari kedua provinsi tersebut.
"Jumlah orang dengan gangguan jiwa meningkat. Paling banyak di Aceh dan Yogyakarta, tapi tidak berarti di daerah lain (jumlah penderita gangguan jiwanya sedikit). Ini karena di Aceh dan Yogyakarta, sistem pencatatan kesehatannya sudah baik, sehingga banyak yang terdata," kata dia di Jakarta, Minggu, 9 Oktober 2016.
Kendala Penanganan Ganggguan Jiwa
Gangguan jiwa disebabkan banyak faktor, di antaranya tekanan psikologis akibat persoalan hidup, kesenjangan sosial, bencana, krisis, kehilangan, dan gangguan mental, ekonomi, sosial, pendidikan, dampak modernisasi, kemajuan teknologi dan lainnya. Namun alasan tersebut tak bisa dijadikan 'kambing hitam' sebagai penyebab jumlah penderita gangguan jiwa di negeri ini terus meningkat.
Penanganan yang buruk dan lamban menjadi salah satu pemicunya. Namun,
pemerintah beralasan bahwa untuk memangkas jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia, mereka menghadapi lima kendala utama. Pertama, minimnya sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki tidak seimbang dengan yang dibutuhkan untuk membantu menangani penderita gangguan jiwa.
Minimnya jumlah SDM berkorelasi pada distribusi SDM ke sejumlah wilayah. Akibatnya, SDM tidak merata dan banyak terpusat di kota-kota besar dibanding daerah. Tercatat, tenaga medis untuk masalah kesehatan jiwa, 75 persen terpusat di Pulau Jawa dan 700 psikiater juga berada di Jakarta.
Mirisnya, tak hanya SDM, tapi fasilitas kesehatan bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) juga masih sedikit, terutama dan lagi-lagi di daerah. Kendala lainnya, stigma di masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa, di mana mereka sering mendapat diskriminasi dan perlakuan yang tidak manusiawi, bahkan oleh keluarga sendiri.
Dan kendala kelima adalah soal pembiayaan yang hingga kini belum mendapat porsi dan perhatian yang sama dengan kesehatan fisik. Gangguan jiwa termasuk burden of disease atau penyakit yang membebani ekonomi negara, masyarakat dan keluarga. Itu karena produktivitas pasien menurun dan menimbulkan beban biaya besar bagi pasien dan keluarga. Akibatnya, gangguan ini menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang besar bagi pemerintah.
"Secara presentase (biaya) tidak bisa kita hitung, yang pasti sudah berusaha mencapai 5 persen tapi harus dibagi ke dalam komponen lain lagi. Untuk itu, sedang kita upayakan untuk meningkatkan," kata Fidiansyah.
Upaya Penanganan
Kendati biayanya besar dan terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah orang dengan gangguan jiwa, Kemenkes mengaku terus berupaya membantu, seperti membuat skema pembiayaan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk penderita gangguan jiwa.
Selain itu, pihaknya juga terus menggalakkan program bebas pasung di seluruh Indonesia. Bahkan, Kemenkes berupaya untuk mengadakan Memorandum of Understanding (MoU) dengan beberapa kementerian, dan sejumlah pihak agar penanganan terhadap masalah kesehatan jiwa, khususnya terhadap korban pemasungan bisa dilakukan secara menyeluruh.
"Kami sedang membuat MoU dengan Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Polri dan juga BPJS," ujarnya.
Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Farid Moeloek mengatakan bahwa kerja sama dengan sejumlah pihak tersebut untuk mewujudkan tersedianya pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif, bermutu, bermartabat, dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
"Namun juga perlu diupayakan agar seluruh penyedia pelayanan bersama seluruh lapisan masyarakat dapat memberikan dukungan awal psikologis dan memperlakukan orang dengan gangguan jiwa setara dengan individu dan anggota kelompok masyarakat lainnya," tutur dia.
Terlepas dari kendala utama yang masih menjadi masalah klasik menangani kasus ini, keluarga penderita gangguan jiwa dan masyarakat bisa membantu mereka pulih dan bermartabat. Itu karena peran keluarga dan lingkungan dalam memberikan pertolongan pertama orang dengan gangguan jiwa sangat berpengaruh terhadap terbentuknya keadaan yang menaikkan martabat, menghilangkan stigma dan diskriminasi orang yang mengalami masalah kesehatan jiwa.
Adapun langkah pertolongan kesehatan jiwa, yang bisa dilakukan, yakni pendekatan, deteksi dan membantu krisis apapun, mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan dukungan dan informasi yang tepat, mendorong penderita untuk mendapatkan bantuan profesional yang sesuai, serta mendorong dukungan lainnya.
Bagus Utomo, Ketua KPSI melihat pemberdayaan keluarga sebagai cara yang efektif untuk menutup kesenjangan terhadap stigma negatif bagi penderita gangguan jiwa dan keluarganya. Keterbukaan dan pemahaman masyarakat terhadap anggota keluarga yang mengalami gejala gangguan jiwa merupakan embun segar bagi komunitasnya.
"Kami sangat berharap agar masyarakat tidak lagi mengucilkan dan mendiskreditkan permasalahan kesehatan jiwa anggota keluarganya, bahkan sebaliknya justru menjadi sistem pendukung yang kuat yang dapat membantu mengembalikan keluarga mereka ke kehidupan yang berkualitas dan bermartabat," kata dia.