Penjara Tak Mempan, Fatwa Haram Bakar Hutan Terbit
- ANTARA/Jessica Helena Wuysang
VIVA.co.id – Membakar dan merusak hutan dengan sengaja, kini telah diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lewat fatwanya, lembaga ini menetapkan bahwa merusak hutan, khususnya dengan cara membakar adalah perbuatan haram yang harus dijauhi oleh umat Muslim.
Fatwa haram MUI ini tertuang dalam putusan bernomor 30 tahun 2016 tentang Pembakaran Hutan dan Lahan, serta Pengendaliannya. Ia diberlakukan, sejak diputuskan sebagaimana tertanggal dalam putusannya pada 27 Juli 2016.
"Melakukan pembakaran hutan dan lahan yang dapat menimbulkan kerusakan, pencemaran lingkungan, kerugian orang lain, gangguan kesehatan, dan dampak buruk lainnya, hukumnya haram," demikian tulis salah satu ketentuan hukum fatwa yang diterbitkan oleh MUI.
Mengulik dari sembilan lembar fatwa yang diterbitkan. Terdapat tiga hal yang menjadi landasan MUI atas ini. Pertama, kitab suci Alquran. Kedua, hadis Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kaidah fikih.
Salah satunya adalah yang tertuang dalam Alquran surat Al-Syura:183. "Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan."
Tak cuma itu, MUI juga menyertakan pertimbangan seperti kesepakatan para ulama, atau Ijtima' pada tahun 2006 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Fatwa MUI nomor 22 tahun 2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan. "Fatwa ini untuk mengikat dari sisi moral," kata Ketua MUI Profesor Huzaemah T. Yango.
Menjaga moral
Fenomena kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, diakui memang persoalan pelik. Selama 18 tahun berlalu, masalah ini selalu menghantui.
Tahun 2015, tercatat kerugian negara bahkan menembus Rp242 triliun, atau empat kali lipat dari dana pemulihan dan rehabilitasi Provinsi Aceh, saat diterjang bencana tsunami pada 2004. Atau, jumlah itu setara dengan dua persen dari pendapatan negara.
Yang lebih ironisnya lagi, dilaporkan 26 juta hektare hutan dan lahan di Indonesia pun habis terpanggang. Tentunya, menyebarkan racun emisi hingga mencapai 1,1 gigaton yang memayungi langit hingga ke beberapa negara tetangga.
Tak terbantahkan, Indonesia memang menjadi sorotan dunia soal kebakaran hutan dan lahan. Berulangnya kejadian ini selalu menuai kritikan dari negara lain. Indonesia pun dituding abai dan terkesan tak peduli dengan kondisi hutan mereka.
FOTO: Aktivitas pemadam kebakaran lahan gambut di Riau baru-baru ini/ANTARA FOTO
Sebab itu, kemudian mahfum ada anggapan bahwa memang hukum untuk lingkungan hidup di Indonesia dianggap tak bergigi. Berjubelnya peraturan soal perlindungan lingkungan, ternyata tak satu pun mampu menekan angka kerusakannya.
Tahun ini, sejak Januari 2016. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memang meminta MUI untuk merancang fatwa berkaitan dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Kejadian yang dianggap telah berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi, lingkungan, dan hubungan antarnegara itu dianggap mendesak dan perlu ditindaklanjuti juga dengan penerbitan hukum nonformal, selain ketentuan yang sudah ada selama ini.
"Hukum material saja tidak cukup, apalagi hanya hukum formal. Ada yang lebih penting, yakni hukum moral," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.
Seberapa efektif?
Menilik pada kasus kebakaran hutan dan lahan di 2015. Dari ratusan kasus terlapor dan terpantau, diakui Kepolisian baru kali ini sepertinya serius menyikapi kasus yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan.
Setidaknya pada 2015, ada 132 tersangka yang ditetapkan dalam kasus kebakaran hutan lahan. Sebanyak 127 di antaranya, adalah perseorangan dan sisanya korporasi.
Beranjak ke 2016, kasus kebakaran hutan pun kembali mendulang tersangka. Setidaknya 85 orang warga sipil ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian atas tindakan mereka membakar hutan.
Namun, tindakan tegas itu justru tak menyentuh korporasi. Faktanya, 15 kasus kebakaran hutan yang melibatkan korporasi di Provinsi Riau, ternyata dihentikan penyelidikannya oleh Kepolisian.
Dalih tidak cukup bukti pun menjadi dasar terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). "Menurut keterangan ahli itu (kebakaran hutan) tidak ada unsur kesengajaan atau kelalaian," kata Kabareskrim Polri Komjen Ari Dono Sukmanto, pada Juli lalu.
FOTO: Siswa Sekolah Dasar di Sumatera Selatan mengkritik minimnya respons pemerintah soal bencana kabut asap/ANTARA FOTO
Alhasil, akhirnya muncul anggapan bahwa ada ketidakseriusan pemerintah soal penanganan kasus kebakaran hutan. Dan, lagi-lagi ketentuan perundangan pun dianggap tidak mempan menjerat mereka yang berlindung di balik korporasi dalam kebakaran hutan dan lahan.
Jeruji penjara, akhirnya hanya bisa menjerat orang-orang kecil yang kesehariannya berladang memang harus membakar, lantaran tak memiliki alat mekanis seperti korporasi.
Lantas, apakah mungkin, banyaknya tersangka dari warga sipil yang terbukti membakar hutan, menjadi perlu diingatkan lagi moralnya lewat imbauan dari sisi agama, seperti halnya fatwa MUI?
Sejauh ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tetap menganggap fatwa ini sebagai pelengkap hukum formal. Diharapkan dengan itu, akan muncul kesadaran, khususnya kepada warga Muslim bahwa membakar hutan itu adalah perbuatan dosa.
"Ini sebuah soft power dan ini persoalan moral. Artinya, persoalan Karhutla ada juga persoalan-persoalan moral individu di dalamnya. Jadi, memang berbagai upaya kita yang lakukan di dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan," kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar, Selasa 13 September 2016.
Tahar, bahkan meyakini dengan fatwa haram pembakar hutan itu akan bisa menekan mereka yang dianggap nakal karena menyalahgunakan hutan dan lahan yang dikelolanya.
Namun, ketika disinggung sejauh mana efektivitas fatwa haram pembakaran hutan itu, Tahar enggan memastikan secara riil. Ia cuma memastikan bahwa fatwa tersebut tak lebih sebagai instrumen pelengkap untuk menyadarkan warga soal ancaman kebakaran hutan dan lahan.
"Saya pikir, semua instrumen, atau semua hal yang bisa kita lakukan, kita lakukan," katanya. (asp)