KTT ASEAN, Drama Duterte, dan Konflik Laut China Selatan
- Biro Kepresidenan RI
VIVA.co.id – ASEAN tengah menggelar hajat besar: Konferensi Tingkat Tinggi ke-28 dan 29 di Laos pada 6-8 September 2016. Pertemuan tersebut dihadiri oleh kepala negara/kepala pemerintahan.
Pembukaan KTT ini ditandai dengan penekanan tombol bersama peluncuran "VisitASEAN@50:Golden Celebration." Presiden RI Joko Widodo dijadwalkan untuk mengikuti seluruh rangkaian acara KTT yang digelar di Nasional Convention Center Vientiane, Laos. Presiden Jokowi membawa isu soal Laut China Selatan dan kerjasama maritim.
Namun belum dimulai, KTT ini sudah menjadi pemberitaan penuh drama antara Presiden AS Barack Obama dan Presiden Filipina Rodrido Duterte. Diberitakan oleh VoA, Selasa, 5 September 2016, rencananya, kedatangan Barack Obama ke KTT ASEAN adalah untuk menenangkan negara-negara di kawasan tersebut. Apalagi ini adalah kunjungan perdana Obama ke Laos, dan ia membawa misi untuk memperdalam hubungan dan meningkatkan pengaruh AS di kawasan ini. Kunjungan Obama ini juga akan menjadi kunjungan terakhirnya sebelum mengakhiri masa jabatan tahun mendatang.
Disela-sela KTT, Obama dijadwalkan bertemu dengan Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Menurut jadwal, kedua negara yang bersekutu ini akan membicarakan sejumlah hal, terutama terkait Laut China Selatan, dan rencana pangkalan militer di lima wilayah di sekitar Filipina. Apalagi KTT ASEAN kali ini juga mengangkat tema “25 Tahun Hubungan Dialog ASEAN-China.”
Namun rencana tersebut berantakan. Saat jumpa pers menjelang keberangkatan ke Laos, 5 September 2016, Presiden Duterte terpancing pertanyaan wartawan, tentang kemungkinan Obama akan membicarakan soal pemberantasan narkoba di Filipina, yang sejak dilakukan dua bulan lalu sudah membunuh lebih dari 2.400 orang.
Ia menduga Obama akan menceramahinya soal HAM dan pembunuhan ekstrajudisial. Kepada wartawan, Duterte mengatakan tak akan membiarkan seorang “anak haram” menceramahinya. Ucapan yang disampaikan Duterte membuat Obama tak terima. Ia membatalkan pertemuan dengan Duterte. Disaat yang sama, ia melanjutkan pertemuan dengan PM Jepang Shinzo Abe dan Presiden Korea Selatan Park Geun-hye. Meski kemudian Duterte menyatakan penyesalannya, namun Obama belum menjadwalkan, apakah mereka akan bertemu.
Jika terjadi, pertemuan Obama dan Duterte harusnya menjadi salah satu penentu penting dalam pertemuan antar pemimpin Asia Tenggara ini. Sebagian dari anggota ASEAN adalah negara yang terlibat dalam konflik dengan China soal perebutan lahan di Laut China Selatan. Malaysia, Brunei, Filipina, dan Vietnam adalah negara-negara yang bersengketa dengan China. Filipina memiliki peran strategis karena kedekatannya dengan Amerika Serikat. Namun ucapan Duterte yang menghina Obama membuat pertemuan batal dan agenda penting tertunda.
Soal Laut China Selatan seharusnya memang jadi pembicaraan penting pada KTT ini. Apalagi Filipina memenangkan gugatan di pengadilan arbitrase internasional. Meski Filipina sudah menang, namun China tak menganggapnya. China terus melakukan pembangunan dan mengijinkan kapalnya memasuki wilayah-wilayah sengketa.
Sikap China inilah yang membuat negara yang terlibat sengketa menjadi geram. Dua bulan lalu, Amerika sudah menyatakan kesediaannya untuk mendukung Filipina. AS akan membangun lima area baru untuk menempatkan militer mereka. Kehadiran AS di Filipina akan memberi kekuatan bagi seluruh negara yang terlibat dalam sengketa dengan China.
Keresahan Jokowi
Meski Duterte dan Obama batal bertemu, namun Indonesia juga mampu menangkap kegelisahan di kawasan Laut China Selatan. Di hadapan seluruh pemimpin ASEAN dan Perdana Menteri China Li Keqiang, Presiden Jokowi menyampaikan keresahan itu.
“Kemitraan ASEAN dan RRT harus mampu, saya tegaskan, harus mampu berkontribusi terhadap perdamaian, berkontribusi terhadap stabilitas dan berkontribusi terhadap keamanan di Laut China Selatan,” ujar Presiden, seperti dikutip dari rilis yang diterima oleh VIVA.co.id, Rabu, 7 September 2016..
Kontribusi tersebut dilakukan dengan menghormati Hukum Internasional (termasuk UNCLOS 1982). “Semua pihak harus dapat menahan diri. Semua pihak harus mengedepankan penyelesaian sengketa secara damai,” kata Jokowi.
Ia mendorong agar “Declaration of the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) harus diimplementasikan secara penuh dan efektif. Code of Conduct (COC) harus segera diselesaikan karena kawasan Laut China Selatan tak boleh menjadi ‘power projection’ kekuatan-kekuatan besar,” ujar Presiden. Presiden Joko Widodo mengingatkan pemimpin-pemimpin lain, ASEAN adalah rumah. "ASEAN wajib menjaga rumah kita dan memastikan adanya perdamaian dan stabilitas yang berkelanjutan," ujarnya.
Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN masih akan berlangsung hingga Kamis, 8 September 2016. Sikap politik ASEAN sangat ditunggu untuk menyelesaikan konflik di Laut China Selatan yang tak kunjung usai. Penyelesaian sengketa Laut China Selatan tak hanya menjadi kepentingan RI, namun juga kepentingan seluruh penghuni kawasan strategis ini.
Jika ASEAN mampu mengedepankan dialog untuk menjaga kestabilan, tentu akan menjadi poin lebih bagi kawasan ini, karena mampu menyelesaikan konflik dengan kepala dingin dan tanpa perlu mengangkat senjata.