Di Balik Bentrok Rawajati
- ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma
VIVA.co.id – Jerit kesakitan dan teriakan perlawanan mengiringi masuknya ratusan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta ke pemukiman warga di lingkungan Jalan Rawajati Barat, Rukun Tetangga (RT) 09/ Rukun Warga (RW) 04, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan.
Baku pukul pun tak terhindarkan, satu persatu warga yang melakukan perlawanan diamankan, diseret dan dipukul petugas Satpol PP. Tak hanya itu, lemparan batu dan benda keras lainnya berterbangan di antara warga yang mempertahankan rumahnya, dengan ratusan petugas Satpol PP yang akan masuk untuk membongkar paksa pemukiman liar itu.
Seperti itulah sedikit gambaran suasana keributan yang terjadi dalam pelaksanaan pembongkaran seratusan bangunan liar yang berdiri di sepanjang jalur hijau, kemarin.
Kekerasan seperti ini, juga pernah terjadi saat Pemerintah Provinsi DKI, mengerahkan personel satpol PP ketika akan merelokasi warga bantaran Kali Ciliwung di wilayah Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur, Kamis 20 Agustus 2015.
Warga melakukan perlawanan, kendati sebenarnya lahan yang mereka tempati merupakan tempat terlarang berdirinya pemukiman warga.
Pada kasus kekerasan dalam penertiban di Jalan Rawajati Barat, Wali Kota Jakarta Selatan, Tri Kurniadi mengaku telah melakukan berbagai cara agar tidak terjadi penolakan yang berakhir dengan keributan.
Menurutnya, salah satu upaya agar warga mau meninggalkan lahan itu, ialah dengan mengirimkan surat peringatan kepada para warga sudah diberikan sejak jauh-jauh hari.
"Kami sudah keluarkan SP (surat perintah) bongkar, ini legal. Justru sudah sejak September 2015 SP sudah keluar. Kita kan kerja berdasarkan aturan," kata Tri, Kamis, 1 September 2016
Bahkan, Tri mengaku, dia dan jajarannya sudah melakukan sosialisasi. Tapi warga tetap tak mau hengkang dari lahan itu, dan berdalih tanah tempat rumah mereka berdiri berstatus hak milik pribadi. "Kami sudah dialog panjang, bukan ujuk-ujuk gusur. Saya punya semua bukti sosialisasi," ujar Tri.
Sama halnya dengan nasib warga Kampung Pulo, warga di Rawajati juga tidak memiliki hak atas ganti rugi lahan dan bangunan. Karena, secara sah, lahan itu merupakan aset pemerintah yang peruntukannya sudah dinyatakan sebagai ruang terbuka hijau.
Meski demikian, Tri mengatakan, pemerintah daerah telah memberikan kompensasi berupa penggantian tempat tinggal. Setiap warga yang rumahnya dibongkar dan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Jakarta, akan ditempatkan di tempat tinggal yang layak, yaitu di rumah susun (rusun) di wilayah Marunda, Jakarta Utara.
Tak hanya tempat tinggal yang layak, pemerintah juga menyiapkan sarana pendidikan untuk anak-anak dari keluarga yang direlokasi, serta angkutan umum gratis. Sayangnya, menurut Tri, hanya lima kepala keluarga saja yang bersedia direlokasi secara sukarela.
"Sepanjang mereka mau pindah, dan minta bantuan akan kita bantu. Anak sekolah pindah akan kita bantu. Kalau di rusun naik transportasi umum seperti TransJakarta gratis," ujar Tri.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengatakan, sebagian besar atau sekitar 60 kepala keluarga (KK) yang huniannya digusur merupakan penjual yang menjadikan tempat tinggal mereka sebagai tempat usaha.
Karena itu mereka akan dipindahkan ke pasar milik BUMD DKI Jakarta. "Sebagian (tempat berjualan warga) ditaruh ke pasar," ujar Ahok.
Ahok menambahkan, penertiban yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta selain memiliki tujuan mengembalikan fungsi kawasan, sebenarnya dilakukan untuk membuat warga hidup lebih layak. "Kita kan niatnya untuk menolong," ujar Ahok.
Dengan direlokasi ke pasar pemerintah, warga kini berjualan di tempat legal. Mereka juga bisa mendapat bantuan kredit dari PD Pasar Jaya atau Bank DKI. "(Pasar yang dikelola) Pasar Jaya adalah inkubator," ujar Ahok.
Rela melawan demi nyaman
Tri Kurniadi dan Ahok boleh saja berpikir telah memberikan solusi terbaik dengan judul menolong warga dalam kegiatan penggusuran pemukiman warga yang berdiri di jalur hijau.
Tapi, rumah layak huni di Rusun Marunda dan kios di pasar-pasar milik BUMD yang legal, belum tentu bisa membuat warga merasa nyaman, seperti yang mereka dapatkan di tempat lama.
"Perpindahan dari satu tempat ke tempat yang baru sudah pasti menimbulkan kecemasan bagi warga yang ditertibkan. Karena, belum tentu di tempat yang baru, warga menemukan kenyamanan yang sama seperti selama ini mereka dapatkan," kata Devi Rahmawati, pengamat sosial Universitas Indonesia (UI) kepada VIVA.co.id, Kamis 1 September 2016.
Menurut Devi, kenyamanan yang dimaksudkan, seperti kenyamanan sosiologi dan ekonomi, yang belum tentu didapatkan di tempat yang baru dalam waktu dekat.
Karena itulah, dalam setiap penggusuran, ada saja warga yang merasa harus melakukan perlawanan agar apa yang mereka nikmati selama ini, tetap terjaga tanpa harus pindah ke lokasi yang baru.
"Memang ini tidak mewakili semua warga secara keseluruhan. Tapi, bagi mereka yang biasa hidup di lahan itu, pasti akan merasa tak biasa jika harus hidup di rusun," ujarnya.
Devi menuturkan, keributan akan rentan terjadi di saat-saat penggusuran akan dilaksanakan. Apalagi, selama ini, seperti sebuah kebiasaan, ada saja isu yang beredar di warga yang akan digusur, tentang hal-hal buruk di tempat yang baru.
"Isu itu akan beredar meskipun kenyataannya tempat yang baru lebih baik dari tempat sebelumnya," kata Devi.
Selain itu, menurut Devi, sebenarnya kekerasan dan penggusuran bisa dihindari, asalkan tahu akar masalahnya, seperti yang terjadi saat penggusuran kawasan Kalijodo di Jakarta Utara. Namun, untuk menciptakan suasana aman saat penggusuran, pemerintah harus lebih mengintensifkan komunikasi dalam melakukan sosialisasi jelang penggusuran.
Dan, Devi mengatakan, komunikasi itu harus dilakukan dengan jangka waktu yang panjang dari hari pelaksanaan penggusuran, serta melibatkan seluruh perwakilan masyarakat di wilayah itu.
"Masyarakat kita adalah masyarakat yang bermusyawarah, komunikasi langsung akan lebih efektif, pemerintah harus melakukan pendekatan verbal dengan cara diskusi langsung, dan itu harus diintensifkan," katanya.