Jilbab Bikin Eropa Galau
- crazzfiles.com
VIVA.co.id – Di tengah menguatnya tudingan terorisme pada Islam maupun gejala Islamophobia di sebagian Eropa, Inggris Raya dan Kanada menunjukkan sikap berbeda. Kedua negara ini malah menjadikan jilbab sebagai salah satu opsi seragam bagi personel keamanan mereka.
Kepolisian Skotlandia baru-baru ini secara resmi mengizinkan penggunaan hijab atau jilbab sebagai bagian dari seragam resmi institusi mereka. Sebelumnya, pemakaian hijab atau jilbab baru bisa dilakukan jika ada izin. Kepolisian Skotlandia mengatakan, penggunaan jilbab diizinkan sebagai bentuk keterbukaan mereka agar lebih representatif dalam melayani publik Skotlandia.
Langkah Kepolisian Skotlandia itu, yang termasuk bagian dari Inggris Raya, mengikuti apa yang sudah diterapkan Kepolisian Metropolitan London (Scotland Yard) sepuluh tahun lalu. Kepolisian di Ibu Kota Inggris itu, ungkap New Indian Express, sudah membolehkan polisi wanita yang beragama Islam di sana untuk memakai kerudung saat bertugas.
"Seperti kebanyakan pekerja, terutama yang bekerja di sektor publik, kita bekerja untuk memastikan pelayanan yang kita berikan pada publik bisa mereka terima. Saya berharap penambahan opsi pada seragam kami akan memberikan kontribusi untuk menyatukan perbedaan pada staf kami dan meningkatkan ketrampilan hidup, pengalaman, dan kualitas personal dari petugas dan staf kepolisian warga Skotlandia," ujar Phil Gormley, Kepala Polisi Skotlandia, seperti dikutip dari Telegraph, 24 Agustus 2016.
Hanya berselang sehari, Kepolisian Kanada memberikan pernyataan yang sama. The Royal Canadian Mounted Police (RCMP) mengizinkan Muslimah yang menjadi anggota mereka untuk mengenakan jilbab. RCMP berharap kebijakan tersebut bisa mendorong Muslimah untuk menjadi bagian dari korps mereka.
"Komisioner RCMP sudah menyetujui penambahan seragam ini. Izin ini bertujuan untuk merefleksikan perbedaan dalam komunitas kami dan mendorong lebih banyak lagi Muslimah untuk bangga memilih berkarir di RCMP," kata jubir Kementerian Keamanan Publik, Scott Bardsley seperti dikutip dari Al Arabiya, 25 Agustus 2016.
Sikap terbuka yang ditunjukkan dua negara Eropa ini sangat berbeda dengan sikap yang ditunjukkan tiga wali kota Prancis. Dua pekan terakhir, berita mengenai pelarangan burkini, atau baju renang untuk Muslimah yang serba tertutup dari kepala hingga pergelangan kaki, di sejumlah pantai di Prancis, menjadi perbincangan hangat. Pelarangan ini bahkan sudah memakan korban.
Seorang Muslimah yang sedang berjemur santai di pantai Promenade des Anglais di Nice, Prancis, pada 23 Agustus 2016, dipaksa melepaskan burkini yang ia kenakan. Diberitakan oleh BBC, empat polisi Prancis mengelilingi wanita tersebut sambil memegang semprotan lada dan tongkat, seperti sedang menghadapi demonstran. Muslimah itu mengalah, ia melepaskan burkininya.
Dua hari sebelumnya, kasus yang sama juga terjadi di sebuah pantai di Cannes. Seorang Muslimah didenda dan diminta meninggalkan pantai. Padahal ia hanya mengenakan penutup kepala, bukan burkini.
Dikutip dari abc.net.au, sudah tiga wilayah di Prancis yang melarang Muslimah mengenakan burkini di pantai. Pelarangan ini menimbulkan kecaman dari kelompok pendukung hak asasi manusia. Menurut mereka pelarangan tersebut adalah pelanggaran HAM yang serius dan illegal dalam penegakan HAM, termasuk membatasi kebebasan beragama pada seseorang.
Sikap Terbelah
Sikap Eropa pada Islam dan Muslim nyata terbelah. Gelombang pengungsi dari negara yang terlibat perang dan konflik seperti Suriah, Afghanistan, Irak, Libya, dan Lebanon, tahun lalu membanjiri Eropa dalam jumlah yang signifikan. Lebih dari 1 juta pengungsi dan imigran memasuki nyaris seluruh wilayah sekumpulan negara maju tersebut. Lebih dari 90 persen diantara pengungsi dan imigran yang datang beragama Islam.
Aksi teror yang dilakukan oleh kelompok militan ISIS dan pendukungnya di Belgia, Prancis, Jerman, Inggris, dan sejumlah negara Eropa, membuat rakyat dan pemerintah negara Eropa hidup dalam ketakutan dan kekhawatiran. Bahwa pengungsi dan imigran yang beragama Islam dan memasuki negara mereka, akan membawa kekacauan. Itu menjadi alasan tak semua negara Eropa bersedia membuka pintu bagi pengungsi.
Bahkan meski Uni Eropa meminta seluruh negara di Eropa untuk berbagi dan menerima pengungsi sesuai kemampuan masing-masing negara. Tak semuanya bisa menerima. Hungaria merespon permintaan Uni Eropa dengan menutup perbatasan mereka. Serbia dan Kroasia mengikuti langkah Hungaria.
Inggris yang marah atas sikap Eropa akhirnya melakukan referendum. Hasilnya, rakyat Inggris memutuskan keluar dari Uni Eropa. Kasus pengungsi bukan satu-satunya pemicu, namun kasus itu menjadi puncak gunung es kekecewaan Inggris pada Uni Eropa. Sementara Angela Merkel, Kanselir Jerman yang memilih untuk tetap menerima pengungsi harus menelan pil pahit. Elektabilitasnya terus menurun. Namun Merkell bergeming. Atas nama kemanusiaan ia mengatakan akan tetap menerima pengungsi.
Sikap Prancis yang menolak Burkini dan keputusan Kanada dan Skotlandia yang justru menerima jilbab sebagai salah satu seragam resmi anggota mereka memberi sinyal jelas, Eropa sedang terbelah. Isu Ham dan kemanusiaan yang selama ini kencang disuarakan menghadapi sandungan. Jutaan pengungsi Muslim yang memasuki wilayah mereka, dan aksi teror yang dilakukan militan ISIS menjadi ujian, mampukah Eropa memisahkan, mana religiusitas yang harus dihormati dan mana terorisme yang wajib diperangi?
(ren)