Rokok Rp50.000 Sebungkus, Siapa Untung, Siapa Rugi?
- U-Report
VIVA.co.id – Wacana kenaikan harga rokok menjadi Rp50 ribu per bungkus telah menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Usulan kenaikan dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia ini di satu sisi mendapat respons positif dari masyarakat nonperokok untuk mengurangi masifnya konsumsi rokok yang berbahaya bagi kesehatan.
Selama ini, harga rokok Rp20.000 ke bawah dinilai menjadi penyebab tingginya jumlah perokok di Indonesia. Hal tersebut membuat harga rokok terjangkau oleh semua kalangan hingga anak-anak sekolah.
Di sini lain, para perokok dan produsen rokok keberatan dengan kenaikan tersebut karena dinilai sangat memberatkan konsumen yang mayoritas kelas menengah ke bawah. Produsen rokok pun berkelit bahwa harga rokok yang mahal malah akan memicu lebih banyak impor rokok ilegal dan mematikan mata pencaharian para petani tembakau.
Isu kenaikan cukai rokok Rp50 ribu per bungkus masih sekadar wacana. Pemerintah belum berencana untuk menaikkan cukai rokok. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menegaskan, pemerintah sampai saat ini belum berencana menaikkan cukai rokok.
Diutarakannya, pemerintah belum menerbitkan aturan terbaru mengenai harga jual eceran (HJE) maupun penetapan tarif cukai rokok baru. "Kementerian Keuangan belum ada aturan terbaru, mengenai HJE atau tarif rokok," jelas Menkeu dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin 22 Agustus 2016.
Mantan direktur operasional Bank Dunia itu memastikan pembahasan kenaikan cukai rokok belum ada dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2017. "Nanti (naik atau tidaknya tarif cukai) akan diputuskan sebelum pembahasan APBN 2017 dimulai," tegasnya.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan pun membantah kabar yang menyebutkan harga rokok akan melambung hingga di kisaran Rp50 ribu per bungkus. Otoritas cukai mengatakan, sampai saat ini pemerintah bersama industri terkait, maupun asosiasi-asosiasi rokok nasional belum menyepakati adanya aturan terbaru, mengenai harga jual eceran (HJE) rokok nasional.
Meski demikian harga rokok dipastikan akan naik tahun depan. Dirjen Bea Cukai, Heru Pambudi, mengungkapkan harga rokok rata-rata naik 11 persen setiap tahun.
Menjerat rakyat miskin
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendorong wacana kuat untuk menaikkan harga rokok secara signifikan, yakni Rp50 ribu per bungkus. YLKI menilai, kenaikan harga rokok akan bermanfaat bagi masyarakat dan negara.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengatakan, wacana kenaikan harga rokok dapat juga menurunkan tingkat konsumsi rokok di rumah tangga miskin.
"Ini hal yang sangat logis, karena 70 persen konsumsi rokok justru menjerat rumah tangga miskin. Data BPS (Badan Pusat Statistik) setiap tahunnya menunjukkan bahwa pemicu kemiskinan di rumah tangga miskin adalah beras dan rokok. Dengan harga rokok mahal, keterjangkauan mereka terhadap rokok akan turun," kata Tulus, Senin, 22 Agustus 2016.
Selain itu, naiknya harga rokok membuat menurunnya konsumsi rokok di rumah tangga miskin, yang akan berefek positif terhadap kesejahteraan dan kesehatan keluarga.
Sementara bagi negara, harga rokok mahal akan meningkatkan pendapatan cukai, yang bisa meningkat 100 persen dari sekarang. Apalagi saat ini cukai dan harga rokok di Indonesia tergolong terendah di dunia.
“Harga rokok mahal tidak akan membuat pabrik rokok bangkrut atau PHK (pemutusan hubungan kerja) buruh. PHK buruh rokok karena pabrik melakukan mekanisasi, mengganti buruh dengan mesin," katanya.
Hal senada juga diutarakan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mendukung kenaikan harga rokok. Kalla menilai bahwa rokok termasuk berbahaya karena dapat merusak kesehatan, bahkan dapat menyebabkan kematian.
Dia menyebut kenaikan harga rokok akan dapat menurunkan peredaran rokok, termasuk kepada kalangan anak sekolah. Dia meyakini kenaikan harga tidak akan memengaruhi industri tembakau.
Kalla juga menyebut bahwa kenaikan harga tidak akan merugikan petani tembakau. Lantaran 40 persen tembakau yang beredar di lndonesia merupakan hasil impor.
Kontraproduktif upaya pengendalian rokok?
Produsen rokok menolak mentah-mentah usulan menaikkan harga rokok menjadi Rp50 ribu per bungkus. Head of Regulatory Affairs, International Trade and Communications PT HM Sampoerna Tbk, Elvira Lianita, menyampaikan, kenaikan harga drastis maupun kenaikan cukai secara eksesif bukan langkah bijaksana. Karena setiap kebijakan yang berkaitan dengan harga dan cukai rokok harus mempertimbangkan seluruh aspek secara komprehensif.
Aspek tersebut terdiri dari seluruh mata rantai industri tembakau nasional seperti petani, pekerja, pabrikan, pedagang dan konsumen, sekaligus juga harus mempertimbangkan kondisi industri dan daya beli masyarakat saat ini.
Ia melanjutkan, kebijakan cukai yang terlalu tinggi tentunya akan mendorong naiknya harga rokok menjadi mahal sehingga tidak sesuai dengan daya beli masyarakat.
"Jika harga rokok mahal, maka kesempatan ini akan digunakan oleh produk rokok ilegal yang dijual dengan harga sangat murah dikarenakan mereka tidak membayar cukai," kata dia dalam keterangan resminya, Minggu, 21 Agustus 2016.
Elvira menyebut, berdasarkan studi dari beberapa universitas nasional, perlu menjadi catatan penting bahwa dengan tingkat cukai saat ini, perdagangan rokok ilegal telah mencapai 11,7 persen dan merugikan negara hingga Rp9 triliun.
"Hal ini tentu kontraproduktif dengan upaya pengendalian konsumsi rokok, peningkatan penerimaan negara, dan perlindungan tenaga kerja," tuturnya.
Sementara, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia, Budidoyo, mengatakan menaikkan harga rokok satu bungkus Rp50 ribu agar penerimaan negara tinggi dari sektor cukai rokok dipastikan tidak akan terwujud karena permintaan rokok pasti akan turun drastis di dalam negeri.
"Kalau permintaan turun drastis imbasnya pada cukai rokok yang akan turun drastis pula. Saat ini cukai rokok mampu menyumbang pendapatan negara mencapai Rp173 triliun. Kalau harga satu bungkus rokok Rp50 ribu maka bisa hanya separuhnya saja cukai rokok masuk ke kas negara," ungkapnya.
Jika kesehatan menjadi alasan menaikkan cukai rokok untuk mengurangi masyarakat Indonesia merokok, hal itu juga sangat sulit untuk direalisasikan. Harga rokok mahal akan mendorong konsumsi rokok ilegal lebih banyak.
"Untuk kesehatan, para perokok pasti akan mencari rokok alternatif lain yang harganya lebih murah bahkan rokok ilegal yang dipastikan akan marak," ujarnya.
Budidoyo menilai pemerintah adalah pihak yang munafik. Di satu sisi ingin memperbanyak pendapatan dari cukai rokok, namun di sisi lain merugikan banyak petani tembakau.
Para petani tembakau akan kehilangan pekerjaan karena permintaan tembakau menurun akibatnya pabrik mengurangi produksinya. Dalam waktu tak lama akan ada ribuan buruh pabrik tembakau mengalami pemutusan hubungan kerja besar-besaran.
"Sektor tembakau ini memengaruhi hajat hidup orang banyak, dari petani tembakau, pedagang tembakau, buruh pabrik hingga penjualan asongan rokok," tuturnya.