Drama Filipina dan Ancaman untuk PBB

Presiden Filipina, Rodrigo Roa Duterte.
Sumber :
  • REUTERS/Lean Daval

VIVA.co.id – Presiden Filipina Rodrigo Duterte memberikan pernyataan mengejutkan. Ia mengaku kesal pada badan dunia, Perserikatan Bangsa Bangsa dan siap hengkang.

Duterte Menolak Minta Maaf Atas Kematian dalam Perang Antinarkoba

Semua bermula saat dua pejabat ahli hak asasi manusia di PBB mendesak pemerintah Filipina mengakhiri gelombang eksekusi ekstrajudisial dan pembunuhan. Mereka menekankan, "pengadilan terhadap pelaku narkoba harus diadili di pengadilan atas nama hukum, bukan pria bersenjata di jalanan."

"Klaim untuk melawan perdagangan obat terlarang tidak membebaskan pemerintah  suatu negara dari kewajiban hukum internasional, dan tidak melindungi negara pelakunya atau orang lain dari tanggung jawab untuk pembunuhan ilegal," ujar Agnes Callamard,  Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi.

Gagal Capai Target Vaksinasi COVID-19, Duterte Ancam Hukum Pejabat

Pernyataan tersebut disampaikan Callamard dalam sebuah rilis berita dari Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) yang dipublikasikan melalui un.org, Jumat, 19 Agustus 2016.

"Negara memiliki kewajiban yang mengikat secara hukum untuk menjamin hak untuk hidup dan keamanan setiap orang di negeri ini, apakah yang diduga melakukan tindak pidana atau tidak," ujarnya menambahkan.

Duterte Usul Warga yang Tak Mau Divaksin Disuntik Saat Tidur

Sejak awal terpilih pada 10 Mei 2016, Rodrigo Duterte berulangkali menyatakan akan berperang dengan narkoba. Namun cara yang ia pilih bukan pengadilan resmi. Duterte memilih cara yang sangat tak lazim, ia lebih suka mengambil tindakan sendiri dan melakukan eksekusi ekstrajudisial. Semua terduga dibunuh tanpa ada pengadilan resmi. Sejak ia menjadi Presiden Filipina, sudah lebih dari 1.000 orang tewas dibunuh. Mereka diduga bagian dari pengedar, pedagang, dan pemakai narkoba.

Ratusan orang tewas di jalanan, di gang-gang kecil, juga di atas kendaraan, dengan kondisi tertembak, darah yang masih mengalir, tangan terikat, bahkan kepala atau mata yang tertutup. Tak hanya itu, Duterte juga secara terbuka mengumumkan nama lebih dari 150 pejabat negara, anggota kepolisian, dan militer yang dianggap terkait dalam jaringan narkoba. Puluhan orang secara sukarela menyerahkan diri.

Namun aksi Duterte dinilai brutal dan menuai kecaman dari pegiat hak asasi manusia di dalam negeri, maupun luar negeri. Termasuk Callamard yang mewakili PBB. Callamard, yang bertugas khusus sebagai seorang ahli dan tidak dibayar memiliki tugas menjadi pengamat dan pelapor dari seluruh negara di dunia, khusus persoalan hak asasi.

Callamard juga menyoroti impunitas yang diberikan Duterte bagi mereka yang membantu menyerahkan pengedar narkoba dalam keadaan hidup atau mati. Apalagi Duterte juga mengizinkan siapa saja yang mengetahui adanya perdagangan narkoba disekitarnya untuk mengambil tindakan apa saja, termasuk membunuhnya.  "Ini adalah surat ijin membunuh yang sangat efektif," ujar Callamard.

Sementara Dainius Puras, pelapor khusus PBB untuk urusan hak atas kesehatan juga meminta Duterte untuk tidak membunuh pengguna narkoba. "Soal ketergantungan narkoba, seharusnya diperlakukan sebagai masalah kesehatan masyarakat, dan sistem peradilan yang mendekriminalisasi konsumsi obat dan kepemilikan untuk penggunaan pribadi yang dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan hasil kesehatan," ujar Puras, seperti disampaikan melalui un.org, Jumat, 19 Agustus 2016.

Pernyataan dua ahli dari PBB inilah yang menyulut kemarahan Duterte. "Saya ingin ahli PBB datang ke sini dan menghitung kematian," ujarnya seperti dikutip dari USA Today, Minggu, 21 Agustus 2016.

Dalam kemarahannya Duterte menilai PBB tidak sopan. Ia lalu mengkritik respons PBB soal konflik Suriah. Mengutip gambar seorang anak Suriah yang penuh debu dan darah dalam mobil ambulans, lalu mengecam pembunuhan terhadap warga kulit hitam di Amerika Serikat.

Duterte menganggap PBB tidak adil dan tak sopan dengan pernyataan tersebut. Ia menganggap apa yang dilakukannya sekarang adalah untuk melindungi warganya  dari pengaruh narkoba. "Jika anda tak sopan, lebih baik kami keluar. Mungkin kita (Filipina) harus memutuskan untuk memisahkan diri dari PBB," ujar Duterte dalam pidatonya di Manila.

Tak hanya mengancam keluar dari badan dunia tersebut, Duterte bahkan mengancam akan mengajak China dan beberapa negara di Afrika untuk membentuk organisasi dunia yang baru agar PBB tidak mencampuri urusan dalam negeri mereka. "Kalian (PBB) tidak pernah melakukan apa pun," kata Duterte seperti diberitakan oleh Sputnik, Minggu, 21 Agustus 2016.

Meski menerima laporan bahwa publik Filipina telah mengecam tindakan Duterte dan menuntut agar pihak berwenang mengambil sikap yang tegas dan jelas, namun kedua ahli menganggap itu semua belum cukup.

"Semua tindakan pembunuhan dan eksekusi ekstrajudisial harus dijelaskan dan dilakukan penyelidikan. Mereka meminta pihak berwenang Filipina untuk mengambil tindakan yang penting dan segera mungkin untuk melindungi seluruh warga Filipina dari kemungkinan menjadi target pembunuhan dan eksekusi ekstrajudisial," ujar Callamard.

Namun baru sehari pernyataan Duterte menimbulkan kegemparan, Menteri Luar Negeri Filipina Perfecto Yasay segera menyampaikan sikap sebaliknya. Dihadapan wartawan, ia menegaskan bahwa Filipina tidak akan keluar dari PBB.

"Pernyataan Duterte merupakan sebuah pernyataan yang mengungkap frustrasi dan kekecewaan mendalam," ujarnya seperti dikutip dari Reuters, Senin, 22 Agustus 2016. "Kami akan tetap berkomitmen dengan PBB, meskipun banyak kekecewaan kami terhadap lembaga internasional ini," ujar Yasay menambahkan.

Pernyataan Yasay seperti mementahkan ancaman Duterte. Namun melihat gaya Duterte yang eksentrik, urakan, dan tak peduli, bukan tak mungkin ia akan melakukan apa yang ia ucapkan. Sama seperti ketika ia mengatakan akan mengambil tindakan tegas pada para pengedar narkoba, dan kemudian memenuhi janjinya dengan membunuh secara brutal pada mereka yang diduga memiliki jaringan narkoba, kemarin Duterte juga sempat menyampaikan ucapan marahnya pada PBB.

"Saya tak ingin menghina Anda. Anda tahu, PBB, jika Anda bisa menyampaikan satu hal buruk tentang saya, maka saya bisa memberikan 10 tentang anda," ujarnya.

Jadi, dunia bisa menunggu. Drama apa yang akan segera ditampilkan PBB dan Duterte. Mungkinkah saling ancam akan terus berlanjut, atau pernyataan Perfecto Yasay menjadi penutup? Mari menunggu.

 

BBC Indonesia

Pilpres Filipina, Siapa Saja Kandidatnya dan Apa Isu Utamanya?

Pemilihan Presiden Filipina, yang digelar Mei 202, bakal menjadi kontroversial karena para kandidat utamanya terdiri dari anak presiden Duterte, putri eks diktator Marcos, serta petinju terkenal Manny Pacquaiao.

img_title
VIVA.co.id
10 Februari 2022