Memburu Paspor Palsu Demi Naik Haji
- Rusli Djafar/Parepare
VIVA.co.id – 177 warga negara Indonesia (WNI) diamankan otoritas Filipina, lantaran menggunakan kuota haji Filipina dan paspor palsu untuk menunaikan ibadah haji. Media-media Filipina menyorot tajam. Mereka menjadikan kasus ini berita utama.
The Philippine Star menjadikan berita itu sebagai headline dengan sorotan utama: ratusan calon haji dari Indonesia, coba cari keberuntungan dari Filipina, dengan seolah-olah menjadi warga mereka untuk tetap berangkat haji tahun ini. Mereka dikawal lima orang Filipina, yang diduga menjadi perantara ratusan WNI tersebut untuk memperoleh paspor.
The Philippine Inquirer juga menjadikan kasus ini di halaman depan media mereka. Judul yang digunakan, ratusan orang Filipina palsu ditangkap di bandara. Laporan menyebutkan, kebanyakan para WNI itu berusia 50 tahun ke atas. Mereka menyiapkan dana mulai dari Rp78 sampai Rp131 juta, agar bisa berangkat haji dari Filipina.
Kasus ini terbongkar, saat petugas bandara mendapatkan ratusan WNI itu tak bisa berbahasa asli Filipina, meski paspor tertera warga sana.
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia, Lalu Muhammad Iqbal, Sabtu 20 Agustus 2016, menyatakan bahwa kasus itu benar adanya. Menurutnya, pada 19 Agustus 2016, sekitar pukul 09.00, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Manila dihubungi oleh imigrasi Bandara Internasional Manila memberitahukan, adanya sejumlah penumpang Philippines Airlines jurusan Jeddah yang paspornya mencurigakan.
Setelah dilakukan verifikasi awal, ditemukan sekitar 177 orang diyakini sebagai WNI, yang hendak menunaikan ibadah haji menggunakan kuota haji Filipina. Mereka diduga menggunakan dokumen palsu yang diatur oleh sindikat di Filipina. 177 orang tersebut diinterogasi di detensi imigrasi Filipina.
KBRI Manila juga telah berkoordinasi dengan otoritas imigrasi Filipina. Staf Kementerian Luar Negeri dan Tim KBRI Manila bekerja sama dengan Otoritas Imigrasi Filipina, sedang melakukan wawancara dan pendalaman kasus dengan 177 orang tersebut.
Iqbal berharap, kasus ini segera dapat ditarik kesimpulan untuk dasar memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan.
Modus
WNI yang gagal berangkat haji karena menggunakan paspor palsu Filipina tersebut, kemudian dibawa ke penampungan imigrasi KBRI Filipina. Mereka yang tinggal di situ telah melalui proses verifikasi KBRI Filipina, dan hasilnya dipastikan semuanya benar WNI.
Sebagai catatan, selain WNI ada warga negara lain seperti dari Malaysia, yang mencoba peruntungan sama, yakni pergi haji dengan cepat, tanpa mengantre dari negaranya masing-masing.
Warga Indonesia yang mencoba peruntungan itu semuanya telah berusia 50 tahun ke atas. Mereka tergiur setelah diimingi oleh lima orang Filipina, yang disebut otoritas setempat sebagai sindikat penyedia jasa paspor palsu. Para korban datang ke Filipina, dari tempat asalnya secara terpisah dengan visa wisata.
Modus itu terendus tim intelijen. Otoritas setempat, kemudian melakukan penggerebekan. Petugas curiga, karena para calon jemaah haji itu tak bisa berbahasa Tagalog, atau bahasa lokal lain di Filipina. Setelah ditanya lebih lanjut, ada yang mengaku warga negara Indonesia.
Otoritas Filipina, kemudian berkoordinasi dengan KBRI di Manila dan terverifikasi sekitar 170 benar merupakan WNI. KBRI akan melakukan pengawalan dan menyediakan jasa konsuleran warga yang saat ini masih berada di imigrasi. Lima orang sindikat penipu yang menyediakan jasa itu, kemudian diinterogasi untuk investigasi lanjut.
Para korban rata-rata mengeluarkan Rp78-130 juta untuk berangkat haji dari Filipina tersebut. Jumlah itu setara dengan ongkos haji plus di Indonesia. Mereka tergiur tawaran itu, demi cepat melaksanakan haji, karena antrean di Indonesia panjang.
Kurang edukasi
Kasus 177 warga negara Indonesia (WNI) yang diamankan otoritas Filipina, lantaran menggunakan kuota haji Filipina dan paspor palsu untuk menunaikan ibadah haji menjadi sorotan. Anggota Komisi VIII DPR menilai, ada kurangnya edukasi terkait hakikat haji dalam kasus ini.
"Kurangnya edukasi kepada jamaah dari para ulama tentang hakikat haji. Jangan haji dengan cara yang haram dan ilegal," kata Wakil Ketua Komisi VIII Sodik Mujahid.
Selain itu, politikus Partai Gerindra ini juga menyayangkan kurangnya edukasi dari Kementerian Agama tentang manajemen haji. Kemenag juga dinilai lemah dalam mengawasi oknum-oknum travel nakal yang memanfaatkan momen haji.
"Padahal, penipuan haji dalam berbagai bentuk sudah sering terjadi. Baik di dalam negeri, atau seperti sekarang dengan melibatkan kuota luar negeri," ujar Sodik.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Kementerian Agama, mengimbau WNI tidak menggunakan cara beribadah haji melalui negara lain. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Kementerian Agama, Abdul Djamil, di Jeddah, Sabtu 20 Agustus 2016, mengatakan, persoalan WNI yang berupaya pergi haji melalui negara lain itu sudah bukan ranah Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
"Itu kan, berarti mereka minta visa dari negara lain. Tentunya, harus punya paspor negara yang bersangkutan," kata Djamil.
Djamil mengimbau jemaah haji Indonesia yang akan menunaikan ibadah haji, sebaiknya mendaftarkan sedini mungkin ke Kementerian Agama. Upaya itu, agar jemaah haji dapat menjalankan ibadah dan memeroleh bimbingan serta pelayanan yang baik.
Dia mengakui, antara kuota dan yang mendaftar ke Tanah Suci belum berimbang. Namun, menurutnya, ada negara lain yang waktu tunggu jemaah haji mencapai 50 tahun.
"Memang di Sulawesi Selatan, (waktu tunggu) bisa mencapai 31 tahun, Kalimantan Selatan 28 tahun, serta Jawa sekitar 20 tahun," tutur Djamil.
Dijelaskannya, terbatasnya kuota jemaah haji itu di antaranya, karena masih adanya pengerjaan perluasan Masjidil Haram di Mekah dan kapasitas di Arafah, Muzdalifah, serta Mina (Armina).
Jika perluasan Masjidil Haram rampung, menurut Djamil, kuota jemaah haji Indonesia diperkirakan kembali normal. Saat ini, kuota haji Indonesia dikurangi 20 persen terkait pengerjaan perluasan Masjidil Haram.
Laporan: Rendy Wicaksono/Filipina