Bebas dari Abu Sayyaf pada Hari Kemerdekaan RI
- REUTERS/Stringer
VIVA.co.id – Kisah dramatis muncul pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2016. Ini terjadi di Filipina, Seorang warga Indonesia yang jadi sandera kelompok Abu Sayyaf, Muhammad Sofyan, berhasil melarikan diri setelah disekap selama hampir dua bulan.
Sofyan merupakan anak buah kapal kapal tugboat Charles berwarganegara Indonesia, yang disandera Abu Sayyaf sejak 23 Juni 2016. Dia dan teman-temannya ditangkap di Perairan Sulu, Filipina Selatan.
Bersama dengan Sofyan, ada enam WNI lainnya yang diculik kelompok pengganggu di Filipina bagian selatan itu. Keenamnya adalah Kapten kapal Sofyan Feri Arifin, Muhammad Mahbrur Dahri, Edy Suryono, Ismail, Robin Piter dan Muhammad Nasir.
Sofyan ditemukan oleh penduduk setempat di garis pantai Barangay Bucal, kota Luuk, Sulu, Filipina Selatan, sekitar pukul 07.30 waktu setempat.
Lolosnya Sofyan disambut lega keluarganya di Samarinda, Kalimantan Timur. Sepupu Sofyan, Risna mengaku lega sanak saudaranya berhasil lolos setelah dua bulan disandera. Syukur itu disampaikan juga lantaran lolosnya Sofyan melewati tenggat waktu yang telah diberikan Abu Sayyaf sebelumnya, yaitu pada 15 Agustus 2016.
"Saya dan keluarga bersyukur karena saudara kami, Muhammad Sofyan, berhasil melarikan diri dan selamat dari Abu Sayyaf," kata Risna.
Meski bersyukur, Risna mengatakan masih prihatin dengan nasib enam ABK lainnya yang ditangkap Abu Sayyaf bersama Sofyan. Rasa khawatir itu wajar, sebab lolosnya Sofyan bisa juga mengancam nasib keenam rekannya.
Laporan Antv menunjukkan kegelisahan Elona, istri Robin Piter. Elona mengaku sangat was-awas dan masih diliputi kekhawatiran. Sebab, sejauh ini belum ada tanda atau kabar enam sandera akan dilepaskan atau dibebaskan dalam waktu dekat.
Kabar lolosnya Sofyan dikonfirmasi oleh Kementerian Luar Negeri. Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal mengatakan benar Sofyan telah lepas dari sekapan Abu Sayyaf. Kemenlu kini cepat langsung berkoordinasi dengan pemerintah Filipina untuk memastikan kondisi keberadaan Sofyan.
Iqbal mengatakan, Rabu siang ini waktu Filipina, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah berkomunikasi dengan Menteri Luar Negeri Filipina Perfecto Yasay Jr.
"Saat ini dia (Sofyan) sudah diamankan pihak Kepolisian Sulu, Filipina Selatan," ujar Iqbal di Jakarta, Rabu 17 Agustus 2016.
Dia mengatakan, Tim dari KBRI Manila dan KJRI Davao langsung bergegas menuju Zamboanga City guna menangani proses selanjutnya dan memastikan kondisi yang bersangkutan.
Militer Filipina mengidentifikasi, penculik ketujuh ABK kapal Charles adalah kelompok yang pro Abu Sayyaf, Muktadil Brothers, yang berbasis di Tawi-Tawi, Filipina Selatan.
Dikutip dari laman Philstar, Rabu 17 Agustus 2016, Juru Bicara Militer di Filipina Selatan, Mayor Filemon Tan mengatakan kelompok tersebut punya tugas khusus dalam rangkaian penyanderaan.
"Tugas mereka menculik kru kapal dan mengirim korban sandera kepada kelompok Abu Sayyaf," kata Tan.
Menurut laporan intelijen, Tan mengatakan, Abu Sayyaf tetap menuntut uang tebusan sebesar 20 juta Ringgit atau sekitar Rp60 miliar untuk pembebasan para sandera Indonesia.
Momen penting
Lolosnya Sofyan itu dipandang sebagai momentum baik bagi upaya pembebasan sandera tersisa. Pengamat hubungan internasional Universitas Paramadina, Emil Radiansyah, mengatakan pemerintah Indonesia bisa mengambil momen itu untuk meningkatkan kerja sama patroli bersama dengan Filipina dan Malaysia. Sebagaimana diketahui, ketiga negara telah sepakat untuk menggelar kerja sama patroli di Yogyakarta beberapa waktu lalu, merespons banyaknya kasus penyanderaan di perairan Filipina Selatan.
Emil menilai, dalam hal kerja sama patroli bersama itu, Filipina belum menunjukkan komitmen sepenuhnya. Sementara Indonesia dan Malaysia sudah total komitmen dalam patroli bersama.
"Filipina belum 100 persen soal itu. Jadi memang yang perlu ditekankan adalah dari pemerintah Filipina," kata dosen Universitas Paramadina itu kepada VIVA.co.id, Rabu 17 Agustus 2016.
Untuk menekan komitmen pemerintah Filipina, Emil mengusulkan, Indonesia bisa memainkan ketergantungan Filipina atas batu bara dari Indonesia. Pemerintah, kata Emil, bisa memutuskan pengiriman (moratorium) batu bara ke Filipina. Hal itu agar 'memaksa' Filipina lebih fokus dalam penanganan sandera di area mereka.
"Opsi (menekan melalui) ASEAN bisa dilakukan. Filipina kan penggagas pemberantasan terorisme di regional," kata dia.
Untuk itu, selain menekan Filipina, perlu dilakukan peningkatan kerja sama ketiga negara mutlak perlu dilakukan. Caranya pemerintah Indonesia perlu memainkan diplomasinya dalam patroli bersama.
Soal bentuk peningkatan kerja sama, Emil memaparkan bisa dilakukan beberapa bentuk. Pertama, misalnya TNI bisa masuk ke area angkatan bersenjata Filipina. Opsi peningkatan lainnya, bisa saja memungkinkan patroli bersama Filipina dan Malaysia di teritorial kedua negara tetangga tersebut.
Dia mengatakan opsi negosiasi perlu terus dilakukan pemerintah Indonesia. Sebab operasi militer tanpa negosiasi menurutnya langkah yang percuma. Jika saja operasi militer tetap dijalankan, tapi tak mengetahui detail kondisi sandera, maka bisa menjadi bumerang, sandera bisa dibunuh kelompok Abu Sayyaf.
Emil mengatakan operasi militer dan negosiasi dilakukan bersama dengan melibatkan milisi lokal di Filipina Selatan misalnya Moro National Liberation Front (MNLF).
Langkah itu perlu dilakukan sebab, menurut Emil, saat ini kelompok Abu Sayyaf sudah lintas batas, tak hanya beroperasi di perairan Filipina Selatan saja.
"Mereka (Abu Sayyaf) sifatnya lintas batas sekarang, berani lintas teritorial. Misalnya di area Malaysia mereka menculik lalu di bawa ke Filipina Selatan. Di area ini (Filipina Selatan) juga penjagaan kurang," jelasnya.
Mengharap Duterte
Selain upaya diplomasi, Indonesia juga bisa berharap pada gebrakan dan ‘kegarangan’ dari Presiden Filipina, Rodrigo Roa Duterte.
Memang sejak dia dilantik jadi orang nomor satu Filipina, Duterte sudah memberikan sinyal ketegasan penegakan hukum. Bahkan tak tanggung, Duterte mengaku siap menghadapi langsung Abu Sayyaf.
Duterte memerintahkan kepada tiga matra di tubuh Angkatan Bersenjata Filipina, yakni AD, AL, dan AU, untuk menumpas habis kelompok militan Abu Sayyaf. Menurutnya, kawasan selatan yang mayoritas dihuni warga Muslim Filipina terancam dipengaruhi oleh paham ISIS apabila langkah tegas tidak cepat dilakukan.
"Hancurkan mereka. Itu adalah perintah!" tegas Duterte dalam pidatonya di Pangkalan Militer Zamboanga, Mindanao, Filipina Selatan, 11 Agustus 2016.
Di mata Duterte, Abu Sayyaf adalah kelompok bandit berkedok militan. Mereka membunuh warga sipil tanpa alasan dan sejak awal tidak membuka ruang negosiasi.
Dia mengatakan, jika Abu Sayyaf dibiarkan maka dalam tiga sampai tujuh tahun ke depan, Filipina akan mulai punya persoalan dengan ISIS. Makanya, dia siap berhadapan dengan Abu Sayyaf.
"Akan tiba waktunya bagi saya untuk berhadapan langsung dengan Abu Sayyaf," tuturnya sebelum dilantik menjadi presiden.
Terbaru, Duterte menegaskan siap mempertaruhkan jabatannya untuk menumpas terorisme. Dia berjanji tak akan membiarkan Filipina diacak-acak oleh serangan teror apa pun.
Dia mengatakan, perbuatan teroris itu seperti ISIS. Kelompok teror tak punya ideologi politik, tak punya konsep, melukai membunuh perempuan dan anak-anak. Duterte juga miris dengan praktik barbar teroris di Filipina yang berani memenggal leher sandera.
"Ini (pernyataan) adalah sikap tegas saya dan saya akan terus mengingatkan. Saya akan hancurkan terorisme seperti yang saya katakan sebelumnya. Dan ini pertaruhan kehormatan, hidup dan jabatan saya sebagai Presiden Filipina," paparnya.
Sikap tegas dan garang Duterte menjadi harapan bagi Indonesia. Emil mengakui kemampuan Duterte untuk mengendalikan keadaan sandera. Sebab mantan Wali Kota Davao itu dikenal punya pengalaman bisa menyelesaikan ketegangan dengan kelompok yang berseberangan dengan pemerintah Filipina.
Emil berharap Duterte bisa terus sigap dan aktif menjalin dukungan ke MNLF dan kelompok lain di Filipina Selatan untuk menuntaskan kelompok Abu Sayyaf.
"Diharapkan bisa jadi efek jera bagi Abu Sayyaf," katanya.
Namun demikian, menurut Emil, tak mudah untuk menyelesaikan kelompok anti pemerintah di Filipina Selatan, sebab pengalaman selama ini, pemerintah Filipina belum berhasil sepenuhnya.
"Konflik di Filipina Selatan itu bisa lama (penyelesaiannya). Otonomi ke MNLF sudah pernah diberikan tapi tak selesaikan masalah," tutur dia.
Tapi, bukan berarti langkah menyelesaikan pergolakan di Filipina Selatan tanpa peluang. Emil mengatakan, Duterte bisa menggandeng dukungan MNLF untuk menumpas Abu Sayyaf. Caranya, menjadikan MNLF sebagai sekutu sekaligus mitra menghancurkan kelompok teroris.
"Duterte bisa lebih erat dengan MNLF. Duterte tepat, tinggal dukungan dari aparatur militer (Filipina), masyarakat (Filipina) dan regional (ASEAN)" jelas dia.
(ren)