Aparat Indonesia 'Takut' Monster Pokemon
- VIVA.co.id/Agus Rahmat
VIVA.co.id – Tren Pokemon Go di dunia, ternyata tidak terlalu mulus. Isu keamanan data menjadi hal yang sangat sensitif, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Tidak heran, jika kemudian beberapa instansi mulai mengadakan pelarangan terhadap game ini.
Instansi terkait politik keamanan, misalnya area penting, seperti Istana Negara, Mabes Polri, dan instansi pemerintahan lainnya. Alasannya, data dan titik lokasi fasilitas pemerintahan/keamanan akan terbongkar dan bisa menjadi asupan Informasi ke pihak intelijen asing.
Ketakutan pemerintah ini bisa dimaklumi, karena permainan hasil kolaborasi Niantic, Nintendo, dan Pokemon Corp., ini membutuhkan akses penuh ke sistem pelacakan lokasi (GPS) dan kamera di ponsel pengguna. Bahkan, beberapa syarat dan ketentuan (T&C) yang disebutkan, saat pengguna men-download game tersebut cukup mengkhawatirkan.
“Kami bekerja sama dengan pemerintah dan penegak hukum, atau perusahaan swasta untuk menegakkan dan mematuhi hukum. Kami bisa mengungkap informasi tentang Anda (atau anak Anda) yang kami miliki, atau kontrol ke pemerintah, penegak hukum, atau pihak swasta,” tulis pengembang Pokemon Go dalam T&C yang tertuang di aplikasi tersebut.
Bahkan, saat diinstal, aplikasi itu pun akan terlebih dulu meminta izin untuk bisa mengakses beberapa fitur seperti nomor kontak yang ada di ponsel, lokasi pasti maupun perkiraan, tempat penyimpanan data, membaca data USB, akses ke jaringan, aktivitas atau fitur pengenalan, mencegah ponsel untuk offline, akses ke layanan tagihan Google Play, memasangkan diri ke Bluetooth, menerima data dari internet dan terkoneksi dengan akun Google.
Ini artinya, aplikasi game itu boleh membaca email Anda, boleh melihat isi di dalam memori ponsel, melihat aktivitas Anda di dunia internet, dan menjual data-data pengguna ke pihak ketiga. Banyak orang yang tidak sadar dengan ketentuan tersebut. Wajar saja, karena pengguna kerap melewatkan untuk membaca T&C dalam sebuah aplikasi. Apalagi, T&C milik Pokemon Go yang besarnya bisa mencapai 20 halaman.
Pakar keamanan dunia siber, yang juga pendiri Binary Defense System berbasis di Ohio, David Kennedy mengatakan, dia tidak akan pernah menginstal aplikasi tersebut, karena T&C yang tertuang di dalamnya sangat mengkhawatirkan.
“Aplikasi mobile sangat rentan diserang oleh peretas. Para serdadu Pokemon, yang kebanyakan adalah orang awam, akan dengan mudah dieksploitasi hacker. Sekali saya meretas aplikasi itu, maka saya bisa memiliki akses ke semua pengguna, juga akses ke Gmail mereka dan fitur lainnya di ponsel tersebut. Ini adalah isu keamanan besar, isu privasi,” ujar Kennedy dikutip dari Politifact, Rabu 20 Juli 2016.
Selanjutnya...
Indonesia ikutan khawatir
Inilah yang kemudian menjadi kekhawatiran bagi Indonesia. Teknologi geospasial yang digunakan Niantic untuk meletakkan Pokemon, dianggap sangat rawan memetakan area penting milik pemerintahan dan bisa menjadi konsumsi pihak intelijen asing. Meskipun kebenaran terkait kekhawatiran ini masih harus dibuktikan lebih dalam lagi.
“Yang harus dibuktikan ada dua, apakah monster-monster itu disebar secara acak, atau sengaja disebar di satu daerah penting saja. Selain itu, harus dibuktikan juga, apakah ada transfer data, atau gambar dari hape pengguna ke server intelijen. Jika tidak terbukti, maka tidak perlu khawatir. Jika terbukti, maka Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informasi) berkewajiban memblokirnya,” ujar Fahmi Amar, peneliti utama Badan Informasi Geospasial Indonesia, saat berbicara di Kabar Indonesia Petang tvOne, Rabu 20 Juli 2016.
Namun, pengamat telematika, Abimanyu Wahyuwidayat menganggap, Indonesia terlalu berlebihan menyikapi Pokemon Go jika sampai harus memblokir aplikasi tersebut. Sebab, teknologi Augmented Reality yang digunakan di game itu hanya memasukkan monster virtual tersebut berdasarkan hitungan koordinat dan tidak melihat fisik ruangan.
Dia memastikan, game itu tidak tidak mengambil data, karena tidak merekam gambar. Jika pun Indonesia merasa terancam oleh kehadiran monster-monster tersebut, ada teknologi lain yang bisa lebih canggih menjadi media bagi intelijen untuk mengumpulkan data penting.
“Kalo soal pelacakan, Google sudah lama kita gunakan dan itu lebih canggih lagi ketimbang hanya game. Google punya Street View, punya Google Glass. Jangan sampai sebuah mainan menakut-nakuti Anda dan membuat khawatir. Jika fasilitas penting tidak ingin sampai terekam gambarnya, minta pada pengembangnya untuk tidak meletakkan monster di dalam Istana, atau Mabes (markas besar). Google melakukan hal itu, menutupi beberapa area terlarang di Google Street View,” kata pria yang akrab disapa Abah ini.
Dia menyebut bahwa hampir semua orang menggunakan ponsel dan aplikasi di dalamnya berpotensi untuk bisa dilacak oleh intelijen.
Fahmi sendiri tidak menampik, jika kemungkinan besar game tersebut, dengan teknologi geospasialnya, bisa menjadi jalan masuk bagi intelijen untuk mengumpulkan data penting. Namun, menurut Abah, meski tidak membantah, dia mengatakan, Google telah melacak para penggunanya selama bertahun-tahun, namun tetap saja aplikasi itu digunakan oleh masyarakat.
“Kalau kita, orang biasa, buat apa data kita dipakai intel? Kalau ada orang intel, atau orang penting, kemudian mereka menggunakan smartphone untuk bermain game, padahal smartphone itu untuk tugas intelijennya, maka mereka adalah intel paling goblok sedunia. Tapi saya rasa, tidak ada intel seperti itu, karena semua ada SOP (standard operating procedure)-nya,” ujarnya dalam sambungan telepon kepada VIVA.co.id.
Malah Abah menganggap, isu keamanan ini hanya digembar-gemborkan para pesaing Pokemon Go, demi kepentingan bisnis semata.
Selanjutnya...
Aman bermain Pokemon Go
Kalimat Abah ini bisa jadi mungkin. Sebab, aplikasi digital yang naik daun ini kerap dituding merusak pasar, mengancam keamanan negara, dan lainnya. Lihat saja kejadian yang menimpa ojek online, atau aplikasi ride sharing lain macam Gojek, Uber, atau Grab.
Di era kemunculannya, banyak pertentangan, karena dianggap akan menjual data-data pengguna ke pihak ketiga dan intelijen.
Lalu, apakah dengan kepanikan ini, kemudian pengguna harus berhenti bermain game Pokemon? Seorang wanita gamers mengaku tidak terpengaruh dengan semua isu tersebut. Dia yakin, semua game memiliki risiko. Bahkan, Pokemon Go sekali pun. Apalagi, jika trainer (pemain game Pokemon Go) sampai kecanduan.
“Kalau sudah kecanduan, mereka bisa lupa tempat, di tempat bahaya pun bisa dikejar, tanpa peduli keselamatan, demi menangkap Pokemon,” ujar gamers tersebut, yang tergabung dalam NXA Ladies, sebuah tim gamers yang terdiri dari para wanita, sub tim dari Nixia Gamers.
Wanita gamers lainnya, Sylvia mengatakan, ada beberapa fitur yang bisa dinonaktifkan jika ingin lokasi tidak bisa dilacak.
“Untuk tracking di smartphone kita bisa diakali dengan mock location, atau fake location. Kalau pakai itu, lokasi kita bisa tidak diketahui. Itu semua ada di PlayStore (berisiko terpapar virus). Lalu, ada high accuration juga. Kalau bisa jangan pakai itu, pakai saja yang rendah (low accuration),” jelas Sylvia.
Sedangkan Abah menyarankan, agar beberapa area penting memasang jammer, atau pemblokir sinyal komunikasi, sehingga ponsel tidak bisa digunakan di lokasi tertentu.
“Pasang saja Jammer di restricted area. Untuk keamanan, menjaga area. Bukan Pokemon yang harus ditakutkan,” kata dia. (asp)