Penduduk Miskin Indonesia Berkurang, Benarkah?

Potret kemiskinan: dua ibu bekerja memecah batu jadi kerikil
Sumber :
  • Antara/ Oky Lukmansyah

VIVA.co.id – Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin 18 Juli 2016 melaporkan, penduduk miskin Indonesia yang tercatat hingga Maret 2016 berjumlah 28,01 juta jiwa atau 10,86 persen dari seluruh penduduk di Indonesia. 

Kepala BPS, Suryamin mengatakan, bahwa jumlah penduduk miskin ini mengalami penurunan atau berkurang sebesar 0,50 juta orang dibandingkan dengan September 2015 yang mencapai 28,51 juta orang atau 11,13 persen. Sementara pada Maret 2015 jumlah penduduk miskin mencapai 28,59 juta jiwa atau 11,22 persen

"Menariknya, jumlah orang miskin juga lebih rendah dibanding September 2014 yang besarnya 10,96 persen atau 27,73 juta. Maret 2014 jumlahnya 11,25 persen atau 28,28 juta," kata Suryamin di kantornya. 

Menurut Suryamin, turunnya jumlah orang miskin di Tanah Air selama periode tersebut karena terjaganya inflasi secara nasional. BPS mencatat,inflasi umum selama September 2015 hingga Maret 2016 mencapai 1,71 persen. 

Harga bahan kebutuhan pokok lanjut dia, juga mengalami penurunan selama periode tersebut. 

"Harga daging ayam ras rata-rata mengalami penurunan sebesar 4,08 persen yaitu Rp37.742 per kg pada September menjadi Rp36.203 per kg pada Maret 2016. Harga komoditas lainnya seperti telur ayam ras juga mengalami penurunan 0,92 persen dan minyak goreng yang turun 0,41 persen," ujarnya menambahkan.

Selanjut itu menurut Suryamin, Nominal rata-rata upah buruh tani per hari pada Maret 2016 naik sebesar 1,75 persen dibanding September 2015. Yaitu, Rp46.739 menjadi Rp47.559. Sedangkan, rata-rata upah buruh bangunan per hari pada periode yang sama naik 1,23 persen yaitu Rp79.657 menjadi Rp81.481 per hari.

PAda perhitungan tingkat kemiskinan periode ini, BPS  mengumumkan, nominal batas garis kemiskinan yang dipergunakan untuk mengelompokkan penduduk yang disebut miskin atau tidak miskin dinaikkan.

Sebagai informasi, kategori yang tergolong penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. 

Suryamin mengatakan bahwa selama periode September 2015 hingga Maret 2016 garis kemiskinan naik sebesar 2,78 persen, yaitu dari Rp344.809 per kapita per bulan pada September 2015 menjadi Rp354.386 per kapita per bulan pada Maret 2016. 

Ia mengatakan komponen garis kemiskinan (GK) terdiri dari garis kemiskikan makanan (GKM) dan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM). Penghitungan GK juga dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. 

"Peranan komoditi makanan masih jauh lebih besar dibandingkan dengan peranan komoditi bukan makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan, besarnya sumbangan makanan pada Maret 2016, sebesar 73,5 persen," kata Suryamin di Jakarta Senin 18 Juli 2016. 

Diuraikannya bahwa pada Maret 2016, komoditi makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada GK baik di perkotaan dan perdesaan hampir sama. Di mana beras memberi sumbangan sebesar 21,55 persen di perkotaan dan 29,44 persen di perkotaan. 

"Rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar kedua terhadap GK yakin 9,08 persen di perkotaan dan 7,96 persen di perdesaan," katanya. 

Adapun komoditi bahan makanan lainnya yang menjadi penyumbang terbesar adalah telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan dan yang hampir sama untuk perkotaan dan perdesaan. Sementara itu, komoditi bukan makanan yang memberikan sumbangan terbesar adalah perumahan, listrik, bensin, pendidikan hingga perlengkapan mandi. 

"Selain itu komoditi bukan makanan lainnya yang penyumbang terbesar lainnya diantaranya adalah angkutan dan kayu bakar," tuturnya.

Penduduk miskin 'numpuk' di Jawa

Lebih lanjut dia menjabarkan, penyebaran masyarakat miskin berdasarkan presentase terbesar berada di Papua dan Maluku yaitu 22,09 persen atau sebanyak 1,54 juta. Sementara itu presentase penduduk miskin terendah berada di pulau kalimantan yaitu 6,26 persen 970 ribu orang.

Namun, berdasarkan jumlah, pulau yang menampung banyak penduduk miskin adalah Jawa dengan 14,97 juta orang. Lebih dari 50 persen dari total penduduk miskin yang tercatat. 

Suryamin mengungkapkan, bahwa penduduk miskin di Jawa disumbang oleh penduduk pedesaan yang jumlahnya mencapai  sebanyak 8,07 juta atau 14,04 persen, sedangkan penduduk miskin di perkotaan jumlah sebanyak 6,90 juta atau 7,77 persen. 

"Yang miskin paling banyak di Jawa secara jumlah tapi presentasenya memang kecil, karena penduduknya banyak. Artinya 14,97 juta orang, lebih dari separuh penduduk miskin di seluruh Indonesia," kata Suryamin

Suryamin berharap angka ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah agar dapat meningkatkan peluang kerja dan pengentasan kemiskinan.

Ia yakin dengan adanya pembangunan infrastruktur di Pulau Jawa dalam beberapa tahun ke depan, akan menambah penyerapan tenaga kerja yang pada akhirnya berimbas kepada pengurangan jumlah penduduk miskin. 

"Jadi mudah-mudahan saja kalau sekarang membangun tol trans Jawa, mudah-mudahan sampai Surabaya nanti bisa menyerap pekerja menengah bawah," kata dia.

Sementara, jumlah penduduk miskin di Sumatera tercatat sebanyak 6,28 juta atau 11,22 persen. Di Bali dan Nusa Tenggara sebanyak 2,14 juta orang atu 14,96 persen, dan di sulawesi sebanya 2,11 juta orang atau 11,17 persen. 

Stabilitas harga pangan kunci tekan kemiskinan

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyambut baik kabar ini. Hal ini merupakan angin segar pemerintah di tengah upaya keras yang dilakukan untuk mendorong perekonomian. 

Namun dia menjelaskan, meskipun ada kenaikan pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada akhir 2015 dan kuartal I 2016 yang tercatat menjadi 4,92 persen, tak akan secara langsung mengurangi tingkat kemiskinan secara signifikan. karena ada faktor lain yang menjadi penentu. 

"Karena kemiskinan melihat mereka-mereka yang penghasilannya paling rendah apakah di bawah atau di atas garis kemiskinan. jadi itu tidak mesti bersambung dengan baik," kata Darmin di kantornya Senin 18 Juli 2016. 

Darmin mengatakan, terjadinya penurunan angka kemiskinan adalah imbas dari stabilnya harga pangan. Sebab, menurut Darmin, Tingkat kemiskinan selalu berkaitan dengan harga pangan. 

"Karena tingkat kemiskinan banyak dipengaruhi oleh harga pangan sebetulnya," kata Darmin 

Karena itu pemerintah dalam menentukan arah kebijakan, akan berupaya menciptakan stabilitas harga yang berkelanjutan. Sehingga upaya pengentasan kemiskinan dapat terus membuahkan hasil. 

Validasi data kemiskinan dipertanyakan

Cara Ganjar Atasi Kemiskinan Ekstrem di 5 Kabupaten Jateng

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati melihat ada kejanggalan dari publikasi BPS terkait dengan angka kemiskinan.  Data kemiskinan yang disampaikan tidak konsisten, dan dipertanyakan validitasnya.. 

Menurut Enny, makanan merupakan yang memberi sumbangan terbesar terhadap garis kemiskinan adalah Makanan. Sementara, harga bahan makanan sendiri pada periode tersebut mengalami ketidakstabilan.

DPD Dukung Kemensos Kawal Implementasi Pemutakhiran Data

"Jadi yang ingin saya katakan adalah di tengah kenaikan volatile food yang begitu besar bagaimana BPS menghitung peningkatan angka garis kemiskinan ini," kata Enny kepada VIVA.co.id, Senin 18 Juli 2016. 

Hal ini menurutnya harus diperjelas oleh BPS, terlebih lagi ada kenaikan batas nominal garis kemiskinan. Kebijakan itu harus dijabarkan kepada publik secara transparan. 

Wah, Masih Ada 160 Ribu Wisatawan Asing Masuk RI di Tengah Covid-19

"Jadi Kalau data ini tidak realistis, maka angkanya juga pasti tidak akan realistis," kata Enny. 

Faktor lainnya yang membuat hasil survei ini tidak realistis adalah, pada periode tersebut kata Enny, beberapa sektor ekonomi mengalami perlambatan, khususnya sektor industri dan sektor pertanian pada kuartal I 2016. 

Dia menjelaskan, ketika sektor industri mengalami penurunan akan terjadi pengurangan lapangan pekerjaan. Hal itu secara otomatis seharusnya menambah angka kemiskinan.

Sebab lanjut dia, salah satu pendorong orang ke lubang kemiskinan adalah tidak memiliki pekerjaan.  

"Karena memang problem dua tahun terakhir adalah problem kenaikan harga pangan yang luar biasa. Nah sementara penduduk miskin itu. Nah, Ini yang menjadi nggak make sense ketika tiba-tiba terjadi penurunan angka angka kemiskinan," kata dia.

Lebih lajut dia berharap, di masa depan BPS bisa lebih dalam melakukan survei langsung ke lapangan. Sehingga data statistik yang disajikan bisa lebih akurat. 

Sebagai informasi sumber data utama yang dipakai BPS untuk menghitung tingkat kemiskinan Maret 2016 adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada bulan tersebut. 

Selain itu data tambahan digunakan dari hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SKKD), yang dipakai untuk memproyeksikan proporsi pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya