Korban Vaksin Palsu Menggugat
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Orangtua korban vaksin palsu menggugat. Negara, rumah sakit dan pihak-pihak yang terlibat dalam kasus vaksin palsu akan dimeja hijaukan. Untuk melancarkan gugatannya, para orangtua meminta pendampingan hukum dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Upaya yang dilakukan saat ini adalah membentuk posko crisis centre, bertempat di Rumah Sakit Harapan Bunda, Jakarta Timur. Di posko ini, data orangtua korban vaksin palsu di Rumah Sakit Harapan Bunda, dikumpulkan. Saat ini sudah ada sekitar 400 orangtua korban vaksin palsu yang berhasil didata. Crisis centre sendiri dibuka sejak Minggu, 17 Juli 2016, mulai pukul 09.00 WIB hingga 21.00 WIB.
Penyerahan kelengkapan data dari para orangtua korban paling lambat Rabu, 20 Juli 2016, untuk selanjutnya diserahkan ke YLBHI. YLBHI sendiri jauh-jauh hari sudah membuka posko pengaduan korban vaksin palsu, sebelum nama-nama rumah sakit dan klinik pengguna vaksin palsu diumumkan oleh Kementerian Kesehatan. YLBHI akan mengumpulkan data, termasuk syarat-syarat yang diperlukan sebelum melakukan gugatan.
Ketua YLBHI, Alvon Kurnia Palma, mengatakan kasus vaksin palsu ini sangat meresahkan masyarakat. YLBHI, kata Alvon, sudah melihat adanya pelanggaran pidana hingga administrasi dalam kasus ini. Hal tersebut mengacu pada KUHP dan Undang-undang Kedokteran.
Pidananya, menurut Alvon, sudah jelas. Di antaranya penipuan. Sedangkan untuk administrasi, menurut Alvon, izin rumah sakit dan dokter bisa saja dicabut sesuai undang-undang.
"Pada level negara ini ada problem, masalah policy. Bagaimana sih soal ketersediaan vaksin, kemudian bagaimana melakukan pengawasannya. Memang tidak ada perencanaan maksimal oleh pemerintah dalam konteks berapa jumlah kebutuhan vaksin di masyarakat," kata Alvon saat berbincang dengan VIVA.co.id, Senin, 18 Juli 2016.
YLBHI melihat kasus ini dalam konteks struktural. Obat-obatan yang menjadi kebutuhan masyarakat, termasuk vaksin, diserahkan ke mekanisme pasar sehingga terjadi kapitalisasi oleh segelintir orang.
Akibatnya, kata Alvon, kebutuhan masyarakat pada vaksin bisa seenaknya dipermainkan. "Yang terjadi sekarang kan diserahkan ke mekanisme pasar. Obat masih diimpor dan dikapitalisasi," kata Alvon.
Pemerintah lalai
Direktur Advokasi dan Kampanye YLBHI, Bahrain, mengatakan kasus vaksin palsu merupakan bentuk kelalaian pemerintah dalam pengawasan. Menurut Bahrain, kelalaian pemerintah termasuk menelantarkan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dimiliki tiap warga negara.
"Bicara masalah HAM, hak atas kesehatan itu diberikan tanggung jawabnya kepada pemerintah. Pemerintah punya dua cara untuk memberikannya dalam aspek kesehatan, yakni pencegahan dan pengobatan," kata Bahrain.
Masalah vaksin palsu, keseluruhan distribusi obat melalui produsen kepada berbagai instansi kesehatan juga melalui pengawasan pemerintah. Namun disayangkan, regulasinya dinilai tidak sesuai dengan implementasi.
"Ketika ada obat palsu dan vaksin palsu beredar bertahun-tahun, berarti ada pembiaran. Negara yang diberikan tanggung jawab besar dalam pengendalian. Tanggung jawab ini ada di penyelenggara negara," kata Bahrain.
Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Ali Taher, mengatakan pemerintah telah melakukan kelalaian dalam kasus vaksin palsu.
Menurut Ali, jika melihat dari jam terbang para sindikat pengedar vaksin palsu, yang sudah beroperasi 13 tahun silam tanpa tercium oleh aparat berwenang, artinya telah lalai. "Kasus ini membuktikan bahwa Pemerintah dalam hal ini Kemenkes dan Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM) lambat mengidentifikasi pemalsuan vaksin ini," ujar Ali.
Ali menilai kasus pemalsuan vaksin yang kabarnya sudah ada sejak 2003 ini menunjukkan pelaku pemalsu dan penyebar merupakan kelompok sindikat terorganisir yang telah mengakar. Kejahatan itu dilakukan dengan sengaja dan melibatkan sejumlah instansi terkait, salah satunya rumah sakit, di mana terdapat dokter dan farmakolog (ahli farmasi), yang seharusnya mengetahui vaksin itu asli atau palsu.
"Ini merupakan kejahatan yang luar biasa dan terorganisir yang harus juga diberikan sanksi hukuman yang berat," kata Ali.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Fahri Hamzah, menilai pernyataan Presiden Joko Widodo soal akan diberikannya sanksi, bahkan pembubaran terhadap rumah sakit karena terlibat dalam penggunaan vaksin palsu, tidak cukup.
"Kesalahan jangan ditimpakan ke pihak lain. Membubarkan rumah sakit konsekuensinya besar. Pemerintah seharusnya koreksi diri dulu, jangan mengorbankan pelayanan publik," kata Fahri, Senin, 18 Juli 2016.
[Baca: Jokowi Minta RS Pakai Vaksin Palsu Ditindak Hukum]
Kata Fahri, Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) seharusnya segera melaporkan tempat beredarnya vaksin palsu. Bukan rumah sakit yang dikorbankan. Sebab, kata Fahri, ada kemungkinan rumah sakit kebobolan vaksin palsu karena tidak ada yang mengawasi.
"Yang lebih fatal pemerintah sebagai pengawas. Terus fungsi pengawasannya mampet di mana sehingga enggak jalan? Harusnya investigasi terhadap pengawasan ini, membuka di mana permainannya," kata Fahri.
[Baca: Kasus Vaksin Palsu Pernah Muncul 2008 dan 2013, Tapi Ditutup]
Anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay, mengatakan kesimpulan rapat Komisi IX dengan Kementerian Kesehatan beberapa waktu lalu, Komisi IX membentuk tim pengawas untuk mengawasi peredaran vaksin dan obat. Mengenai apakah akan dibentuk Panja atau Pansus, masih menunggu internal Komisi IX.
"Apakah nanti bentuk Panja atau Pansus akan kami bicarakan di rapat internal Komisi IX. Mudah-mudahan hari ini atau besok lusa bisa diselesaikan," kata Saleh, Senin, 18 Juli 2016.
Saleh mengakui, jika sudah membentuk Panja, pihaknya akan punya waktu leluasa untuk mengerjakan banyak hal. Termasuk mengerjakan hal-hal di luar yang telah dikerjakan Kepolisian atau juga BPOM.
Tuntutan korban
Aliansi Orangtua Korban Vaksin Palsu yang diwakili August Siregar, menyampaikan lima tuntutan terhadap rumah sakit dan pemerintah. "Pertama, Rumah Sakit Harapan Bunda menjalankan tujuh tuntutan yang telah dibuat oleh Aliansi Orangtua Korban Vaksin Palsu," ujar August Siregar, Senin, 18 Juli 2016.
[Baca tujuh tuntutan di tautan ini]
Kedua, pihak Kementerian Kesehatan diminta menemui para orangtua korban dan menyelesaikan kasus vaksin palsu.
Ketiga, tidak adanya diskriminasi terhadap korban vaksin palsu untuk membuka crisis centre dengan fasilitas yang memadai di dalam teritori RS Harapan Bunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
"Keempat, penyelesaian kasus tidak hanya dikerdilkan pada penghukuman pelaku vaksin palsu dan pemberian vaksin baru, tetapi harus ditagih janji dan tanggung jawab segala risiko yang terjadi di masa depan," kata August.
Terakhir, semua pihak yang terlibat dalam praktik vaksin palsu harus dihukum seadil-adilnya.
Orangtua diminta tenang
Presiden Joko Widodo meminta orangtua korban vaksin palsu untuk tetap tenang dan tidak tergesa-gesa dalam menyikapi masalah ini. Hal ini disampaikan Presiden saat meninjau proses pemberian vaksin ulang terhadap korban vaksin palsu di Puskesmas Ciracas, Jakarta Timur, Senin, 18 Juli 2016.
"Saya ingin menyampaikan agar masyarakat tetap tenang, karena ini sekali lagi peristiwa ini adalah menyangkut waktu yang lama. Perlu kehati-hatian, perlu penelusuran dalam jangka waktu yang panjang," ujar Presiden Jokowi.
Dengan begitu, maka identifikasi terhadap para korban vaksin palsu bisa tepat. Sehingga bisa dipastikan proses vaksin ulang ini tidak akan selesai dalam waktu singkat. Sebab, pendataan akan terus dilakukan hingga seluruh korban dapat ditangani.
"Terus, ini bertahap sampai selesai. Ini bertahap sampai selesai, tapi satu persatu. Sekali lagi ini kurun waktu yang lama," kata Presiden.
Jokowi juga menjelaskan, sudah berkomunikasi dengan Kabareskrim. Bahwa penyelesaian kasus ini harus dilakukan diteliti, satu per satu dan secara detail.
"Tidak serampangan. Kementerian Kesehatan dan Kepala Dinas Kesehatan DKI juga sama. Ini nantinya juga puskesmas, rumah sakit di Jakarta juga melakukan hal yang sama supaya kejadian ini tidak terulang lagi," ujar Jokowi.
Terkait adanya orangtua para korban yang masih menuntut, Jokowi meminta agar seluruh keinginan dan tuntutan orangtua korban seluruhnya didata.
"Silakan mendaftar, kalau belum terdaftar silakan mendaftar ke puskesmas. Saya kira juga ada posko aduannya," kata Jokowi.
Vaksin ulang tak cukup
Kementerian Kesehatan membuka sejumlah posko vaksinasi ulang di Jakarta dan sekitarnya, Senin, 18 Juli 2016. Pelayanan di posko tersebut diberikan secara gratis.
Posko pemberian vaksin ulang di antaranya, di Puskesmas Kecamatan Ciracas, RSU Kecamatan Ciracas, RS Harapan Bunda, Jakarta Timur serta RS Sayang Bunda, Bekasi.
"Kami buka posko vaksinasi ulang. Kami buka sebanyak mungkin poskonya," kata Menteri Kesehatan, Nila F. Moeloek.
Nila menjelaskan, sebelum dilakukan proses vaksinasi ulang, petugas akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. "Jadi bagi orangtua yang enggak yakin anaknya kena vaksin palsu, bisa diperiksa dan dilakukan vaksin ulang juga," katanya.
[Baca: IDI Pastikan Tak Ada Efek Negatif Jika Anak Divaksin Ulang]
Selain menyediakan posko, Kemenkes juga telah menyiapkan hotline Halo Kemenkes yang bisa dihubungi pada nomor 1500-567.
Masyarakat yang diduga terindikasi menjadi korban vaksin palsu bisa menghubungi nomor tersebut untuk memperoleh informasi lebih lanjut.
"Bisa tanya di sana juga untuk ke mana perginya terkait vaksin palsu," kata Nila.
Vaksin ulang yang digelar di Puskesmas Ciracas disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo. [Baca: Presiden Jokowi Saksikan Pemberian Vaksin Ulang di Ciracas]
Ketua YLBHI, Alvon Kurnia Palma, mengatakan vaksin ulang yang sedang dilakukan pemerintah tidak menyelesaikan masalah.
"Vaksin ulang itu bukan jawaban. Persoalan dasarnya bukan cuma persoalan imunisasi saja, jauh dari pada itu ada persoalan besar. YLBHI melihat konteks strukturalnya," kata Alvon.
[Baca FOKUS: Vaksinasi Ulang, Upaya Pemerintah 'Tebus Dosa' Pengawasan]
Anggota Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Puri Kencana Putri, mengatakan bahwa masalah vaksin palsu harus diselesaikan secara hukum. Tidak cukup hanya dengan melakukan vaksin ulang.
"Saya rasa masalahnya bukan vaksin ulang, tapi ada proses hukum yang harus ditempuh," kata Puri.
Puri menilai bahwa permasalahan vaksin palsu merupakan permasalahan negara, bukan sekadar masalah personal setiap orangtua.
"Masalah vaksin palsu ini bukan dialami keluarga X dan Y, tapi ini masalah negara yang krusial, yang harus dihadapi bersama-sama," kata Puri.
Oleh karena itu, Kontras bersama dengan YLBHI dan beberapa organisasi, akan mendampingi orangtua korban vaksin palsu untuk mendapatkan hak konstitusinya.
"Kami akan bantu komunikasi dengan negara, bagaimana membangun komunikasi dengan rumah sakit, dan bagaimana membangun pendidikan kepada publik bahwa akses kesehatan itu akses universal," kata Puri.
[Baca: Orangtua Korban Vaksin Palsu Minta Ganti Uang]