Tatkala Rasa Aman Menjadi Mahal di Prancis
- REUTERS/David Gray
VIVA.co.id – Prancis lagi-lagi menjadi target terorisme. Aksi tunggal pelaku teror bernama Mohamed Lahouaiej Bouhlel (31 tahun) dengan berbekal truk besar merek Renault Midlum nekat menerobos kerumunan 30 ribu massa yang tengah merayakan Hari Nasional (Bastille Day) di Nice, selatan Prancis, Jumat, 15 Juli 2016, dini hari waktu setempat.
Tak ayal, 84 orang langsung tewas di tempat dan 150 orang luka-luka. Bouhlel merupakan warga Nice keturunan Tunisia. Bukan kali ini saja Perancis mengalami serangan teror. Berdasarkan data yang dikelola VIVA.co.id, Prancis mengalami serangan sebanyak empat kali di sepanjang 2015 hingga pertengahan 2016.
Pada Januari 2015, tiga orang bersenjata menyerbu kantor majalah Prancis, Charlie Hebdo, di Paris pukul 11.30 waktu setempat. Dalam peristiwa itu 17 orang tewas seketika. Kemudian, pada Juni 2015, serangan teror kembali melanda negeri Menara Eiffel itu.
Para teroris berusaha meledakkan pabrik gas di Saint Quentin, Fallavier, tenggara Prancis. Disebutkan, salah satu korban tewas karena dipenggal dan sejumlah lainnya terluka. Kepala korban dipenuhi oleh tulisan berbahasa Arab dan ditancapkan di pagar kawat di depan pabrik.
Selanjutnya, serangan terbesar pada 13 November 2015, di mana sembilan orang, sebagian besar pernah bertempur di Suriah bersama ISIS, melakukan serangan di beberapa titik keramaian Ibu kota Paris.
Serangan antara lain terjadi di dekat Stadion Stade de France dan gedung konser Bataclan, yang terletak tak jauh dari kantor majalah Charlie Hebdo. Aksi terkordinasi itu menewaskan sebanyak 130 orang dan melukai 350 orang lainnya.
Memasuki tahun 2016, Prancis sebenarnya sudah ada tanda-tanda akan terkena serangan teror kembali. Terlebih, negeri itu akan menggelar hajatan akbar empat tahunan, Piala Eropa.
Benar saja, serangan minor terjadi di Paris yang menewaskan seorang personel polisi dan istrinya di rumahnya di Magnanville, sekitar 55 kilometer sebelah barat laut Paris, pada 13 Juni. Aksi itu terjadi pascaserangan teror di klub malam Orlando, Amerika Serikat.
Mercusuar Kebebasan
Presiden Prancis Francois Hollande terpaksa memperpanjang masa darurat negara yang seharusnya berakhir 26 Juli besok, hingga tiga bulan ke depan. Prancis urung "bernapas lega" dari ketegangan dan situasi darurat.
Adakah alasan khusus mengapa Prancis menjadi langganan serangan teroris?
Kepala Eksekutif Intelligent Risks Group, Neil Fergus, Seperti dilansir news.com.au, Jumat, 15 Juli 2016, mengatakan, alasan Prancis menjadi target utama karena negara itu melambangkan “mercusuar kebebasan”.
Menurutnya, nilai-nilai kebebasan, persaudaraan, dan persamaan dalam kemanusian adalah nilai-nilai Eropa yang ditentang oleh kelompok militan seperti ISIS, di mana mereka mengharamkan nilai dan peradaban yang dianut Barat.
“Egalite (persamaan), Fraternite (persaudaraan), dan Liberte (kebebasan). Prancis adalah jantung filosofi kesucian Barat atau episentrum. Inilah yang dijadikan alasan bagi kelompok-kelompok mainstream untuk melakukan kekejian,” kata Fergus, mempertegas.
Alasan lain mengapa Prancis menjadi sasaran adalah karena sikap Presiden Francois Hollande, yang pada pekan lalu mengumumkan telah mengirimkan Kapal Induk Charles de Gaulle ke Timur Tengah untuk membantu koalisi internasional memerangi ISIS di Irak dan Suriah.
Menanggapi hal itu, Fergus berpendapat, ISIS saat ini ingin mematahkan kehendak pemerintah Prancis dengan terus melakukan teror secara acak.
"Secara kekuatan fisik ISIS tidak lagi memiliki kemampuan untuk memanfaatkan pasukan dalam mengalahkan sekutu yang didukung Barat. Tapi, mereka menjadi terpecah-pecah, dan ini lebih berbahaya,” tuturnya.
Apalagi, Fergus melanjutkan, instruksi dari pimpinan mereka sudah jelas. Yaitu menyerang “musuh-musuh” mereka. “Salah satunya Prancis,” tambah Fergus. Dan benar saja. Prancis seperti dibuat frustasi dan shock atas kerentanan serangan teroris dan radikalisasi dalam negeri.
Serangan ini seperti menandai kalau Prancis dan Eropa rawan keamanan. Bahkan, Fergus menilai, rasa aman menjadi “barang” mahal. Para teroris seperti hafal melihat celah yang tak disadari pemerintahan Hollande, dan itu berhasil dimanfaatkan dengan baik.
Di ambang Perang Saudara
Bahkan, tiga hari sebelum serangan truk maut ini, Kepala Direktorat Umum Keamanan Dalam Negeri Prancis (General Directorate for Internal Security / DGSI), Patrick Calvar, telah mengingatkan bahwa Prancis tengah berada di pusaran Perang Saudara.
Sebab, tumbuh ketegangan antara kelompok ekstrem kanan Prancis (ultranasionalis) dengan dunia Muslim (imigran Timur Tengah dan Afrika Utara).
"Saya pikir kami akan menang melawan terorisme. Tapi, konfrontasi antara ekstrim kanan dan dunia Muslim menyebabkan Prancis berada di ambang perang saudara,” kata Calvar, seperti dikutip situs Dailymail, Jumat, 15 Juli 2016.
Ia juga memprediksi akan terjadi satu atau dua serangan lagi ke depan. Meski Calvar tidak eksplisit menjelaskan bentuk dan lokasi serangan tersebut.
Kendati demikian, Calvar menjelaskan, yang melatarbelakangi suburnya aksi teror akibat warga Prancis yang berasal dari imigran, mayoritas Afrika Utara, yang puluhan tahun menjadi warga negara Prancis justru tidak merasa menjadi bagian dari itu.
Akibatnya, mereka menjadi kelompok minoritas yang terisolasi. Belum lagi, adanya tekanan dari kelompok ultranasionalis yang menyerukan untuk mengusir para imigran dan warga Prancis nonkulit putih.
Hal ini, Calvar melanjutkan, menjadi bibit kemarahan terpendam sekaligus menjadi ladang subur perekrutan anggota kelompok radikal.
“Tak ada asap kalau tak ada api. Siapa yang memantik maka api akan menyebar dengan cepat. Laporan yang saya terima bahwa mereka (kelompok ultranasionalis) telah mengumpulkan senjata untuk mempersiapkan diri menyerang tempat ibadah seperti masjid dan sinagog,” papar Calvar.
Ia pun mengakui aparat keamanan Eropa, khususnya Prancis, memiliki kelemahan. Celakanya, kata Calvar, hal tersebut diketahui pula oleh mereka untuk membuat kekacauan besar. (ren)