Vaksinasi Ulang, Upaya Pemerintah 'Tebus Dosa' Pengawasan

Salah satu contoh vaksin palsu milik Kementerian Kesehatan yang pernah ditemukan. Umumnya vaksin ini diganti label dan menggunakan botol bekas/Ilustrasi.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Filzah Adini Lubis

VIVA.co.id – Tugas Satgas Penanganan Vaksin Palsu mulai menunjukkan hasil. Pendataan terhadap korban, fasilitas kesehatan hingga rumah sakit yang menggunakan vaksin palsu bayi, kini tersingkap.

Hari ini, Satgas mengumumkan bahwa setidaknya 14 rumah sakit di Jawa, Sumatera, termasuk Batam, terindikasi menjadi pelanggan vaksin palsu yang diketahui sudah beredar dalam tiga tahun terakhir.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga menyatakan bahwa vaksin palsu diketahui digunakan di 37 fasilitas kesehatan di sembilan kota provinsi di Indonesia.

Lalu, atas temuan tersebut, pemerintah ibarat menebus dosa kurangnya pengawasan, akan melakukan vaksinasi ulang terhadap bayi dan anak. Vaksinasi akan dilakukan di DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, Pekanbaru, Palembang, Pangkal Pinang, Bandar Lampung, Batam, dan Serang.

Angka fasilitas kesehatan dan rumah sakit yang terlibat tersebut bertambah banyak dari temuan sebelumnya. Nahasnya, jumlah korban baik bayi dan anak yang terindikasi mengonsumsi vaksin bodong ini juga demikian. Dari hasil penelusuran Satgas, setidaknya 197 bayi dan anak Indonesia mendapatkan vaksin bodong.

“Sekarang, 197 kami identifikasi diduga terpapar vaksin palsu,” kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Polisi Agung Setya di Kementerian Kesehatan, Selasa 12 Juli 2016.

Sementara itu, vaksinasi ulang terhadap bayi dan anak akan segera dilakukan sesuai dengan pendataan di data fasilitas kesehatan dan rumah sakit yang membeli vaksin ecek-ecek tersebut.

Setelah diungkap oleh Bareskrim Polri beberapa saat lalu, kasus vaksin tiruan ini cukup menggemparkan Tanah Air. Tak hanya menuai reaksi dari masyarakat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Komisi IX meminta, agar pemerintah dalam koordinasi ketat mengusut peredaran vaksin tersebut.

Tak lama setelah kasus ini mencuat, dibentuk Satgas yang terdiri dari Kementerian Kesehatan, BPOM, Bareskrim Polri dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

BPOM, kemudian menguji sampel vaksin yang diamankan aparat dan mengujinya di laboratorium. Hasilnya, terdapat empat vaksin palsu dari 39 sampel yang ada. BPOM menjelaskan bahwa vaksin terindikasi palsu, karena kandungan dalam vaksin tidak sesuai dengan label yang terpasang di kemasan. Vaksin bodong tersebut kebanyakan berisi NaCl dan vaksin hepatitis B.

“Ada lagi vaksin yang kandungannya beda dengan label. Kalau kami lihat, kontennya tadi sama-sama vaksin tapi isinya beda. Jadi, seperti vaksin hepatitis B kan murah, mereka pakai itu,” kata Sekretaris Umum Pengurus IDAI, dr. Piprim Basarah Yanuarso dalam konferensi pers di Kementerian Kesehatan.

Selanjutnya>>>

Mulai dari Ciracas

Direncanakan dilakukan di sembilan daerah, vaksinasi ulang dipastikan segera dilakukan di Kawasan Ciracas, Jakarta Timur. Lokasi ini dipilih, bukan tanpa sebab. Polisi sebelumnya menggerebek dan menangkap Bidan Manogu Elly Novita yang berpraktik di daerah tersebut sejak lama. Dia diketahui tak hanya menggunakan vaksin palsu, namun juga mengedarkannya.

Manogu Elly Novita, kemudian menjadi salah satu dari 18 pesakitan yang sudah menjadi tersangka kasus ini. Kepolisian juga sudah melakukan prarekonstruksi di lokasi praktiknya di Jalan Cantex Raya RT 05 RW 11 Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur. Bidan Ciracas tersebut memang mengaku bahwa dia menggunakan vaksin ilegal. Dicatat sejauh ini, 48 bayi dan anak disebut menjadi korban Bidan Elly.

Hoaks, WHO Temukan Vaksin COVID-19 Palsu di Indonesia

Karena itu, vaksinasi ulang diharapkan bisa mengantisipasi potensi penyakit terhadap bayi dan anak yang ternyata tak menerima vaksin yang seharusnya.

IDAI mengungkapkan bahwa vaksinasi ulang adalah cara yang tepat untuk memberikan perlindungan terhadap korban. Vaksin anak, menurut IDAI, masih berpengaruh bila diberikan hingga usia 18 tahun. Karena itu, anggapan bahwa bayi dan anak sudah terlewatkan usia untuk diberi vaksin, dipatahkan oleh organisasi dokter tersebut.

WHO Temukan Vaksin Palsu COVID-19 di India dan Afrika

Menurut rekomendasi IDAI, setidaknya ada 14 jenis vaksin yang diperuntukkan bagi usia 0 hingga 18 tahun, yaitu hepatitis B, polio, BCG, DTP, Hib, rotavirus, influenza, campak, MMR, tifoid, hepatitis A, varisela A dan HPV.

IDAI menyarankan bahwa vaksinasi ulang akan mencakup vaksin-vaksin wajib tersebut.

Lebih 2.500 Warga India Jadi Korban Vaksin COVID-19 Palsu

IDAI menilai bahwa kemungkinan besar, isi vaksin palsu memang bukan zat beracun. Karena itu, para orangtua hanya perlu memastikan anaknya mendapatkan vaksin kembali. Bahkan, penggunaan vaksin ilegal itu dinilai belum pasti akan memengaruhi kesehatan apalagi keselamatan anak.

“Kalau secara ilmiah, enggak apa-apa divaksin berkali-kali. Anak-anak itu, tetapi (sempat) tidak terlindungi, karena tidak mendapatkan vaksinasi yang seharusnya, tidak tepat waktu,” kata dia lagi.

Selanjutnya>>>

Kejahatan kerah putih

Proses penegakan hukum atas kasus vaksin palsu terus berjalan. Sudah 18 orang yang menjadi tersangka dan 16 orang ditahan Kepolisian. Sebagian dari pelaku selain dijerat atas kejahatan pemalsuan juga bakal dijerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang.

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigjen (Pol) Agung Setya mengatakan bahwa pengusutan baik terhadap produsen dan pengedar vaksin bodong belum berhenti. Pemeriksaan saksi pula terus bergulir.  

“Sampai hari ini, 18 tersangka sudah dilakukan pemeriksaan. Saksi ada 19 orang dan sudah kami periksa, tiga orang saksi ahli sedang dalam proses pemeriksaan,” kata Agung Setya di Jakarta.

Namun, saat VIVA.co.id menanyakan soal kaitan kejahatan sindikat vaksin palsu Indonesia dengan jaringan sindikat obat internasional, Setya mengaku belum memastikan ke arah tersebut.

“Faktanya belum sampai ke situ, modelnya sebagai kejahatan kerah putih memang sudah terpenuhi,” kata Agung Setya.


Risiko minim untung besar

Kejahatan mengait farmasi dan produk obat-obatan, sebenarnya bukan hal baru dalam kejahatan skala dunia. Bahkan, menurut Interpol melalui situs resminya, 115 negara di dunia terindikasi menjadi sasaran kejahatan sindikat obat internasional. Sindikat bekerja dengan memproduksi, menjual dan mengedarkan baik vaksin, antibiotik, antivirus hingga obat penambah stamina.

Interpol melalui operasinya secara berkala melakukan operasi pengungkapan kejahatan mafia obat internasional yang kerap beroperasi di negara-negara berkembang dan negara miskin. Melalui operasi yang dinamakan Operasi Pangea VIII, divisi Interpol bidang Kejahatan Farmasi  terakhir kalinya sudah menangkap lebih dari 150 orang tersangka dan hasil kejahatan hingga menyita $US 81 juta dari aksi pemalsuan obat.

Interpol merilis bahwa pemalsuan obat dilakukan kerap melalui peredaran dan perdagangan online. Tak hanya memalsukan dengan memanipulasi isi kemasan, aksi kejahatan dilakukan dengan memalsukan masa kedaluwarsa obat.  

Tak hanya Interpol, Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga menaruh perhatian gencarnya kejahatan transaksi obat ilegal di dunia. Dicatat bahwa untuk sejumlah kasus, obat-obat palsu di sejumlah negara seperti di China, Myanmar, dan Kamboja, bahkan telah menyebabkan kematian.

Pada tahun lalu, WHO juga melayangkan surat peringatan kepada pemerintah Afrika Selatan, akibat beredarnya vaksin meningitis palsu dengan nama menomune ACY-W135 di negara tersebut. Yang menjadi soal adalah masa kedaluwarsa vaksin diganti yang seharusnya 2014, menjadi tahun 2016 atau 2017.

Laman Newsweek pada Juli tahun lalu, juga pernah mengulas soal kejahatan farmasi internasional yang kerap menyasar negara kurang mapan. Menurut WHO, 30 persen negara di dunia rentan menjadi lokasi maraknya peredaran obat palsu. Hal tersebut disebabkan tidak adanya badan pengawas dan regulator produk farmasi di negara tersebut.

Namun, pesatnya kejahatan obat di dunia dinilai tak serta-merta, karena produk tersebut diperlukan banyak orang dan niscaya mendatangkan untung besar.

Paul Newton, profesor farmasi dari Universitas Oxford sebagaimana dikutip dari laman Newsweek pada 17 September 2015, mengatakan, pesatnya kejahatan obat-obatan di dunia internasional juga disebabkan minimnya hukuman yang dijatuhkan terhadap penjahat pemalsuan obat. Hal tersebut, jauh berbeda dengan ancaman hukuman bagi pelaku kejahatan narkotika.

Gencarnya bisnis haram ini terjadi disebut, karena kondisi low risk and high reward, ‘risiko kecil namun untung besar’ itu.

“Hukuman bagi pemalsu obat relatif kecil, dibandingkan hukuman kepada pengedar narkotika maupun perdagangan manusia,” kata Paul Newton. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya