Quo Vadis UU Tax Amnesty
- Chandra G Asmara / VIVA.co.id
VIVA.co.id – Selasa siang, 28 Juni 2016, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty untuk segera dijadikan UU. Persetujuan ini jauh lebih cepat dari perkiraan semua pihak di tengah sempitnya waktu pembahasan dan banyaknya cakupan yang perlu disepakati.
Dalam perjalanannya hingga pengesahan, pembahasan RUU Tax Amnesty terbilang cukup alot karena secara garis besar sejumlah fraksi di DPR banyak memberikan catatan khusus. Bahkan, hingga hari diputuskan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak dengan tegas disahkannya RUU tersebut.
"Kami keberatan dan menolak disahkan RUU Tax Amnesty," tegas Wakil Ketua Fraksi PKS Ecky Awal Muharram saat rapat paripurna di gedung parlemen Jakarta. PKS masih keberatan terkait objek pajak dari Tax Amnesty, mekanisme pemberian tarif tebusan bagi calon peserta Tax Amnesty hingga dana repatriasi dari kebijakan ini.
Sedangkan, Politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Rieke Dyah Pitaloka yang merupakan partai pendukung Pemerintahan, juga turut mempertanyakan efektifitas dari pemberlakukan UU ini yang ditetapkan berakhir pada 2017 mendatang, padahal pada 2018 nanti ada era keterbukaan informasi perbankan.
Dari pernyataan politisi PKS dan PDIP tersebut, tentunya memang cukup menarik bila dikaji lebih dalam, apakah dengan UU Tax Amnesty ini bisa banyak memberikan keuntungan bagi negara atau justru hanya memberikan celah baru bagi para pengusaha nakal yang ingin mengurangi kewajibannya terhadap negara.
Saat dalam pembahasan, aturan pengampunan pajak ini banyak dikhawatirkan sejumlah pihak apakah data pajak yang telah disampaikan untuk pengampunan pajak tidak ikut mengusut persoalan hukum lainnya yang diderita wajib pajak. Selain itu, sejumlah pihak juga terus mempertanyakan keadilan bagi para wajib pajak lainnya yang taat pada negara.
Hapus Kriminal Perpajakan
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mengatakan, disahkannya UU Tax Amnesty ini dipastikan tidak menyetop penyelidikan atas tindakan kriminal apapun yang di derita wajib pajak. Dalam kontek pengampunan ini UU Tax Amnesty hanya memberikan pengampunan atas pidana pajak yang dikenakan wajib pajak.
Dengan demikian, apabila wajib pajak pernah membuat kesalahan di masa lalu tentang perpajakan, UU inilah yang mereka gunakan dengan harus membayar Amnesty Rate atau uang tebusan. Setelah pembayaran uang tebusan wajib pajak tersebut dinyatakan bersih atau tidak akan diperiksa kembali keesokan harinya.
Sedangkan terkait data pajak yang telah disampaikan wajib pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak, Suahasil memastikan data pajak tersebut tidak akan keluar dari kantor Ditjen Pajak dan tidak akan diberikan kepada pihak mana pun karena dapat terkena pidana.
"Jadi dari UU ini tidak menyetop penyelidikan atas kriminal apapun. UU ini hanya menyetop tindak pidana dari kriminal pajaknya saja. Dan bila ada wajib pajak di masa lalu pernah buat kriminal pajak, maka saat dia minta Tax Amnesty tidak ada pemeriksaan lagi atas kasus lama tersebut," jelas Suahasil kepada VIVA.co.id beberapa waktu lalu.
Sedangkan terkait dengan tindak pidana pajak dari hasil korupsi contohnya, Ia menyatakan UU ini tidak membenarkan pihak Ditjen pajak memberikan data-data sebagai barang bukti. UU pengampunan pajak ini juga tidak bisa menyetop penyelidikan jika memang ada tindak korupsinya.
"Jika itu ternyata uang dari korupsi itu tetap ditindaklanjuti, tapi untuk datanya tidak bisa jadi bukti. UU ini haknya hanya menyetop penyelidikan pajaknya dan tidak membenarkan untuk berbuat korupsi," jelas dia.
Baca Juga:
Pembagian Tarif Tebusan
Dalam UU Tax Amnesty, wajib pajak yang akan mengajukan pengampunan tentu harus melihat tiga kategori tarif tebusan yang sudah disepakati yaitu tarif tebusan repatriasi, tarif tebusan deklarasi dan tarif tebusan bagi sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Untuk repatriasi, tarif tebusan ini berlaku atas harta yang selama ini berada di luar negeri, yang dialihkan ke Indonesia, serta di investasikan ke Indonesia dalam jangka waktu tiga tahun sejak di investasikan. Berikut rinciannya :
- Dua persen untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama, sampai dengan akhir bulan ketiga, terhitung sejak UU ini mulai berlaku
- Tiga persen untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung Sejak UU ini berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016.
- Lima persen untuk periode Penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan 31 Maret 2017.
Sementara untuk deklarasi, tarif tebusan ini berlaku atas harta yang selama ini berada di luar negeri, namun tidak dialihkan ke Indonesia. Berikut rinciannya :
- Empat persen untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga, terhitung sejak UU ini mulai berlaku.
- Enam persen untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung Sejak UU ini berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016.
- 10 persen untuk periode Penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan 31 Maret 2017.
Untuk sektor UMKM, tarif tebusan ini berlaku bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4,8 miliar pada tahun pajak terakhir. Berikut rinciannya :
- 0,5 persen bagi WP yang mengungkapkan nilai hartanya sampai dengan Rp10 miliar dalam Surat Pernyataan
- Dua persen bagi WP yang mengungkapkan nilai harta lebih dari Rp10 miliar dalam Surat Pernyataan.
Lantas, instrumen apa yang nantinya akan digunakan oleh pemerintah untuk menampung dana repatriasi tersebut? Berikut kesepakatan penempatan dana repatriasi di tingkat Panja :
- Surat Berharga Negara
- Obligasi Badan Usaha Milik Negara
- Obligasi Lembaga Pembiayaan yang dimiliki oleh Pemerintah
- Investasi keuangan pada bank persepsi
- Obligasi perusahaan swasta yang perdagangannya dia awasi oleh Otoritas Jasa Keuangan
- Investasi infrastruktur melalui kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha.
- Investasi di sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan Pemerintah
- Dan bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Baca juga:
Perlu Antisipasi Bila Target Gagal
Sementara itu, terkait banyaknya pihak yang mempertanyakan efektifitas dari pelaksanaan aturan ini bagi negara juga perlu diperhatikan oleh Pemerintah. Sebab, jika merujuk beberapa negara di dunia yang sudah menerapkan aturan pengampunan pajak ini capaiannya kurang menyenangkan.
Seperti India contohnya, negara yang sedang berkembang tersebut pernah menerapkan aturan pengampunan pajak dan pada akhirnya capaian yang didapat hanya sebesar 1/3 dari target yang di inginkan. Tentu dari contoh itu, kita bisa belajar lebih pintar dalam menerapkan sebuah aturan bagi negara, apalagi karakteristik Indonesia menyerupai India.
Atas hal tersebut, Wakil Ketua Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno juga menyatakan hasil penerimaan dari Tax Amnesty ini diharapkan tidak dimasukkan sebagai sumber pendapatan utama Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan 2016. Sebab, bila dimasukkan akan ada problem fiskal bisa pemerintah sendiri belum memastikan berapa dana yang bisa didapat dari repatriasi dan deklarasi.