Pemerintah Ikat Kencang Anggaran
- Pixabay/stevepb
VIVA.co.id – Kementerian Keuangan melaporkan realisasi penerimaan negara sampai dengan 31 Mei 2016, mencapai Rp496,6 triliun. Realisasi tersebut sebesar 27,2 persen dari target yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar Rp1.822,5 triliun.
Kepala Pusat Harmonisasi dan Analisis Kebijakan Kementerian Keuangan, Luky Alfirman mengungkapkan, penerimaan negara dalam lima bulan terakhir itu berasal dari penerimaan pajak senilai Rp406,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp89,1 triliun.
Pemerintah akui realisasi ini di luar harapan. “Ini masih rendah, dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp435,3 triliun," kata Luky beberapa waktu lalu.
Sementara itu, dia menambahkan, realisasi belanja negara di periode yang sama mencapai Rp357,4 triliun atau tumbuh sebesar 27 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN sebesar Rp1.325,6 triliun.
Luky menjabarkan, belanja pemerintah tersebut meliputi belanja Kementerian dan Lembaga (K/L) sebesar Rp179,6 triliun, dan belanja non K/L sebesar Rp177,8 triliun. Tingginya realisasi belanja K/L di klaim merupakan hasil dari upaya percepatan realisasi belanja, seperti dari belanja modal dan belanja barang.
Di sisi lain, belanja negara untuk transfer ke daerah juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari sebesar Rp274,7 triliun pada tahun lalu, menjadi sebesar Rp328,4 triliun atau sudah terserap 42,6 persen dari target sebesar Rp723,2 triliun.
Sementara untuk dana desa, mencapai Rp23,7 triliun atau telah terserap 50,3 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN sebesar Rp47 triliun.
Luky menjelaskan, kurang teroptimalisasinya instrumen penerimaan perpajakan terjadi karena sejumlah faktor. Misalnya, dari sektor pajak penghasilan (PPh) non minyak dan gas (migas), maupun pajak pertambahan nilai (PPN) yang mengalami penurunan karena harga minyak turun.
“PPh migas memang kurang menggembirakan, karena harga minyak, PPN juga pertumbuhannya masih minus, karena perlambatan ekonomi di kuartal pertama yang hanya tumbuh 4,9 persen," ujarnya.
Sementara itu, dari sisi penerimaan negara yang bersumber dari PNBP sampai dengan Mei 2016, hanya mencapai Rp89,1 triliun, atau lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yang mencapai Rp98,1 triliun.
Luky menambahkan, kondisi ini dipengaruhi dari turunnya harga komoditas, yang pada akhirnya memengaruhi porsi tambahan kepada kas keuangan negara dari sektor tersebut.
Rendahnya peneriman negara tersebut membuat defisit anggaran yang telah dipatok pemerintah sebesar 2,15 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), diperkirakan akan melebar menjadi 2,5 persen pada tahun ini.
Hasilnya untuk menutupi defisit tersebut, pemerintah telah menerbitkan surat berharga negara (SBN) atau obligasi mencapai Rp340,1 triliun. Jumlah tersebut sebesar 61,2 persen dari proyeksi APBN senilai Rp555,7 triliun.
***
Kencangkan ikat pinggang
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui, dalam situasi ekonomi yang tidak pasti seperti saat ini, pemerintah sulit untuk mengejar target penerimaan pajak tahun ini. Selain dengan penambahan utang, pemerintah akan melakukan langkah-langkah efisiensi, salah satunya mengurangi belanja yang dianggap tidak perlu.
"Otomatis pengeluarannya juga diturunkan, dan pengelolaan anggaran memang selalu begitu," jelas Jusuf Kalla, saat ditemui media di kantornya, Jumat 17 Juni 2016.
Pengeluaran yang dipangkas lanjut Wapres adalah yang non prioritas, seperti biaya perjalanan dinas Pegawai Negeri Sipil (PNS), seminar-seminar, dan peninjauan. Selain itu, bila masih dirasa perlu pengurangan belanja juga bisa dilakukan pada belanja barang.
Sementara itu, untuk belanja seperti proyek-proyek infrastruktur, gaji pegawai dan jaminan kesehatan masyarakat pemerintah pastikan tidak akan ada pemotongan.
"Yang jelas, pada tahap pertama ini, pemerintah tidak akan kurangi belanja-belanja yang prioritas. Tetapi, bila masih dirasa perlu dan belum cukup, memang belanja barang, kemudian harus diturunkan atau dipotong," ujar JK.
Instruksi Jusuf Kalla tersebut direspons cepat oleh bendahara negara. Menteri Keuangan, Bambang Bambang Brodjonegoro menegaskan, apabila ternyata defisit anggaran semakin melebar, hal yang akan dilakukan adalah penghematan anggaran di seluruh instansi pemerintah.
Dia juga mengatakan, pemerintah akan menunda seluruh belanja pemerintah yang tidak bisa terakselerasi dan mengalami penundaan pelaksanaan.
"Ya, kalau ada belanja yang di-delay (ditunda) yang delay, gitu aja," ujarnya, saat ditemui Kamis.
Namun demikian, Kalla memastikan belanja pembangunan seperti proyek-proyek infrastruktur, gaji pegawai dan jaminan kesehatan masyarakat tidak akan dipotong oleh pemerintah.
***
Jurus pemerintah
Dalam Rancangan APBN-Perubahan yang akan segera dibahas dengan DPR, pemerintah telah mempersiapkan langkah-langkah antisipasi untuk mengantisipasi, melebarnya defisit anggaran melebihi pakem yang ditetapkan dalam Undang-undang sebesar tiga persen dari PDB.
Di sektor perpajakan, salah satunya penerapan tax amnesty atau pengampunan pajak, diandalkan pemerintah untuk mendorong penerimaan pajak
Menkeu Bambang menyebut, berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan pihaknya jika kebijakan ini diterapkan, akan ada tambahan setidaknya Rp180 triliun. Dana tersebut bersumber dari dana repatriasi maupun deklarasi dari para wajib pajak (WP) yang selama ini menyimpan dananya di luar negeri.
Selain tax amnesty, Bambang mengungkapkan, pemerintah setidaknya memiliki tiga program utama yang akan digenjot Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pertama adalah ekstensifikasi pajak.
"Kalau ada pekerjaan formal sekaligus, atau bahkan tidak punya NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan tidak bayar pajak, akan jadi sasaran ekstensifikasi," tutur Bambang
Program kedua dia melanjutkan, pemeriksaan kepada WP orang pribadi akan semakin dikuatkan. Sebab diakuinya, selama ini Ditjen Pajak hanya menelusuri aset-aset WP badan, karena aset WP orang pribadi sulit ditelusuri.
Sedangkan yang ketiga dia mengatakan, pemerintah akan semakin galak untuk menarik pajak perusahaan asing yang ada di Indonesia. Karena selama ini ada sejumlah perusahaan asing yang telah menunggak selama 10 tahun lebih, namun masih tetap berdiri dengan sehat di Indonesia.
Mereka perusahaan asing tersebut seolah mengalami kerugian sehingga tidak bisa membayar pajak sesuai dengan yang ditetapkan.
"Jumlah (perusahaan) itu ada sekitar 500, dan ini kerugian (negara) yang cukup besar. Sekarang kami ingin, sudah diperiksa saja," ungkapnya.
Selain penerimaan pajak, pemerintah juga akan menaikan target penerimaan dari sektor cukai sebesar Rp1,6 triliun menjadi Rp148 triliun. Dari perubahan target ini, penerimaan cukai rokok dipatok sebesar Rp141,7 triliun, atau Rp1,9 triliun lebih tinggi dari target APBN 2016 sebesar Rp139,8 triliun.
Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai, Sugeng Aprianto mengungkapkan, kenaikan target tersebut merupakan bentuk optimisme pihaknya bahwa akan ada lonjakan penerimaan cukai rokok di akhir tahun.
Produsen rokok diproyeksi akan berbondong-bondong membeli cukai karena tarifnya akan dinaikkan tahun depan. Hal ini merupakan potensi yang bisa dimanfaatkan pemerintah.
"Targetnya memang diusulkan naik, tetapi tarifnya tetap. Kami harap ada lonjakan pembelian pita cukai di akhir tahun supaya target tercapai, walaupun saat ini volume produksi turun 0,6 – 0,8 persen year-on-year." ujarnya beberapa waktu lalu.
***
Harus realistis
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan mempertanyakan target penerimaan negara yang di patok pemerintah Jokowi saat ini. Berkaca dengan kondisi ekonomi saat ini, target tersebut dirasa kurang realistis.
Dia menjabarkan setidaknya ada beberapa hal yang mendasari pandangan tersebut. Salah satunya adalah perbandingan antara defisit anggaran dan cadangan devisa yang dimiliki pemerintah.
Menurutnya, kedua hal tersebut harus seimbang sehingga ketahanan fiskal bisa lebih kuat merespon kondisi ekonomi baik domestik maupun internasional.
Kedua menurut dia, Belanja pemerintah harus dipastikan digunakan untuk membangun infrastruktur yang dapat mendorong sektor ril. Sehingga ekonomi domestik bisa lebih bergeliat.
"Kondisi saat ini semakin tertekan," ungkapnya.
Hal yang sama diungkapkan Ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI) Josua Pardede, ketika berbincang dengan VIVA.co.id. Menurutnya, meskipun postur APBN di era Jokowi lebih fleksibel dibanding pemerintahan presiden sebelumnya, pemerintah tidak memiliki banyak amunisi dari penerimaan untuk menggenjot ekonomi.
Target yang lebih realistis lebih penting dilakukan, agar kesinambungan fiskal tetap terjaga dan pasar terus mempercayai langkah Pemerintah dalam menghadapi kondisi ekonomi yang tidak pasti.
Kepala Ekonom PT Bank Maybank Indonesia Tbk (BNII) menambahkan, upaya pemerintah untuk menjaga defisit perlu dilakukan, dan upaya untuk memfokuskan belanja kepada hal yang lebih prioritas harus bisa dilakukan dalam revisi APBN 2016 ini.
“Langkah Money Follows Program yang akan diterapkan, tentu bisa memberikan efek yang positif di tengah terbatasnya anggaran,” ujarnya, saat dihubungi VIVA.co.id.