AS Masih Gagal Hentikan Warganya Jadi 'Teroris Domestik'

Presiden Amerika Serikat, Barack Obama.
Sumber :
  • REUTERS/Kevin Lamarque

VIVA.co.id – Amerika Serikat kembali diguncang teror penembakan brutal warga sipil. Klub malam khusus kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), Pulse, di Orlando, Florida, AS mengalami serangan teror pada pukul 02.00 dini hari waktu setempat. Korban tewas mencapai 50 orang dan 53 lainnya luka-luka.

Banyaknya korban tewas dalam insiden berdarah ini bahkan melampui jumlah korban tewas dalam pembantaian di Technology University di Virginia, AS, pada 2007 yang mencapai 32 orang.

Presiden Barack Obama seperti tidak bisa berbuat apa-apa dan mengaku sudah benar-benar muak dengan terus terjadinya aksi penembakan massal di negaranya. Terlebih, kasus ini menjelang akhir masa jabatannya sebagai orang nomor satu di AS.

Berdasarkan data yang dikelola VIVA.co.id, sejak awal 2016 saja, sudah tujuh kasus serupa terjadi di negeri Paman Sam. Kasus terakhir soal penembakan di kampus Universitas California Los Angeles (UCLA), pada awal Juni lalu.

Kala berbincang dengan VIVA.co.id, Pakar Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, Arry Bainus mengatakan, maraknya kasus penembakan di AS disebabkan bolehnya warga di sejumlah negara bagian memiliki senjata dengan bebas. Hal ini juga tidak bisa lepas dari faktor sejarah negeri itu.

"Kepemilikan senjata di Amerika tak lepas dari 'Wild Wild West'. Saat itu warga sangat bebas punya senjata, dan bahkan, cenderung liar dalam menggunakannya. Saat ini pun masih berlaku di beberapa negara bagian seperti California dan Florida," kata Arry, Senin, 13 Juni 2016.

Wakil Rektor Unpad ini juga menuturkan, pertahanan diri (self-defense) menjadi alasan mengapa bebasnya warga sipil memiliki senjata. Menurutnya, pemerintahan Obama pernah ingin memperketat kepemilikan senjata oleh sipil pada 2012. Namun, usulan itu ditolak mentah.

"Yang menolak negara bagian besar seperti California, Florida dan Oregon. Selain itu, Kongres juga menyuarakan hal yang sama. Sungguh ironis bagi Obama," ungkapnya.

Baca:

Obama pernah menyerukan kepada para pemilik senjata yang menggunakan senapan untuk berburu, olahraga dan kepentingan perlindungan menanyakan apakah kelompok yang selama ini menentang UU Pengendalian Senjata benar-benar telah mewakili aspirasi mereka.

Obama can’t do nothing

Ia memang tidak menyebut Asosiasi Senjata Nasional (NRA) sebagai organisasi yang melobi Senat, tetapi dari komentarnya jelas ditujukan untuk organisasi itu. NRA diketahui memiliki pengaruh politik yang luas di Washington.

Alasan lainnya adalah penerapan hukum yang berbeda-beda di setiap negara bagian di AS turut mempersulit pengetatan kepemilikan senjata. Sebab, ada negara bagian yang menyetujui maupun menolak.

Arry juga menjelaskan, senjata yang bebas beredar di AS pun dari berbagai jenis. Mulai revolver hingga laras panjang. "Apalagi, Amerika merupakan negara melting pot. Yaitu, sebuah bangsa yang dihuni oleh beragam suku dan ras. Ini menjadi ‘duri dalam daging’ Obama jelang akhir masa jabatannya," kata Arry.

Ia kemudian mengatakan, yang dimaksud “duri dalam daging” adalah bahwa Obama tidak bisa melakukan apa-apa atas maraknya penembakan oleh warga sipil.

Kecuali, lanjut Arry, Obama berani melakukan gebrakan. “He can’t do nothing. Apalagi Kongres sudah menolak. Kalau mau dan berani, lakukan lobi. Tapi, apakah mungkin waktunya cukup?” tutur dia.

Kepemilikan senjata api diatur oleh Undang-undang Milisi 1792. Diperkirakan, terdapat 80 juta pemilik senjata api di AS, dengan total 258 juta pucuk senjata.

Senjata api hanya boleh dimiliki oleh seseorang berusia di atas 21 tahun yang dibeli di penjual resmi berizin.

Orang-orang yang tidak boleh membelinya adalah buronan, pengguna narkoba, memiliki gangguan kejiwaan, bukan warga negara AS, pendatang ilegal, serta orang yang tengah diadili. Namun, dalam praktiknya, kepemilikan senjata api sangat mudah, karena tidak ada ukuran yang jelas.

Walt Disney Sumbang US$1 Juta untuk Korban Tembak di Orlando

"Makanan empuk" Partai Republik

Tak hanya itu saja. Pengajar di Sesko TNI ini juga mengatakan, tragedi penembakan ini pasti akan dijadikan "bahan diskusi" dalam pertarungan pemilihan presiden AS.

Omar Mateen Sering Mengaku Didukung Kelompok Militan

“Jelas ini akan menjadi bahan menarik bagi Partai Republik untuk mendulang suara. Mereka pasti mengatakan hal-hal negatif kepada pemerintahan yang sekarang. Tapi harus diingat. Siapa pun presidennya, UU Pengendalian Senjata tidak akan pernah disetujui,” ujarnya, tegas.

Baca juga:

Air Mata Bos Apple untuk Korban Penembakan Orlando

Menurutnya, tidak mudahnya pengendalian senjata ini lantaran mayoritas Kongres dikuasai Partai Republik, yang notabene, mendukung sipil memiliki senjata atas nama pertahanan diri.

Upaya pengetatan kepemilikan senjata sebenarnya telah menjadi agendanya sejak terjadi penembakan di SD Sandy Hook, Newtown, Connecticut, pada 15 Desember 2012. Tetapi, upayanya itu selalu ditentang oleh Kongres AS, termasuk beberapa rekannya di Partai Demokrat.

Obama juga terbukti gagal memajukan proposal tersebut. Penembakan mematikan lainnya terjadi di Kampus Komunitas Oregon, pada Oktober 2015. Obama mengatakan pengacara Gedung Putih akan mencari titik celah agar ada cara baru memberlakukan aturan tersebut.

Salah satu opsinya yakni mewajibkan para penjual senjata memperoleh izin untuk menjual senjata, sedangkan bagi para pembeli harus diperiksa terlebih dahulu latar belakangnya.

Pascaserangan Orlando, kota New York memperketat pengamanannya. Wali Kota New York, Bill de Blasio, mengumumkan bahwa semua bendera akan dikibarkan setengah tiang di kota terbesar AS itu dan bahwa langkah-langkah keamanan telah diperkuat.

Meski mengakui tak ada ancaman, namun de Blasio memilih siaga.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya