Apa Kabar Aturan Pengampunan Pajak
- Adri Prastowo
VIVA.co.id – Terkatung-katungnnya pembahasan Kebijakan Pengampunan Pajak atau tax amnesty di parlemen, menuai spekulasi banyak pihak. Sebab, banyak pihak-pihak terkait khususnya wajib pajak (WP) yang saat ini menanti apakah kemurahan hati pemerintah itu akan disepakati DPR.
Publik gundah karena pembahasannya di DPR tak seperti yang dijanjikan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, dan Ketua DPR, Ade Komarudin. Karena, ternyata kebijakan itu baru dibahas intensif Juni 2016, dan tak dapat dipastikan akan selesai di pertengahan Juni dan diterapkan awal semester II seperti optimisme pemerintah.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengungkapkan, penyelesaian yang terburu-buru kebijakan itu, rawan menimbulkan celah dan moral hazard,
Namun, pembahasan yang bertele-tele selain melelahkan juga menciptakan ketidakpastian. Hal itu bisa membuat tujuan dari pengampunan pajak yang dipersiapkan dengan baik sejatinya berpotensi memperluas basis pajak, menambah jumlah wajib pajak, dan meningkatkan penerimaan pajak yang signifikan dan berkesinambungan tidak dapat terwujud.
"Kami berpendapat perlu diambil langkah terobosan agar segera diperoleh kepastian tentang nasib RUU Pengampunan Pajak," ujarnya Senin 6 Juni 2016.
Dia menjabarkan ada beberapa fakta yang menjadi sorotan berbagai pihak dari proses pembahasan kebijakan ini. Pertama, terkatung-katungnya nasib RUU ini menyandera wajib pajak dan Ditjen Pajak ke dalam situasi yang dilematis.
Baca juga:
Karena, penegakan hukum yang sedang dilakukan tidak dapat diimplementasikan dengan tegas. Padahal, Ditjen Pajak, tahun ini dibebani dengan target yang signifikan.
Di pihak lain, wajib pajak pun dalam posisi menunggu kepastian untuk dapat merespons kebijakan ini dengan pengambilan keputusan bisnis secara tepat, dan berharap memperoleh perlakuan adil.
Kedua menurutnya, kebijakan pemungutan pajak yang tidak mengganggu iklim investasi usaha sebagaimana digariskan dalam UU APBN sangat sulit diwujudkan. Jika target pajak tidak direvisi secara radikal dan kapasitas Ditjen Pajak tidak ditingkatkan secara signifikan.
Situasi ini berpotensi menimbulkan stagnasi ekonomi dan kebuntuan pemungutan dalam administrasi pajak. Terlebih demi stimulus ekonomi banyak potensi pajak tergerus dan dikorbankan.
Ketiga, saat ini pembahasan RUU Pengampunan Pajak di Panitia kerja DPR telah memasuki minggu ketiga dan belum menunjukkan tanda-tanda membahas substansi RUU secara mendasar. Dikhawatirkan situasi ini justru mengarah pada ketidakpastian baru yang memperburuk keadaan.
Pemerintah perlu menegaskan maksud, tujuan, dan visi pengampunan pajak, memperkuat basis argumen, menambal kekurangan dan kelemahan RUU, menyerap aspirasi seluas mungkin dan mengolahnya, serta menyiapkan sistem pengawasan setelah pengampunan yang menjamin kenaikan penerimaan pajak secara signifikan.
Fakta yang keempat menurutnya, Panja DPR dan pemerintah diharapkan dapat melaksanakan rapat secara terbuka, demi transparansi dan akuntabilitas. Terlebih lagi pengampunan pajak merupakan isu sensiitf.
"Setidaknya, panja menyampaikan perkembagan secara periodik ke publik terkait isu yang dibahas dan telah disepakati," tambahnya.
Kerikil tajam
Sejak mulai dibahas bulan lalu, draf RUU pengampunan pajak terus dipertanyakan di parlemen, salah satunya oleh fraksi Partai Demokrat.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Demokrat, Hinca Panjaitan dengan tegas mengatakan jika partainya menolak RUU Pengampunan Pajak yang tengah dibahas. Menurut dia, ada beberapa pertanyaan penting dari RUU itu yang belum dijawab pemerintah.
Baca juga:
Ia memaparkan, selama ini pemerintah berasumsi terdapat uang triliunan rupiah yang dibawa orang Indonesia ke luar negeri. Uang itulah yang berpotensi untuk menambah penerimaan negara karena belum dipajaki.
"Katakan begini. Anda berasumsi katakanlah Rp1.000 triliun di luar negeri. Lalu Anda berpikir untuk menarik itu agar APBN kita penuh. Cara untuk menarik, dia (Pemerintah) menduga bahwa Rp1.000 triliun yang dibawa ke luar itu hasil kejahatan," ujarnya beberapa waktu lalu.
Yang menjadi pertanyaan, apa benar uang di luar negeri itu benar-benar ada triliunan rupiah. Hinca melanjutkan, jika benar dugaan pemerintah, bagaimana cara dan berapa besaran pengampunan pajak yang akan diberikan.
Selain itu, Rapat Konsinyering RUU tax amnesty di Hotel Crowne di Jakarta, 26 Mei lalu Jakarta tak membuahkan hasil. Buntunya pembahasan itu menimbulkan banyak spekulasi.
Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi PAN Achmad Hafisz Tohir berpendapat, buntunya rapat itu karena ada risiko besar yang mengancam jika kebijakan itu diterapkan.
Baca juga:
"Mungkin kawan-kawan takut untuk melangkah lebih dalam karena risiko yang cukup besar. Kan ini masalah uang panas di Panama Papers. Kalau RUU ini gol, maka Panja RUU Tax Amnesty akan punya beban kepada seluruh rakyat miskin dan rakyat yang tidak mengemplang pajak selama ini, yang justru patuh membayar pajak namun tidak diberi penghargaan," ujarnya kala itu.
Alternatif tax amnesty disiapkan
Pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016 menaikkan porsi penerimaan negara melalui sektor pajak penghasilan non migas sebesar 14,5 persen, atau menjadi Rp819,5 triliun, dari target yang sebelumnya sudah ditetapkan dalam APBN sebesar Rp715,8 triliun.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui, peningkatan porsi penerimaan pajak penghasilan (PPh) non migas ditetapkan dengan asumsi aturan main dari kebijakan pengampunan pajak telah disepakati DPR dan diterapkan pada awal smester II.
Baca juga:
Pengampunan pajak pun diproyeksikan mampu berkontribusi terhadap penerimaan PPh non migas sebesar Rp165 triliun. Lantas, bagaimana jika penerapan kebijakan tax amnesty nantinya justru tidak mampu terakselerasi dengan optimal atau mandek di parlemen?
"Doakan saja (tax amnesty) bisa nendang. Itu, kalau kita bicara mengenai nendang, atau tidak," tutur Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Perpajakan, Puspita Wulandari, di kantornya beberapa waktu lalu.
Pemerintah, kata Puspita, telah mempersiapkan berbagai skenario untuk menggenjot penerimaan jika nantinya memang kebijakan tax amnesty bisa terwujud sesuai dengan yang diharapkan. Mulai dari mendorong program ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan.
Baca juga:
"Misalnya, ekstentifikasi melihat dari potensi yang selama ini belum menjadi WP (wajib pajak), menjadi WP. Sementara, dari intensifikasi, bagaimana mendorong kepatuhan dari para WP," kata dia.
Mengenai detailnya, Bambang Brodjonegoro mengaku belum bisa menjelaskan apa alternatif jika kebijakan itu tidak bisa terwujud. Namun, dia memastikan pemerintah punya alternatif lain.
"Kami akan optimalkan selain tax amnesty," singkatnya, di gedung DPR, Senin 6 Juni 2016.