Menyoal Wacana Pemangkasan 1 Juta PNS
- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id - Pemerintah berencana melakukan rasionalisasi dan evaluasi jumlah pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN), khususnya Pegawai Negeri Sipil (PNS). Rencana rasionalisasi jumlah PNS itu akan dimulai tahun depan hingga 2019 mendatang.
Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Yuddy Chrisnandi menjelaskan, jumlah ideal ASN yang PNS sesuai jumlah penduduk dan besaran APBN, adalah 1,5 persen dari total jumlah penduduk Indonesia yang saat ini sekitar 250 juta jiwa, atau setara dengan 3,5 juta pegawai.
"Kami sudah minta ke Kementerian Keuangan untuk mulai mencadangkan anggaran untuk rasionalisasi pegawai. Jumlahnya sedang kita hitung, tetapi rasionya kurang lebih, jumlah pegawai pemerintah yang PNS itu kurang lebih 1,5 persen dari jumlah penduduk sekarang ini," kata Yuddy, Rabu, 18 Mei 2016.
Yuddy menerangkan, dari data yang ada saat ini, jumlah ASN dan PNS mencapai 4,7 juta, sehingga melebihi angka ideal itu.
"Sekarang statistiknya 4.750.000 lebih. Berarti, kelebihan satu juta. Dari kelebihan satu juta ini, tentu ada yang pensiun sampai dengan 2019, diperkirakan yang pensiun 520 ribu orang. Berarti, ada sekitar 500 ribu lagi," ungkap Yuddy.
Politikus Partai Hanura itu menerangkan, rasionalisasi ini tidak sekadar mengurangi pegawai, tetapi juga menyiapkan pegawai pemerintah dengan kompetensi tinggi.
"Oleh karena itu, jumlah yang dirasionaliasi akan lebih banyak, karena akan ada yang masuk. Tetapi, akumulasi jumlahnya akan jauh berkurang dibandingkan dengan pegawai saat ini," ungkap Yuddy.
Kemenpan RB akan mulai mensosialisasikan langkah ini sekitar Juli mendatang. Terkait hal ini, Kemenpan RB juga mengeluarkan aturan teknis untuk memetakan SDM di pemerintah pusat maupun daerah, baik dari sisi jumlah maupun jabatan untuk mengetahui kebutuhan SDM yang diperlukan.
"Nah, ini semua masih dalam proses formulasi kebijakan, yang mudah-mudahan kita akan sosialisasikan setelah Lebaran, sehingga setiap instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah sudah memiliki standar audit pegawai yang sama," ujarnya.
Yuddy menjelaskan, dalam rasionalisasi pegawai tersebut, akan dilihat dari empat kuadran. Yaitu, pegawai produktif dan punya kompetensi, pegawai kuadran ini akan menjadi prioritas untuk dipertahankan. Kemudian, tidak produktif tapi punya kompetensi. Lalu, produktif tapi tidak kompeten. Dan terakhir, tidak produktif dan tidak kompeten.
"Nah, yang kita sisir rasionalisasi itu yaitu, sudah tidak produktif, tidak punya kompetensi," ujarnya.
Tak hanya rasionalisasi pegawai, Yuddy menambahkan, di awal pemerintahan, pemerintah juga telah merampingkan 10 lembaga non struktural pemerintahan. Dalam waktu dekat, pemerintah akan kembali merampingkan 10 lembaga non struktural.
"Setelah nanti Presiden mengeluarkan Perpres atau Keppres-nya tentang Penghapusan Lembaga non struktural yang sudah selesai dikoordinasi dengan Kemenkopolhukam. Kita juga sudah mengevaluasi 78 lembaga non struktural yang dibentuk oleh undang-undang. Jadi, sampai dengan tahun 2019, lembaga-lembaga pemerintah akan kita efisienkan," ungkapnya.
Merespons apa yang disampaikan oleh Yuddy itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa tidak ada istilah rasionalisasi dengan memberhentikan satu juta PNS. Menurutnya, pengurangan PNS hanya melalui masa pensiun.
"Itu sebenarnya, sama sekali tidak ada keputusan soal itu," kata JK di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat, 3 Juni 2016.
JK mengatakan, jumlah itu hanya sekadar hitung-hitungan dari Kemenpan RB dalam rangka efisiensi dan reformasi birokrasi. Dia mengungkapkan, setidaknya ada dua mekanisme yang biasa digunakan dalam hal regenerasi PNS.
Pertama zero growth. Dengan cara ini, misalnya pensiunan PNS 100 orang, maka akan digantikan 100 orang pula. Kedua adalah negative growth. Dengan mekanisme ini, maka jumlah pensiun 100 orang bisa digantikan 50 orang saja.
"Ini kan moratorium sampai 2019. Sama sekali tidak tambah. Itu berarti ada pengurangan di situ, kira-kira 400 ribu (jumlah PNS), nanti karena pensiun dan tidak ditambah. Itulah terjadi 400 ribu," kata Kalla.
Efektivitas itu dilakukan tidak terlepas dari adanya perkembangan teknologi. Dahulu, penerimaan PNS masih membuka lowongan untuk bagian arsip, foto kopi, hingga operator telepon. Namun, kini posisi tersebut sudah tidak dibutuhkan lagi.
Dengan teknologi, tugas itu bisa dilakukan oleh PNS lainnya tanpa harus ada spesialisasi tertentu. Â
Selain itu, pengurangan perekrutan jumlah calon PNS dilakukan karena masih banyak daerah yang anggarannya hingga 80 persen dihabiskan untuk membiayai gaji pegawai. Akibatnya, porsi dana untuk pembangunan sangat minim.
"Jadi, kami tidak PHK kan. Pegawai negeri tidak ada istilah PHK (pemutusan hubungan kerja), tidak ada. Hanya pensiun alamiah saja. Kenapa itu angka delapan tahun itu, delapan tahun berarti kira-kira 500 ribu bedanya nanti. Tetapi, tidak merusak apa-apa," kata JK.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung bahkan mengungkapkan bahwa Presiden Joko Wododo belum pernah mendapat laporan mengenai rencana pengurangan PNS tersebut. Oleh karena itu, Istana menganggap bahwa masalah itu masih dalam tahap gagasan, ide, wacana, yang berkembang di Kementerian PAN-RB. "Secara resmi belum pernah ada usulan mengenai hal tersebut," kata Pramono.
Karena angka PNS yang akan dipangkas itu juga sangat besar, Pramono menilai persoalan itu pasti akan diputuskan oleh Jokowi.
"Kalau memang ada usulan itu, dan pasti rataskan. Ratas (rapat terbatas) saja belum pernah untuk membahas itu," tutur dia.
Potensi Pengangguran
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Ade Komarudin mengingatkan Menpan RB Yuddy Chrisnandi untuk berhati-hati dengan rencana rasionalisasi PNS di seluruh Indonesia. Ade meminta Yuddy tidak gegabah.
"Kami menyetujui semua langkah efisiensi negara, tapi kita juga tidak boleh menabrak rambu-rambu kemanusiaan," kata Ade di Gedung DPR Jakarta, Jumat, 3 Juni 2016.
Menurut politikus Partai Golkar ini, jika pun pemerintah tetap akan melakukan rasionalisasi dengan memotong jumlah PNS. Maka kebijakan itu haruslah disertai dengan penyiapan solusi yang jelas.
"Begitu dirasionalisasi mereka menjadi pengangguran. Jangan sampai seperti itu. Kita harus lakukan langkah-langkah yang solutif," ujarnya.
Senada dengan Ade, Wakil ketua DPR Fadli Zon mengatakan bahwa pemangkasan itu suatu hal yang tidak boleh terjadi. Alasannya, kondisi tidak menjadi suatu alasan untuk efisiensi.
"Bahwa pemerintah memerlukan efisiensi, tapi di sisi lain kita lihat jumlah PNS jika dikurangi berarti akan mengurangi peluang atau kesempatan kerja yang lebih cukup besar," ujarnya di Senayan, Kamis, 19 Mei 2016.
Ia menilai, jika dilakukan pemangkasan hal ini tidak hanya PNS saja, tapi juga menyangkut keluarganya. Terlebih lagi menurut Fadli belum jelas komitmen pemerintah.
"Pemerintah harus komit, apakah yang honorer diangkat ataukah sama sekali tidak. Sesuai dengan apa yang menjadi komitmen bahwa yang akan terjadi pengangkatan terhadap honorer," ujarnya.
Ia menyarankan, sebaiknya mereka yang sudah dijadikan K2 (tenaga honorer kategori dua) itu diseleksi dan kemudian bisa diangkat. Agar persoalan selesai untuk tahap sekarang.
"Nanti akan datang yang tidak pernah terulang lagi, karena merupakan suatu beban yang dibawa termasuk janji yang pernah disampaikan juga akan mengangkat honorer-honorer ini," katanya.
Tak berbeda dengan dua koleganya di atas, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto meminta pemerintah berpikir ulang soal keinginan pemecatan satu juta PNS.
"Harus dipikir matang. Ini harus betul-betul dikaji secara matang mana yang bisa dilepas. Kalau yang sudah jadi PNS diberi karir yang baik. Barangkali ditingkatkan bebannya, kalau untuk dikurangi harus berpikir," kata Agus di Gedung DPR, Jakarta, Kamis 2 Juni 2016.
Menurut Agus, rencana pemerintah memberhentikan satu juta PNS dapat menimbulkan permasalahan lainnya terutama mengenai kesejahteraan keluarga dari setiap PNS. Selain itu, juga akan berdampak terhadap good governance yang tidak dapat terwujud.
"Bagaimana juga perlindungan HAM-nya. Bagaimana masalah good governance-nya," ujar Agus.
Ia menyarankan, untuk mengelola PNS sebaiknya ketika dalam tahap perekrutan harus sesuai dengan kebutuhan sehingga tidak over dalam penerimaan.
"Masalah kebutuhan juga perlu diperhatikan. Rekrutmen tidak boleh over. Tapi jangan semena-mena ini dibuang," ujarnya.
Sedangkan, anggota Komisi II DPR, Muchtar Luthfi A. Mutty, menilai rencana kebijakan pemerintah yang akan merumahkan satu juta pegawai negeri sipil pada awal 2017, berpotensi menimbulkan masalah baru.
Menurutnya, angka tersebut tidak sedikit dan dapat menimbulkan pengangguran dan menambah angka kemiskinan.
"Marilah menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Tidak bisa eksekutif sepihak, ini harus dibicarakan dengan legislatif," kata Muchtar di Senayan, Jumat 3 Juni 2016.
Politikus Partai Nasdem itu menganggap, kebijakan tersebut akan menemui hambatan dalam pembahasan di DPR. Meski merupakan bagian dari efisiensi birokrasi, namun angka satu juta dinilai terlalu besar.
Untuk itu, dia berpendapat agar pemerintah berhati-hati dalam mekanisme pemangkasan jumlah PNS tersebut. Perlu dipikirkan kompensasinya seperti pemberian pensiun dan lowongan kerja baru.
"Saya kira ini harus dilakukan secara hati-hati, melalui mekanisme pensiun misalnya. Dorong swasta untuk memunculkan inventasi sehingga dunia usaha bergairah untuk menyerap lapangan kerja," katanya.
Sementara, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Al Muzammil Yusuf mengatakan, komisinya akan merapatkan rencana kebijakan dengan menteri terkait soal pemangkasan PNS. Komisi II akan mengkaji dan mendengarkan alasan pemerintah merencanakan kebijakan ini.
"Kami akan kaji secara lengkap persoalan PNS, dan honorer. Berapa sesungguhnya kekuatan pemerintah menanggung mereka. Kalau mereka dirumahkan apa kompensasinya bagi mereka," ujar Al Muzammil di Senayan, Jumat, 3 Juni 2016.
Selanjutnya... PNS Resah
Bikin Resah PNS
Sejumlah anggota DPR yang lain pun ramai-ramai mengkritik Yuddy. Misalnya saja anggota Komisi II DPR, Arteria Dahlan. Ia mempertanyakan kebijakan Yuddy, yang berencana memangkas besar-besaran jumlah PNS.
"Untuk kesekian kalinya saya menghormati pernyataan Menpan RB terkait rencana pemangkasan PNS. Apa ini serius? Apa kebijakan ini diambil dengan penuh pertimbangan matang? Apa pernyataan ini tidak akan ditarik kembali?" ujar Arteria, Jumat, 3 Juni 2016.
Politikus PDIP itu mengingatkan agar Yuddy berhitung secara cermat tentang pengangkatan honorer untuk menjadi PNS yang hingga kini belum selesai, sebelum membuat isu baru pengurangan PNS dengan alasan efisiensi. "Isu tersebut meresahkan. Tanpa konsultasi dengan Komisi II pula," katanya.
Dia menyarankan Yuddy memperjelas nasib tenaga honorer agar segera diangkat sebagai PNS sesuai janjinya. Kebijakan itu akan lebih baik daripada mewacanakan pengurangan PNS yang justru meresahkan.
Arteria mengaku khawatir jika kebijakan itu diterapkan akan menimbulkan disharmoni dalam birokrasi dan menjadikan iklim bekerja tidak sehat dan memengaruhi pencapaian kinerja.
"Ironi, kementerian yang ditugaskan men-trigger (memacu) kinerja aparatur, justru menjadi penghambat birokrasi sehat. Jadi, jangan bikin ruwet, masalah mafia dan percaloan PNS saja belum clear (beres)."
Anggota Komisi II DPR, Hetifah Sjaifudian, juga melontarkan kritik. Ia melihat rencana rasionalisasi PNS itu telah membuat keresahan dan kegaduhan. Menurutnya, program itu tidak sesuai dengan kondisi saat ini.
"Saat ini ekonomi lesu, kementerian jangan bikin gaduh," kata Hetifah saat dihubungi, Senin, 6 Juni 2016.
Politikus Partai Golkar itu juga melihat program rasionalisasi Menteri Yuddy yang akan memangkas PNS hingga 1 juta orang belum matang. Dia mengingatkan sebelum menyebar wacana, sebaiknya Kemenpan RB membuat dulu kajian personel yang menyeluruh dan berkenaan jumlah, rasio, sebaran, kualifikasi, kinerja dan bagaimana peta jalannya ke kebijakan itu.
"Jangan sampai kebijakan baru justru mengganggu kinerja Aparatur Negara yang sekarang ada," ujar Hetifah.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR itu meminta Yuddy dan jajaran kementeriannya berhati-hati dan menjaga ucapan yang justru bisa membuat keresahan dan kegaduhan, terutama mengenai rasionalisasi PNS. Karena, tegas dia, persoalan itu sangatlah sensitif.
Sedikit berbeda, Ketua Komisi II DPR, Rambe Kamarulzaman, mengatakan rasionalisasi PNS bukan sekadar wacana. Namun hal tersebut adalah kebijakan resmi pemerintah yang tak mustahil didukung DPR, asal dilakukan dengan mekanisme yang jelas.
"Jadi tahapannya gimana? Katakan mulai 2017 sebanyak 300 ribu lebih (PNS) tapi orang bertanya kapan kami (PNS) kena. Harus ada aturan. Kalau pensiun dipercepat bagaimana jalan keluarnya. Satu juta banyak loh," kata Rambe di Jakarta, Senin, 6 Juni 2016.
Dia menilai wacana rasionalisasi PNS atau pengurangan jumlah ASN adalah rencana yang baik karena memang anggaran negara sebagian besar dialokasikan untuk penggajian pegawai. Sedangkan imbasnya, dana untuk pembangunan khususnya di daerah menjadi relatif minim.
"Kalau sudah 72 persen (anggaran pegawai), 28 persen untuk apalagi digunakan, pembangunan, apa yang (bisa) dibangun. Jadi persoalannya kebijakan ini harus dievaluasi, idealnya PNS dari jumlah penduduk adalah 3,5 juta. Kenapa bisa sampai 4,5 juta lebih diterima sebagai PNS,"Â kata Politikus Golkar ini.
Dia mengatakan, selayaknya pemerintah membuat pemetaan soal PNS sehingga bisa menempatkannya dengan tepat. Kategori pertama, PNS produktif dan kompeten di bidangnya, kategori kedua, PNS yang produktif namun tidak kompeten. Kategori ketiga, PNS tidak produktif tapi kompeten dan keempat, PNS tidak produktif dan tidak kompeten.
"Dia sudah tidak produktif, juga tidak kompeten. Jadi dipetakan posisi empat kuadran ini. Apa lebih banyak di daerah atau di badan otonom. Setelah dipetakan semua baru diambil tahapannya. Ini rasionalisasi mau 1 juta kan dan tidak ada istilah PHK (pemutusan hubungan kerja)," kata Rambe.
Panggil Yuddy
Anggota Komisi II DPR , Fandi Utomo, menyatakan bahwa pemangkasan 1 juta PNS itu tidak diatur dalam Undang-Undang ASN. Oleh karena itu, ia mempertanyakan nasib para PNS itu setelah dipecat.
"Jadi bagaimana Pak Yuddy menganggarkan uang pesangonnya," kata Fandi di Gedung DPR, Jakarta, Jumat, 3 Juni 2016.
Politikus Partai Demokrat ini menjelaskan Undang-Undang ASN hanya mengatur pensiun dan pemecatan PNS yang bermasalah saja. Sehingga tidak ada dasar untuk melakukan pemangkasan besar-besaran.
"Kemudian kalau konteksnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masal itu nyalahin undang-undang. Kalau tidak diatur dalam undang-undang apakah bisa pemangkasan dilakukan," tanyanya.
Selama ini menurut Fandi, sebagai mitra kerja Komisi II, Yuddy belum pernah menyampaikan hal ini dalam berbagai rapat dan pertemuan. Fandi mengingatkannya agar tidak membuat wacana yang bisa menimbulkan kegaduhan.
"Jangan berwacana terhadap sesuatu, karena ini tentu saja meresahkan para PNS di daerah," tegasnya.
Untuk mengklarifikasi wacana itu lebih lanjut mengenai polemik tersebut, Komisi II DPR berencana memanggil menteri yang juga politikus Hanura itu.
"Pak Yuddy harus mempertimbangkan wacana ini dengan baik. Perlu dikaji secara komperhensif baik dari sisi hukumnya, undang-undangnya serta bagaimana implementasinya di lapangan," tutur Fandi.