Waspada 'Milisi Nelayan' China

Kekuatan militer China.
Sumber :
  • blogs.reuters.com

VIVA.co.id – China makin jemawa. Setelah insiden kapal nelayannya menerobos kedaulatan Indonesia di Laut Natuna, Malaysia dan Filipina pun mengalami hal demikian.

Taktik Agresif Tiongkok di Perbatasan: Ancam Stabilitas Regional Demi Keuntungan Teritorial

Alih-alih tak sengaja memasuki "rumah orang" lalu menyingkir, toh, China seperti tidak kapok mengulangi kesalahan serupa. Tak pelak, ketiga negara ASEAN ini dibuat jengkel dengan tingkah laku negeri berpenduduk terbesar di dunia itu.

Pada Maret lalu, Negara Bagian Sarawak, Malaysia, kapal patroli negeri itu memergoki aktivitas ilegal kapal nelayan China di sekitar South Luconia Shoals, wilayah Miri, kota kaya akan minyak.

Filipina Bersiap Hadapi Konflik Bersenjata di Tengah Meningkatnya Agresi Tiongkok

Ketika patroli Malaysia tengah mengejar kapal nelayan, tiba-tiba mereka dikejutkan kemunculan kapal penjaga pantai China yang memang tengah berjaga.

Berdasarkan laporan Badan Penegakkan Maritim Malaysia (Malaysian Maritime Enforcement Agency/MMEA), sekitar 100 kapal nelayan China kerap beroperasi di wilayah tak jauh dari insiden.

Ini Cara Pemerintah Perkuat Pertahanan Laut Natuna Utara dari Ancaman Militer Asing

Baca:

Begitu pula dengan Filipina, di mana terjadi perebutan pulau kecil dengan China, yakni Pulau Taiping/Aba di kawasan Scarborough Shoal.

Protes? Pastinya. Namun, ketiga negara ini memiliki strategi yang berbeda dalam menghadapi China. Indonesia langsung menerapkan kebijakan tegas di lapangan. Tabrak dan tangkap atau tembak di tempat.

Malaysia memanggil Duta Besar China dan menyatakan keprihatinan mereka atas pelanggaran wilayah. Sementara Filipina langsung melapor ke Pengadilan Arbitrase di Den Haag, Belanda.

Meski ada suara-suara agar segera mengambil tindakan tegas, yakni perang terbuka, namun ketiga negara masih "bersabar" dan yakin menemukan jalan tengah dalam menyelesaikan sengketa wilayah.

Status quo

Kala dihubungi VIVA.co.id, Peneliti Habibie Center, Muhammad Arif menyatakan, adalah sebuah kerugian besar apabila terjadi konflik terbuka antara China dengan negara-negara yang berselisih dengannya akibat klaim wilayah.

"Bicara pelanggaran kedaulatan, tidak pernah selesai dalam waktu singkat. Kalau pun pecah perang, yang rugi tidak hanya tiga negara ini, tapi China juga. Terlebih secara ekonomi," katanya, Jumat, 3 Juni 2016, malam.

Selain itu, Arif melanjutkan, selama ini China memandang hanya "berselisih paham" dengan Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam dan Indonesia (khusus masalah Natuna) saja. Tidak dengan seluruh negara ASEAN.

Dengan demikian, langkah menyelesaikan di tingkat internasional pun ditolak negeri Tirai Bambu tersebut, dan keukeh menginginkan penyelesaian di tingkat bilateral saja.

Sikap sepihak China ini membuat Amerika Serikat gerah dan turun tangan. Alhasil, ketegangan pun merambah ke hubungan bilateral kedua negara.

Meski saling mengirim persenjataan di Laut China Selatan, Arif tetap meyakini kalau perang terbuka takkan terjadi. "AS, China, dan negara ASEAN tetap menjaga status quo," tuturnya.

Oleh karena itu, di tengah sengkarut sengketa wilayah, Arif mendorong pemerintah Indonesia agar memainkan perannya untuk menciptakan pemahaman bersama, baik dengan China maupun sesama ASEAN.

"Semua pihak harus duduk bersama dan memiliki beritikad baik. Saya berharap Indonesia bisa berkontribusi bagi penyelesaian masalah ini," ungkap Arif. Ia juga menambahkan, khusus Indonesia, perlu dibentuknya kerja sama patroli bersama dengan China di Laut Natuna.

"Saya menyarankan adanya kerja sama antara Bakamla dengan Pasukan Penjaga Pantai China, termasuk di dalamnya mengawasi aktivitas ekonomi kapal-kapal yang melewati perbatasan kedua negara," kata dia, menambahkan.

Baca juga:

Malaysia mengeluh, Filipina tak ambil pusing

Pada kesempatan terpisah, seorang menteri senior Malaysia mengeluhkan sikap China dan mendesak pemerintah Malaysia harus mengambil tindakan yang lebih tegas pada serangan maritim atau risiko yang diambil untuk diberikan.

Menteri, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena sensitivitas masalah ini, menyoroti kontras antara respon Malaysia pada bulan Maret untuk kejadian serupa beberapa hari sebelumnya di negara tetangga Indonesia.

"Ketika China memasuki perairan Indonesia, mereka segera dikejar keluar. Ketika kapal China memasuki perairan kita, tidak ada yang dilakukan," katanya, seperti dikutip kantor berita Reuters.

Sedangkan, Filipina sendiri seperti tak mau ambil pusing. Presiden FIlipina terpilih, Rodrigo Duterte, mengatakan dirinya tidak akan menyerahkan hak-hak negara atas Scarborough Shoal. Scarborough Shoal adalah kepulauan kecil yang terletak di Laut China Selatan yang diklaim Filipina dan China.

Sejak 2012, kepulauan ini "disita" negeri Tirai Bambu. "Tidak akan pernah ada sebuah contoh kita akan menyerahkan hak kami atas Scarborough Shoal," kata Duterte, usai mengadakan pembicaraan dengan Duta Besar China untuk Filipina, Zhang Jianhua, seperti dilansir Reuters.

Hal itu, Duterte mengatakan, bukan masalah teritorial melainkan masalah tentang halangan atau hambatan karena aktivitas konstruksi di sana. "Kita tidak bisa melaksanakan hak secara bebas berdasarkan UNCLOS zona ekonomi eksklusif sepanjang 200 mil untuk kami," kata dia.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya