Menanti Janji Jokowi Turunkan Harga Bahan Pangan
- Zulfikar Husein/VIVAnews
VIVA.co.id – Fenomena musiman bahwa harga bahan-bahan pangan, terutama daging, selalu naik menjelang bulan suci Ramadan terulang lagi tahun ini. Bahkan, berdasarkan data resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang tertera di laman infopangan, harga daging sapi di Kelapa Gading akhir pekan lalu .
Tingginya harga ini membuat para konsumen dan pedagang resah. Alfan (37) salah satu pedagang di Pasar SS Klender, Jakarta Timur, mengatakan harga tersebut sudah bertahan selama empat bulan, dari yang sebelumnya Rp90 ribu per kg.
"Konsumen pada komplain, pada ngeluh harganya kemahalan," kata Alfan, ditemui di Pasar Klender, Jakarta.
Akibat harga yang cukup tinggi itu, dia melanjutkan, penjualan pun menjadi berkurang. "Biasanya bisa habis 50 kg, sekarang jadi 30 kg," kata dia.
Hal ini pun menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Di sela-sela membuka Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan (KNIB) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta beberapa waktu silam, Presiden memerintahkan menteri yang bersangkutan untuk menurunkan harga daging sapi di bawah Rp80 ribu per kg.
"Saya tidak tahu bagaimana caranya, namun harga daging sapi di bawah Rp80 ribu saat puasa dan Lebaran," kata Presiden.
Mantan gubernur DKI itu menjelaskan, harga daging sapi di Singapura hanya Rp50 ribu per kg dan seharusnya di Indonesia juga bisa.
"Ya kalau tidak bisa Rp50 ribu per kg, ya di bawah Rp80 ribu per kgnya," tegasnya.
Dalam rapat kabinet terbatas, Jokowi juga menginstruksikan jajarannya, agar memastikan stabilitas harga dapat dijaga dengan baik.
Daging, komoditas yang paling laris diburu masyarakat saat Lebaran, ditegaskan tidak boleh mahal.
"Saya ingin, terutama tahun ini masalah daging sapi jangan sampai (harga seperti) di tahun lalu, atau harga seperti saat ini. Saya ingin harga itu betul-betul, paling tidak kurang dan lebih di angka Rp87 ribu per kg," jelas Jokowi, dalam pidato pembukaan ratas, di Kantor Presiden, Jakarta.
Impor daging
Memastikan instruksi Jokowi itu terwujud, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, mengungkapkan pemerintah tetap akan melakukan impor daging.
"Sebenarnya itu impornya kalau daging tidak dibatasi. Artinya, ada namanya CL, ada namanya secondary cut itu boleh. Kami (pemerintah) cuma menugaskan Bulog (Badan Pusat Logistik) apa BUMN (Badan Usaha Milik Negara) Berdikari melakukan impor untuk CL supaya ya bisa menurunkan harga, ya Rp80-85," jelas Darmin, di Istana Negara, Jakarta.
Selain Berdikari, kata Darmin, bisa juga nantinya yang ditugaskan adalah BUMN, yakni Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
Hingga saat ini, diakuinya harga daging masih tinggi. Yakni, mencapai Rp113 ribu per kg. Sehingga, impor daging dinilai tepat untuk menekan harga.
"10 ribu ton (kuota impor). Mestinya masuk sebelum puasa. Daging sebenarnya kalau namanya CL itu daging macam-macam, orang mau bikin rendang, rawon, ya itu dia dagingnya," katanya.
Impor daging dilakukan dari sejumlah negara, seperti Australia dan negara produsen lainnya. Sementara itu, untuk komoditas lainnya, Darmin mengaku masih relatif terkendali, karena pasokan dalam negeri tersedia.
DPR panggil Mentan
Harga daging yang terus merangkak naik, membuat Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Daniel Johan, penasaran. Sebab, Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, menjelaskan stok daging saat ini aman.
"Sesuai penjelasan Menteri Pertanian aman, makanya harus segera dicek," kata Daniel, saat dihubungi.
Perbedaan antara laporan menteri dan kondisi di lapangan ini, membuat Komisi IV memutuskan untuk mengklarifikasi langsung masalah ini, dengan memanggil Menteri Amran.
Politisi PKB ini meminta pemerintah segera memastikan jumlah stok yang ada dan mendistribusikannya segera ke pasar. "Lalu hitung mundur, kalau kurang segera oper pasar," katanya.
Hal ini penting untuk menjaga stabilitas harga, karena kenaikan harga daging akan berdampak pada masyarakat dan banyak sektor lainnya.
Harga diklaim tak bisa turun
Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI), Asnawi, mengatakan bahwa bisa saja harga daging sesuai dengan instruksi Jokowi, kalau daging yang diimpor bukan dari Australia, misalnya seperti dari India.
Namun, untuk daging dari Australia, diyakininya pedagang masih sulit untuk merealisasikan hal tersebut.
"Kalau harga beli saja misalnya, daging dari Australia itu sekitar Rp75-85 ribu untuk impor daging frozen (beku), nah sekarang supermarket juga pasti kena pajak. Jadi, kalau di bawah Rp80 ribu logikanya tidak mungkin, itu baru yang frozen loh ya," kata Asnawi, saat dihubungi VIVA.co.id.
Dia menjelaskan, daging yang diimpor tersebut ada dua macam. Pertama, ada daging beku yang sudah dipotong dan ada sapi potong yang nantinya dipotong di dalam negeri yang disebutkan fresh (daging segar).
"Frozen itu orientasinya bukan di pasar tradisional, tetapi supermarket. Kalau daging fresh, adanya di pasar tradisional," kata dia.
Dia mengatakan, jika pemerintah ingin menekan harga daging, harus melakukan impor dari negara lain, seperti India.
"Kalau sumber dari India, harga beli di India, ada yang Rp45 ribu per kg, ada yang Rp50 ribu per kg. Kalau pemerintah instruksikan yang di bawah Rp80 ribu, mungkin bisa beli dari India," kata dia.
Pada praktiknya untuk daerah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, impor daging sapi justru dipasok dari Australia. Meski demikian, ia mengakui, harga daging sapi masih berbeda-beda di tiap wilayah, dia memprediksi kenaikan harga daging sapi bisa mencapai kisaran Rp120 ribu per kg menjelang Ramadan.
"Kalau untuk yang diimpor dari India, sangat mungkin Rp80 ribu kg. Nah, kalau itu yang menjadi penekanan dari Presiden sangat mungkin," kata dia.
Data tidak terintegrasi
Sementara itu, Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Enny Hartati, mengatakan naiknya harga daging sapi di pasaran, dikarenakan data konsensi sapi peternak rakyat tidak valid dan terintegrasi.
Sementara pemerintah, saat ini sudah gencar untuk tidak mengimpor dari luar.
Enny menjelaskan, data konsensi sapi peternak rakyat yang masuk ke pasar dan data konsensi sapi ke developer hitungannya tidak sesuai.
Termasuk juga hitungan konsumsi perkapita, dan permintaan. Salah satu data saja, kata dia, sudah menimbulkan konsensi harga dan akan berpotensi menumbuhkan kenaikan harga yang 'menggila'.
"Daging sapi itu antara permintaan berapa dan suplai berapa. Skema seperti itu harus didukung oleh data yang benar-benar valid. Persoalannya sekarang, data dari tiga-tiganya tidak ada yang sinkron. Data konsumsi itu beda semua antara Kemendag, BPS dan pertanian," kata Enny, saat dihubungi VIVA.co.id, Minggu, 29 Mei 2016.
Kata Enny, data populasi sapi mungkin sudah betul. Namun, beberapa data yang datang dari peternak rakyat tidak terverifikasi. Sehingga muncul data seperti itu, di mana memberikan ruang bermainnya para spekulan.
"Nah yang menguasai data yang bener itu fiktif. Yang menguasai data itu yang akhirnya bisa berspekulasi, termasuk juga kebijakan impor," kata dia.
Enny mengungkapkan, persoalan mendasar seperti ini tidak terjadi pada menjelang hari raya besar saja. Bahkan, gejolak harga di dalam negeri merata di semua daerah.
"Hari ini kasus itu hampir semua daerah semua mengalami naiknya harga daging, di atas Rp120 ribu, sekali pun mereka punya sentral-sentral peternakan sapi," ujar dia.
Artinya, kata Enny, data harga daging tidak terintegrasi, dan jauh berseberangan dengan pasar internasional. "Pasar internasional itu enggak ada harga daging per kilogramnya, itu di atas Rp65 ribu. Paling mahal Rp60 ribu itu sudah daging bagus kan. Bagaimana mungkin terjadi di saat harga lebih dari dua kali lipat. Ini kan satu kebijakan yang enggak benar," kata dia.
Enny mengungkapkan, saat ini terdapat satu kebijakan yang seolah-olah untuk melindungi kedaulatan daging dalam negeri untuk membatasi impor, tapi justru mengakibatkan gejolak harga daging yang tinggi.
"Mudah memecahkan begini, dengan kondisi seperti ini siapa yang diuntungkan? Mulai dari kajiannya itu saja. Siapa yang diuntungkan, siapa yang terkait kebijakan itu, akan lebih mudah menelusurinya," lanjut dia.
(ren)