Empat WNI Tawanan Abu Sayyaf Berhasil Dibebaskan
- Tim Komunikasi Presiden
VIVA.co.id – Kabar gembira datang dari Istana Negara, Jakarta, sore kemarin. Presiden Joko Widodo memastikan empat anak buah kapal warga negara Indonesia yang disekap gerilyawan Abu Sayyaf berhasil dibebaskan, Rabu 11 Mei 2016, siang waktu Filipina.
"Alhamdulilah. Puji syukur pada Allah SWT akhirnya empat ABK WNI yang disandera kelompok bersenjata sejak tanggal 15 April sudah dapat dibebaskan," kata Jokowi.
Presiden menjelaskan, pembebasan empat sandera itu atas kerja sama dengan pemerintah Filipina. Kini, keempatnya sudah aman dan segera diserahterimakan ke pemerintah Indonesia.
Nama keempat WNI yang merupakan awak dari kapal tunda Hendry ini adalah Moch. Ariyanto Misnan, Lorens MPS, Dede Irfan Hilmi dan Samsir. Meski begitu, Presiden belum memastikan akankah menjemput langsung para korban sandera, saat mereka tiba di Tanah Air atau tidak.
"Besok (hari ini) kita lihat. Sebab, semuanya masih dalam proses," kata Jokowi. Menurut situs Inquirer, keempat sandera ditebus dengan harga 50 juta peso atau sekitar Rp14,1 miliar.
Mereka diturunkan di luar rumah Gubernur Sulu, Abdusakur Tan II pukul 15.00 waktu setempat. Para korban kemudian dibawa ke Rumah Sakit Teodulfo Bautista Station di Jolo untuk pemeriksaan kesehatan.
Sejumlah sumber mengungkap, Kepala Urusan Politik Moro National Liberation Front (MNLF), Samsula Adju, melakukan negosiasi untuk membebaskan sandera.
Baca:
Kendati demikian, apa langkah selanjutnya agar insiden serupa tidak terulang kembali?
Pakar kontraterorisme internasional, Rakyan Adibrata, mengatakan langkah yang harus ditempuh pemerintah Indonesia adalah menekan Filipina agar komitmen dan beritikad baik untuk menjaga wilayah perairannya.
Apa sebab, karena hal ini berhubungan dengan situasi geopolitik negara itu. "Salah satu perjanjian di Yogyakarta kemarin itu menggelar patroli bersama tiga negara. Dengan Malaysia kita tidak masalah. Saya justru menitikberatkan pada komitmen dan itikad," ujar Rakyan kepada VIVA.co.id, Rabu, 11 Mei 2016.
Kepentingan di Laut China Selatan
Ia melihat Filipina dihadapkan pada dua peristiwa. Pemilihan Umum Presiden dan Kongres serta sengketa wilayah dengan China di Laut China Selatan. Menurut Rakyan, soal pilpres lebih ke masalah politik dalam negeri mereka. Namun, lanjut dia, Indonesia harus mengamati sikap Filipina terhadap penyelesaian sengketa teritorialnya.
Seperti diketahui, ketergantungan Filipina dengan Amerika Serikat sangat besar. Mengingat, faktor sejarah dahulu di mana AS menempatkan personel dan persenjataannya di Pangkalan Militer Clark and Subic.
"Filipina sangat butuh keberadaan AS. Apalagi sekarang ada masalah dengan China. Ini jelas mengganggu kerja sama patroli bersama tiga negara," tuturnya. Ia pun mendorong agar patroli bersama harus dilakukan tiga negara, dan tidak melibatkan kekuatan negara lain di luar ASEAN.
Terlebih, ungkap Rakyan, wilayah perairan yang rawan pembajakan dan penyanderaan berada di sekitar Laut Sulawesi dan Kalimantan, di mana kedua provinsi ini sangat dekat dengan Filipina Selatan, lokasi kelompok bersenjata Abu Sayyaf berada.
"Kita selalu ingin menjaga hubungan baik dengan siapa pun. Untuk kasus sandera WNI kemarin kita bahkan menggunakan jasa pihak ketiga. Artinya, memakai jalur tidak resmi dengan cara santun karena semata-mata menghormati Filipina. Mereka juga harus demikian dengan kita dengan cara komitmen tadi," kata Rakyan, menegaskan.
Baca juga:
Terkait dengan Presiden Filipina terpilih, Rodrigo "Rody" Duterte, Rakyan belum mau berkomentar banyak. Namun, lagi-lagi. ia menginginkan supaya pemerintah yang baru ini tetap berkomitmen dalam menjaga kawasan perairan masing-masing negara yang saling berbatasan.
Seperti diketahui, pentingnya kawasan Laut Sulu di Filipina dan Laut Sulawesi di Indonesia sebagai alur perairan ekonomi yang strategis belum banyak disadari. Lebih 55 juta metrik ton barang dan lebih 18 juta orang melintasi perairan itu per tahun.
Pertemuan Menteri Luar Negeri dan Panglima Angkatan Bersenjata antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina di Istana Kepresidenan Yogyakarta, Kamis 5 Mei 2016, memang menelurkan empat kesepakatan.
Pertama, ketiga negara berkomitmen bekerjasama untuk berpatroli bersama menjaga perairan dari tindak kejahatan, misalnya, perompakan, atau pun penyelundupan.
Kedua, pembahasan tentang respons, atau reaksi Indonesia, Malaysia, dan Filipina, jika terjadi tindakan kejahatan di perairan masing-masing.
Ketiga, pertemuan itu membicarakan mengenai tukar-menukar informasi secara cepat, khususnya intelijen. Keempat, membahas standar operasional prosedur (SOP) adalah hal keempat yang akan dibahas masing-masing menteri luar negeri dan panglima militer.