Pemerintah Cabut Sanksi Bagi PSSI, Apa Dampaknya?
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
VIVA.co.id – Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi resmi mencabut Surat Keputusan Nomor 01307 terkait pemberian sanksi administratif kepada PSSI yang diterbitkan pada 18 April 2015 lalu. Keputusan ini diambilnya dengan pertimbangan PSSI dan anggota-anggotanya memberikan sinyal positif terkait pembenahan internal.
Satu pekan sebelum Imam memutuskan mencabut sanksi, dalam internal PSSI muncul polemik. Kelompok 85 yang diisi sebagian besar anggota dan pemilik suara dalam pemilihan Ketua Umum mendatangi kantor PSSI di Gelora Bung Karno, Senayan, untuk menyampaikan aspirasi.
Dipimpin oleh Manajer Persib Bandung, Umuh Muchtar, Kelompok 85 membawa mandat berupa surat yang berisikan keinginan mereka agar jajaran pengurus PSSI periode 2015-2019 segera menggelar Kongres Luar Biasa. Mereka mengeluhkan, selama kepengurusan PSSI pimpinan La Nyalla Mattalitti berseteru dengan Menpora, sepakbola di Tanah Air mati suri.
Selain itu, ada satu hal lagi yang membuat Kelompok 85 khawatir dengan polemik antara PSSI dengan Menpora. Pada 13 Mei 2016, FIFA selaku otoritas tertinggi sepakbola dunia akan menggelar Kongres tahunan di Meksiko. Dalam agendanya, nanti akan dibahas soal kelanjutan sanksi kepada Indonesia yang mereka jatuhkan 2015 lalu.
Bukan perkara mudah untuk keluar dari sanksi yang dijatuhkan saat Kongres tahunan. Dalam aturannya, setiap sanksi yang jatuh dalam Kongres tahunan, baru bisa dicabut pada Kongres berikutnya. "Kalau bisa (KLB) sebelum kongres FIFA. Kita ingin secepatnya biar semua kegiatan sepakbola di Indonesia bisa jalan dengan resmi," tegas Umuh.
Menanggapi permintaan Kelompok 85, Sekretaris Jenderal PSSI, Azwan Karim tak mau percaya begitu saja. Dia menilai ada kejanggalan dari permintaan para pemegang suara PSSI tersebut. Meski dengan terbuka menerima surat pernyataan yang dibawa Kelompok 85, namun dia dengan tegas tak ingin begitu saja menyetujui adanya KLB.
PSSI kepengurusan La Nyalla Mattalitti akan lebih dulu melakukan verifikasi terhadap dokumen-dokumen yang mereka terima. Selain itu, proses wawancara langsung dengan mereka yang menanda tangani surat akan dilakukan secara mendalam.
"Kita menjalankan organisasi dengan buku ini (statuta), kalau sesuai ya akan kita lakukan. Tapi, buku ini menyatakan pembuatan buku ini harus bebas dan tidak dalam tekanan, dan alasannya pun harus jelas," tegas Azwan.
Proses rumit ini bagi sebagian kalangan dianggap sebagai jalan PSSI kepengurusan saat ini untuk menghalang-halangi aspirasi anggotanya. Tetapi, dengan tegas Komite Banding PSSI, Mahfudin Nigara memberikan bantahan. "Ini situasinya tak seperti biasa, untuk itu kita melakukan pengecekan secara ekstra," timpal Nigara.
"Tidak bermaksud menghalang-halangi, tetapi memang harus dilakukan seperti itu. Apalagi, sebelumnya sudah ada dari mereka pernyataan tidak mau KLB, nah itu akan kita kroscek juga. Itu salah satu di antaranya untuk melakukan penelusuran," imbuhnya.
Melihat proses verifikasi yang akan dilakukan oleh Azwan dan kawan-kawan, setidaknya butuh waktu sekitar 2-3 bulan untuk menyelesaikannya. Rentang waktu selama itu belum tentu pula akan mulus jalannya. Sebab, saat ini dalam internal PSSI pun muncul perasaan saling curiga. Dinamika dukungan antara Kelompok 85 dan PSSI juga berjalan cukup cepat.
Pusamania Borneo FC, klub yang kini bermain di ajang Torabika Soccer Championship salah satunya. Kemarin, melalui surat resmi, mereka menarik dukungan dari Kelompok 85. Manajemen klub berjuluk Pesut Etam tersebut berbalik arah mendukung legitimasi kepengurusan La Nyalla, hasil KLB PSSI di Surabaya.
Bagi mereka, meski status La Nyalla sebagai buronan negara karena terjebak kasus korupsi, bukan berarti PSSI harus ikut-ikutan dipaksa melakukan KLB. Dalam statuta PSSI Pasal 39 Ayat 6 yang menjadi rujukan mereka, disebutkan bila Ketua Umum PSSI berhalangan hadir, maka tugas organisasi dilaksanakan oleh Wakil Ketua Umum PSSI.
Dan selama ini, tidak aktifnya PSSI menurut manajemen Pusamania bukan karena keengganan pengurus pusat melakukan tugasnya. Mereka justru menyalahkan pemerintah, dalam hal ini Menpora yang sengaja membelenggu PSSI dengan tidak mengeluarkan izin di setiap kegiatan yang akan dilakukan.
Apakah KLB Jadi Solusi?
Niat pembenahan terhadap PSSI menjadi awal mula bencana sepakbola Tanah Air. Menpora menilai, PSSI dalam beberapa tahun belakangan terlalu digdaya, sehingga melupakan peranan pemerintah. Dugaan kasus pengaturan skor dalam setiap kompetisi yang ada juga masuk dalam pengamatannya.
Baru beberapa bulan menjadi orang nomor satu di gedung yang terletak di Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, Imam langsung membentuk Tim Sembilan. Tim tersebut dibuat guna melakukan evaluasi terhadap kinerja PSSI. Tak terima diawasi tanpa adanya komunikasi, PSSI yang ketika itu masih dipimpin oleh Djohar Arifin melawan.
Mereka tidak mengakui keberadaan Tim Sembilan, dan enggan mengakui hasil evaluasi yang disodorkan. Tak terima dengan pembangkangan tersebut, akhirnya tepat saat PSSI melakukan KLB, Menpora menebitkan SK Nomor 01307. Perang pun berlanjut. La Nyalla yang terpilih sebagai Ketua Umum melakukan perlawanan melalui jalur hukum mulai dari tingkat PTUN, PTTUN, hingga Mahkamah Agung.
Jalur hukum tak menyelesaikan persoalan. Sebab,Menpora tidak mau menerima begitu saja putusan tersebut. Mereka bergeming untuk mencabut sanksi kepada PSSI. Hingga akhirnya dicabut pun, dikarenakan adanya pertimbangan-pertimbangan lain, yakni permintaan KLB dari para pemegang suara.
Namun, apakah masalah akan selesai dengan adanya desakan mayoritas pemegang suara meminta KLB? Sebab, dalam prosedur digelar KLB tidak semudah yang dibayangkan. Terlebih masih ada sebagian anggota PSSI yang berpihak kepada kepengurusan La Nyalla.
Hal itu pula yang disadari oleh mantan anggota Komite Eksekutif PSSI periode 2015-2019, Gusti Randa. Pria yang baru saja mengundurkan diri karena sempat memunculkan wacana KLB itu membayangkan sulitnya mewujudkan keinginan Kelompok 85.
"Tidak ada (tekanan). Saya kira saya harus meminimalisasi kegaduhan itu (soal isu KLB), saya tidak mau masuk ke wilayah tertentu yang bisa membuat kegaduhan. Kemarin kan saya sudah katakan, KLB itu bukan hal yang haram. Tapi, untuk menjalankan KLB itu tidak mudah," kata Gusti.
Tuntutan Terhadap PSSI Baru
Andai KLB jadi digelar, dan kepengurusan PSSI baru terbentuk, pekerjaan berat menanti mereka. Setahun lebih tanpa aktivitas, kinerja organisasi banyak yang terhambat, terutama masalah pembinaan. Tim nasional Indonesia terakhir kali bisa mencicipi kejuaraan level internasional ialah di SEA Games Singapura 2015 lalu.
Bukan hanya penggemar yang sudah rindu menyaksikan pemain idola mereka bertanding di tingkat internasional. Pemain pun memiliki rasa kerinduan yang sama, salah satunya ialah gelandang Timnas U-23 di SEA Games Singapura 2015 lalu, Adam Alis Setyano.
"Pasti mau lihat timnas tampil lagi di pentas internasional. Sebagai pemain, kami punya semangat untuk berlaga di atas lapangan. Ada tujuan, yaitu masuk timnas. Saya juga berambisi untuk masuk timnas di Piala AFF nanti," ujar Adam.
Dari segi kinerja organisasi, PSSI baru nanti dipastikan akan mendapat pengawasan ketat dari publik. Kasus-kasus pengaturan skor, perkelahian, dan segala ketidak beresan dalam pengelolaan kompetisi harus segera dibasmi agar kepercayaan yang sebelumnya hilang kembali bisa didapatkan.
"Publik akan tetap menyoroti agar ke depan PSSI dapat lebih profesional, akuntabel dan berprestasi. Untuk mengejar ketertinggalan satu tahun terakhir, kami meminta PSSI segera menghidupkan kembali kompetisi nasional,” kata Ketua Komisi X DPR RI, Teuku Riefky Harsya.
Pekerjaan PSSI baru juga belum tuntas sampai sana. Menpora dalam mencabut sanksi kepada PSSI ternyata juga memiliki keinginan, yakni mengembalikan status keanggotaan tujuh klub yang oleh kepengurusan sebelumnya dihilangkan, yakni Arema Indonesia, Persibo Bojonegoro, Persebaya Surabaya, Persema Malang, Persewangi Banyuwangi, Lampung FC, dan Persipasi Kota Bekasi.
"Saya kira, permintaan ketujuh klub ini harus dipertimbangkan. Mereka punya hak dan itu perlu diperjuangkan di Kongres nanti," tutur pria asal Bangkalan, Madura tersebut.
Klub-klub di atas dicabut keanggotaannya oleh PSSI dengan berbagai alasan. Persema, Persibo, dan Arema Indonesia dianggap telah membangkang karena lebih memilih bermain di Liga Primer Indonesia pada 2010 lalu. Padahal, ketika itu PSSI memiliki kompetisi yang sah, yakni Liga Super Indonesia.
Dualisme kompetisi kemudian memunculkan dualisme kepengurusan klub yang berefek panjang. Persebaya pecah menjadi dua, Persebaya 1927 dan Persebaya Surabaya versi Divisi Utama. Lalu, Arema Cronus muncul, karena Arema Indonesia memilih berlaga di IPL. Persewangi dan Lampung FC juga mengalami dualisme.
Bukan hal yang mudah bagi PSSI baru untuk merealisasikan keinginan Menpora tersebut. Sebab, saat ini klub-klub dualisme masih eksis di kancah persepakbolaan Tanah Air. Tarik-menarik kepentingan dapat dipastikan masih akan terus berlanjut dan menjadi tugas berat yang akan merintangi kerja kepengurusan PSSI baru nanti.
(ren)