Aliansi Kejutan Blue Bird dan Gojek

Armada Taksi Blue Bird. Ilustrasi
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

VIVA.co.id – Perkembangan industri transportasi di Indonesia belakangan makin berwarna dengan kehadiran layanan transportasi online. Bagi pelaku industri transportasi yang sudah mapan, para pemain baru ini, di satu sisi, tentu menjadi pesaing yang bisa mengancam pundi-pundi mereka.

Namun, di sisi lain, pelaku transportasi online itu berpotensi menjadi mitra yang sangat menguntungkan dan strategis untuk kembangkan ekspansi bisnis bila saling berkongsi. Isu ini tengah melanda dua raksasa transportasi nasional, Blue Bird dan Gojek. 

Kehadiran mereka mencerminkan beragam warna atau pilihan moda transportasi, yang kini tengah populer bagi para konsumen di Tanah Air. Tapi, belakangan, aroma persaingan antara kedua jenis transportasi tersebut makin ‘memanas’. Layanan transportasi online baik yang berbasis sepeda motor sampai roda empat lambat laun menjadi mencuri hati pengguna. Alasannya, jelas soal kemudahan pemesanan dan tentunya tarif yang miring.

‘Panasnya’ persaingan itu kemudian menimbulkan perlawanan dari pelaku maupun asosiasi pengelola transportasi konvensional. Mereka menuntut kepada pemerintah untuk kesetaraan perlakuan. Puncak aroma persaingan itu terjadi pada aksi demo para sopir taksi konvensional pada Senin 21 Maret 2016. Demo yang sempat melumpuhkan jalanan protokol ibu kota Jakarta dan diwarnai ricuh itu menuntut agar pemerintah memblokir aplikasi transportasi online.

Merespons tuntutan para pelaku transportasi konvensional tersebut, pemerintah enggan memblokir aplikasi yang dimaksud. Pemerintah lebih seksama dengan membuat peraturan baru, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 yang mengatur bisnis angkutan sewa tak bertrayek termasuk transportasi online.

Namun kemudian, dengan berkembangnya waktu, ‘panasnya’ persaingan itu sudah agak mereda. Malah pengelola transportasi konvensional mulai menggandeng pemain baru tersebut. Dari lawan mulai jadi kawan.

Awal pekan ini, muncul pengumuman kerja sama antara PT Blue Bird Tbk dan Gojek. Dalam keterangannya, kedua perusahaan menyebutkan mereka akan berkolaborasi dalam aspek teknologi, sistem pembayaran dan promosi.

Tujuan kerja sama itu, dikatakan, bertujuan meningkatkan layanan transportasi melalui solusi perangkat mobile yang memudahkan dan membuat nyaman pengguna di Indonesia.

"Seluruh inisiatif kerja sama akan berfokus pada peningkatkan layanan transportasi melalui mobile solution, yang mudah dan nyaman untuk masyarakat di penjuru nusantara," ujar mereka.

Terkait dengan detail kerja sama, keduanya masih irit bicara. Blue Bird masih enggan bicara banyak soal kolaborasi tersebut.

"Detail kerja sama saat ini kita sedang dalam tahap pembicaraan lebih mendalam. Kita pasti akan umumkan detail dalam waktu dekat. Saat ini kita masih proses penjajakan dan finalisasi," kata Corporate Marketing PT Blue Bird Tbk, Erditya Afsah, kepada VIVA.co.id, Selasa 10 Mei 2016.

Terkait dengan kabar kerja sama tersebut, Erdit menegaskan perusahaan membantah akan membeli Gojek.

"Saya baru dengar kabarnya. Sesuai dengan press release kemarin, kami itu kerja sama. Bukan akuisisi (Gojek)" kata dia.

Kerja sama dengan Gojek itu membuat Blue Bird sedikit mereda, dari dulunya menjaga jarak kini rekat dan dalam kolaborasi.

Tercatat usai demo sopir taksi 21 Maret lalu, Blue Bird menegaskan sebagai perusahaan transportasi mereka menuntut adanya perlakuan kesetaraan kepada pemerintah. Blue Bird ingin agar pengelola transportasi online tidak semena-mena beroperasi dan memberikan layanan dengan mudah tanpa melalui tahapan verifikasi dan syarat terkait izin operasi transportasi.

"Kami tidak pernah menyatakan ini (persaingan dengan taksi online) pertempuran. Kami sudah punya aplikasi online sejak 2011. Jadi ini bukan persaingan," ujar Noni dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, sehari setelah demo sopir taksi.

Namun demikian, Noni mengatakan Blue Bird menginginkan agar pemerintah adil dalam menyikapi pengoperasian angkutan umum berbasis aplikasi. Sebab selama ini, moda transportasi tersebut dianggap tidak menaati ketentuan undang-undang yang berlaku.

"Ini lebih kepada kesetaraan bisnis. Banyak sekali aturan yang harus ditaati oleh perusahaan transportasi, dalam mengoperasikan kendaraannya," kata dia.

Blue Bird mengeluhkan izin pengoperasian yang dikeluarkan pemerintah memang terbilang sulit, sebab harus melalui sejumlah tahapan dan mekanisme yang cukup lama. Sementara penyelenggara taksi online yang berplat hitam bisa beroperasi tanpa adanya izin yang dikeluarkan pemerintah.

"Mereka harus membuktikan perusahaannya apa, dan tempat kendaraan tersebut beroperasi. Sehingga, bisa dipastikan dari keamanan itu sendiri," tegas Noni.

Kebutuhan pasar

Mengenai alasan mau rekat dengan Gojek, Blue Bird membantah menjilat ludah mereka sendiri. Perusahaan taksi yang telah melantai di bursa itu mengatakan kerja sama tersebut lahir berkat respons dengan perkembangan kebutuhan pelanggan.

Erdit menegaskan kerja sama itu bukan lantaran Blue Bird mengalah dengan makin naiknya pamor layanan transportasi online.

"Kolaborasi ini kami lakukan untuk bersaing dengan kebutuhan masyarakat dan pelanggan yang terus berkembang dan meningkat pesat. Kami yakin kolaborasi ini akan memberikan pelayanan yang baik buat masyarakat," ujar Erdit.

Terkait dengan isu tuntutan kesetaraan bisnis yang pernah disampaikan sebelumnya, Erdit enggan menjawab detail. Dia mengatakan saat ini fokus perusahaan adalah memantapkan finalisasi kolaborasi dengan Gojek.

Kerja sama Blue Bird dan Gojek itu makin meramaikan kolaborasi antara penyedia transportasi konvensional dan transportasi online. Sebelumnya model bisnis ini di Indonesia sudah dipioniri oleh Grab, pesaing Gojek.

Grab sejak awal sudah merilis layanan pemesanan taksi konvensional melalui aplikasinya. Jenis layanan itu dinamakan GrabTaxi. Untuk layanan ini, Grab menggandeng perusahaan taksi Express dan perusahaan lainnya. Grab terbilang sudah punya beragam layanan sejak awal dibandingkan Gojek yang sampai tahun lalu masih fokus bisnis pada ojek online. Selain GrabTaxi, GrabBike untuk ojek online, Grab juga memiliki layanan pemesanan angkutan sewa plat hitam, GrabCar.

Bicara soal perfoma layanan, Grab yang merupakan perusahaan teknologi asal Negeri Jiran ini memulai bisnisnya pada 2012 dengan mengawalinya sebagai aplikasi pemesanan taksi.

Grab mengklaim menjadi perusahaan penyedia layanan transportasi terbesar di Asia Tenggara dengan lebih dari 200 ribu pengemudi aktif, aplikasi diunduh 11 juta perangkat dengan 1,5 juta pemesanan di kawasan Asia Tenggara.

Sejak pertengahan 2015 yang diiringi peluncuran layanan terbarunya, seperti GrabBike, Grab mencatat rata-rata pertumbuhan jumlah tumpangan sebesar 35 persen per bulannya untuk layanan GrabCar dan 75 persen untuk layanan GrabBike di seluruh Asia Tenggara.

Dengan kinerja yang makin positif tersebut, Grab percaya diri bisa kuasai separuh pasar ojek online di Indonesia.

"Grab menjadi satu-satunya aplikasi transportasi yang memberikan kebebasan kepada penumpang untuk memilih jenis transportasi yang mereka inginkan. Kami menargetkan dan berada di jalur untuk memiliki 50 persen transportasi darat, kategori ojek," ungkap Managing Director Grab Indonesia, Ridzki Kramadibrata pada awal Februari lalu.

Sementara di sisi lain, langkah layanan Grab itu diikuti oleh Gojek. Sadar dengan perkembangan tersebut, Gojek melebarkan layanan bisnisnya, dengan merilis Gocar, layanan pemesanan angkutan sewa berpelat hitam pada 20 April lalu bersamaan dengan aplikasi pembayaran Gopay. Terakhir, Gojek siapkan layanan baru dengan menjajaki kerja sama bersama Blue Bird.

Meski masih irit bicara, tersiar kabar model kerja sama dengan Blue Bird dan Gojek ini hampir mirip dengan model GrabTaxi. Yaitu nantinya pada aplikasi mobile Gojek akan muncul ikon pemesanan taksi Blue Bird. Namun sebaliknya, pada aplikasi pemesanan online Blue Bird, yaitu My Blue Bird tidak ada ikon pemesanan Gojek.

Tantangan aturan

Salah satu problem untuk lancarnya operasi transportasi online adalah soal aturan. Sebagaimana diketahui pemerintah melalui Permenhub Nomor 32 Tahun 2016 telah mengatur soal ketentuan agar angkutan sewa tak bertrayek, termasuk layanan transportasi online, agar mengurus izin operasi.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan, Pudji Hartanto mengatakan, beberapa pasal pada Permen Perhubungan Nomor 32 tersebut mengacu pada Undang-Undang Lalu Lintas.

"Permen tersebut untuk mengatur kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek, baik dari angkutan taksi, angkutan pariwisata, angkutan dengan tujuan tertentu yang menyangkut lima jenis pelayanan, seperti angkutan antarjemput, permukiman, karyawan, carter, dan sewa," ujar Pudji akhir April lalu di Jakarta.

Beberapa poin yang penting dalam Permen itu yaitu Pasal 77 ayat 1, yang mengatur pengemudi kendaraan umum harus memiliki surat perjalanan seperti SIM dan lainnya.

Kemudian pasal 138 ayat 1, yang menyebutkan para penyelenggara angkutan umum itu harus mengusung keselamatan, kenyamanan, keamanan penggunanya, dan harga terjangkau. Artinya, tidak semua jenis kendaraan dan orang dapat memberikan jasa transportasi, kalau tidak memperhatikan hal-hal tersebut.

"Pasal 138 ayat 2, pemerintah bertanggungjawab atas semua itu. Itu sudah tertera jelas betul. Jadi, kita membereskan yang tidak beres. Di ayat 3, angkutan untuk orang atau barang hanya boleh dilakukan kendaraan bermotor umum. Makanya, menteri (Ignasius Jonan) selalu bilang tidak boleh sembarang kendaraan, kendaraan harus terdaftar," kata Pudji.

IHSG Diproyeksi Lanjut Tren Koreksi, Intip Saham Potensial Cuan

Permen tersebut juga mengatur ketentuan jenis kendaraan, pool, perawatan, STNK dengan nama perusahaan atau koperasi, hingga perusahaan yang sudah berbadan hukum.

Permen tersebut berdasarkan pertimbangan yang cukup matang. Yaitu agar bisa menjadi solusi perseteruan angkutan umum biasa dengan angkutan yang mengandalkan pemesanan lewat aplikasi.

500 Taksi Listrik Siap Mengaspal Tahun Depan

Pudji menegaskan, Permen yang baru dikeluarkan oleh instansinya ini bukan antipati terhadap teknologi. Malah, Kemenhub memberikan alternatif kepada para penyelenggara angkutan umum itu dapat memanfaatkan teknologi informasi berupa aplikasi.

Dia menuturkan, Permen itu juga wujud dari pembelajaran pemerintah terhadap persoalan transportasi online yang ada di negara-negara lain. Sehingga, kata Pudji, regulasi ini menjadi jalan tengah untuk mewujudkan transportasi yang aman, nyaman, dan mementingkan keselamatan pengguna.

Sedan Bluebird Sudah Tidak Terlihat di Jalanan, Ini Alasannya

Ia juga menegaskan lahirnya Permen itu berangkat dari semangat kesetaraan antara bisnis transportasi konvensional dan transportasi online.

"Intinya berkaitan dengan aturan, itu harus diikuti. Jadi semakin signifikan, kesetaraan diwujudkan dengan aturan itu," tuturnya kepada VIVA.co.id.

Model bisnis sah

Terkait dengan kemungkinan model bisnis yang dilakukan dalam kerja sama Blue Bird dan Gojek, Pudji mengatakan bisa sah dan legal secara hukum.

Dia mengatakan jika nantinya pengguna Blue Bird bisa memesan taksi melalui aplikasi Gojek, bukanlah sebuah masalah.

"Itu enggak masalah. Malah kalau itu taksi konvensional sudah gunakan IT ya. Ini malah diharapkan (taksi konvensional) gunakan teknologi atau IT," kata dia kepada VIVA.co.id, Selasa 10 Mei 2016.

Namun jika sebaliknya, yaitu pengguna yang ingin memesan layanan Gojek melalui aplikasi My Blue Bird, Pudji belum tegas menyikapinya.

Namun yang jelas, kata Pudji, model bisnis akan legal sepanjang kedua entitas tersebut sudah memiliki identitas bisnis yang terdaftar dan sudah sesuai dengan ketentuan Permen tersebut.

"Intinya kalau Gocar itu sudah enggak masalah, tapi yang (masih) masalah ini yang bisnis kendaraan roda dua (ojek)" kata dia.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya