Merebut Pasar China
- mgid.com
VIVA.co.id – Pemerintah mengakui bahwa perdagangan antara Indonesia dan China dalam dua tahun terakhir kian tidak seimbang. Ini berimbas pada defisit neraca perdagangan Indonesia, yang semakin melebar dengan China.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, mengatakan, dalam dua tahun terakhir, data statistik perdagangan antar kedua negara cenderung menurun. Imbasnya, tentu kepada defisit neraca perdagangan dalam negeri.
"Kami minta dilakukan analisis dan perumusan langkah untuk mengatasi masalah itu, untuk menuju perdagangan bilateral yang berimbang dan berkelanjutan," kata Darmin saat pertemuan bertajuk The Second of High Level Economic Dialogue Between The Republic of Indonesia and The People's Republic of China di Hotel Borobudur, Senin 9 Mei 2016.
Meski diakui, minat investasi dari China memang cukup meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, hal itu tidak diiringi dengan tingkat realisasi yang tercatat masih sangat rendah saat ini.
Anggota Dewan Negara China (State Councillor), Yang Jiechi, justru menilai volume perdagangan antara Indonesia dan China saat ini masih relatif tinggi. Negeri Tirai Bambu tersebut justru mencatatkan surplus, karena Indonesia masih banyak mengimpor dari China.
"Perdagangan memang menurun, tapi volume masih membesar. Kami lihat justru surplus," kata Jiechi di Jakarta, Senin 9 Mei 2016.
Menurut Jiechi, hubungan bilateral antar kedua negara terutama di sektor perdagangan telah meningkat cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir. Utamanya, ketika kedua negara melangsungkan pertemuan pertama pada Januari 2016 di Beijing, China.
Pemerintah China, Jiechi melanjutkan, akan terus berupaya mencari berbagai solusi demi adanya keseimbangan hubungan bilateral dengan Indonesia, terutama di sektor perdagangan. Salah satunya, dengan mendorong perusahaan China untuk menggaet produk-produk dalam negeri Indonesia.
"Kami sambut baik perusahaan dari Indonesia yang sudah berpartisipasi dalam ekspor dan impor mempromosikan produk kami. Kami akan dorong perusahaan kami mengimpor produk perusahaan dari Indonesia," kata dia.
Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani, realisasi modal asing didominasi oleh masuknya China dalam lima besar negara asal investasi. Realisasi investasi Tiongkok triwulan I-2016 mencapai sekitar US$500 juta, naik 400 persen dibanding realisasi periode yang sama tahun sebelumnya.
"Capaian ini diharapkan menjadi indikasi meningkatnya realisasi investasi Tiongkok di masa yang akan datang," ujar Franky.
Adapun lima besar negara asal yang merealisasikan investasi adalah, Singapura (US$2,9 miliar), Jepang (US$1,6 miliar), Hong Kong (US$500 juta), Republik Rakyat Tiongkok (US$500 juta), serta Belanda (US$300 juta).
Franky menambahkan bahwa penanaman modal dalam negeri periode 2015 meningkat cukup signifikan. "Realisasi penanaman modal meningkat sebesar Rp50,4 triliun atau naik 18,6 persen dari Rp42,5 triliun pada periode yang sama 2015 dan penanaman modal asing sebesar Rp96,1 triliun, naik 17,1 persen dari Rp82,1 triliun pada periode yang sama tahun 2015," katanya.
Selanjutnya...Bentuk Desk Khusus
Bentuk Desk Khusus
Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan investasi China di Indonesia, BKPM pun meluncurkan desk khusus China untuk memfasilitasi antusiasme investor asal Negara Tirai Bambu dalam menanamkan modalnya di Indonesia.
"Kami secara resmi membuka desk China dan menempatkan officer kami yang mampu berbahasa Mandarin dengan baik," ujar di Jakarta, Senin 2 Mei 2016.
Franky menjelaskan, desk China ini diharapkan dapat membantu investor China dalam berkomunikasi dengan baik, sehingga mereka bisa mendapatkan penjelasan mengenai kebijakan investasi di Indonesia.
Selain itu, desk China tersebut akan memberikan bimbingan dan konsultasi bagi investor China untuk memperoleh perizinan penanaman modal. "China merupakan salah satu sumber investasi asing terbesar di Indonesia dan investasinya meningkat pesat dalam dua tahun terakhir," tuturnya.
Dengan pembentukan desk China, BKPM berharap target realisasi investasi dari Tiongkok dapat meningkat menjadi US$30 miliar atau setara Rp390 triliun (kurs Rp13.000 per dolar) tahun ini.
"Investasi Tiongkok kami targetkan tahun ini US$30 miliar, itu untuk komitmen investasinya. Tahun lalu, komitmen investasi US$21 miliar (Rp273 triliun) dan untuk tahun ini hingga Maret 2016 sudah US$4 miliar (Rp52 triliun)," kata Franky.
Peluncuran desk khusus China ini mundur dari rencana awal yaitu pada April 2016. Namun, BKPM tetap mewujudkan langkah progresif tersebut untuk menggenjot realisasi investasi yang tahun ini ditargetkan sebesar Rp594,8 triliun.
Franky juga mengungkapkan bahwa BKPM akan menaikkan tingkat investasi atau investment rate tahun ini menjadi di atas 10 persen. Kenaikan investment rate ini untuk rencana investor yang benar-benar ingin menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga implikasinya langsung terjadi.
"Kami naikkan investment rate-nya yang tahun lalu sekitar tujuh-delapan persen. Ini jadi PR (pekerjaan rumah) besar untuk meningkatkan kualitas dan realisasinya. Tahun ini kami lakukan untuk mengejar realisasi investasi yang hingga Maret baru ada US$4 miliar," tutur Franky.
Ia juga mengklaim, realisasi investasi Tiongkok menunjukkan tren meningkat. Untuk itu, Franky menambahkan, BKPM terus berupaya untuk memfasilitasi investor China, salah satunya dengan membuka kantor perwakilan BKPM di Beijing. Kantor tersebut sedang tahap finalisasi dan diharapkan dapat beroperasi pada tahun ini.
Penguatan Dalam Negeri
Sementara itu, Presiden Joko Widodo saat menerima delegasi China di Istana Negara meminta agar hambatan perdagangan Indonesia ke China dan sebaliknya dapat diatasi.
“Ada usul misalnya Indonesia akan mendirikan Indonesian Trade Promotion Centre di Shanghai, pusat promosi di Beijing dan sebagainya,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, usai mendampingi delegasi China yang dipimpin Jiechi di Istana Negara, Senin 9 Mei 2016.
Kunjungan delegasi China ke Indonesia adalah untuk menyampaikan pesan Presiden Xi Jinping kepada Presiden Jokowi. Pesan itu adalah komitmen China untuk terus meningkatkan hubungan bilateral kedua negara, baik bidang ekonomi, perdagangan, hingga investasi.
“Di bidang perdagangan, jumlahnya cukup besar yaitu US$44,4 miliar, tetapi terdapat tren penurunan,” katanya.
Untuk itu, diharapkan ada peningkatan lagi atau dikembalikan seperti semula. Tentu, dengan berbagai terobosan yang harus dilakukan.
Sementara itu, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi China saat ini memang menurun, sehingga mengakibatkan defisit terhadap perdagangan Indonesia.
Kondisi ini, menurut dia, dikarenakan penurunan ekspor oleh Indonesia. Di sisi lain, impor oleh China naik.
"China mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi tahun ini jadi 6,5 persen, sehingga permintaan terhadap produk kurang. Implikasinya adalah ekspor kita yang turun. Cuma impornya naik," kata Eko, di Jakarta, Senin 9 Mei 2016.
Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah harus segera melakukan penguatan dalam negeri serta membuat kebijakan yang memihak kepada masyarakat. "China unggul dengan harga murah. Produk dalam negeri kita punya kualitas dibanding China, bedanya cuma harga. Pemerintah harus berusaha supaya harga kompetitif, tapi kualitas kita unggul," tuturnya.
Ia menambahkan, perlu kebijakan yang mengatur pembatasan kepada penjual China agar memberikan akses yang lebih kepada masyarakat untuk mempromosikan produk dalam negeri.
Selain itu, harus ada upaya untuk mendorong industri. Tujuannya, agar masyarakat terdorong ke sektor industri bukan hanya berjualan, tapi juga berproduksi.