Hari Ke(tidak)bebasan Pers Sedunia
- VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis
VIVA.co.id – Aksi unjuk rasa jurnalis merebak di sejumlah kota di tanah air, Selasa, 3 Mei 2016. Mereka menyuarakan masih mahalnya kebebasan pers pada hari peringatan kebebasan pers Internasional itu. Mereka
Di Bandung, misalnya, mereka mengecam terhadap segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan kebebasan berekspresi. Bukan tanpa sebab, mereka melakukan kecaman itu. Pasalnya, baru saja terjadi ancaman terhadap kebebasan itu terhadap seorang jurnalis yang bertugas di daerah itu.
Para demonstran protes atas intimidasi dan ancaman yang diterima pewarta foto sebuah media online, Bambang Prasetyo alias Ibenk, saat meliput kerusuhan Lapas Banceuy pada 23 April, lalu, dari anggota Brimob Polda Jawa Barat.
“Ibenk bekerja untuk memperoleh informasi. Dia datang ke Lapas Banceuy bersama pimpinan tertinggi kepolisian di Jawa Barat, dia juga bekerja menggunakan ID pers. Dia merekam peristiwa napi membuat rusuh, lapas terbakar. Tapi kenapa foto - foto yang didapatkan harus dihapus dan diancam,” kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung Adi Marsiela saat berorasi di Taman Vanda, Jalan Merdeka, Bandung.
Mereka juga mengecam polisi yang membubarkan paksa aksi perayaan Awak Inisiatif Art Movement pada 23 Maret, lalu. Ketika itu, Wanggi Hoediyatno, pegiat acara itu, dibawa ke Polsek Sumur Bandung dimintai keterangan dengan alasan mengganggu ketertiban umum.
Tindakan represif sekelompok orang tertentu yang mengakibatkan pembatalan acara monolog ‘Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah’ di Pusat Kebudayaan Prancis Bandung beberapa waktu lalu, juga menjadi sorotan.
Ancaman terhadap kebesan pers itu digambarkan para jurnalis Malang dengan sebuah aksi teatrikal. Ratusan jurnalis dan aktivis pers mahasiswa yang menggelar aksi di Balaikota Malang menggambarkan kondisi pers yang masih terbelenggu dengan membawa sangkar burung yang did alamnya berisi berbagai katu pers serta bola besi lengkap dengan rantai yang membelenggu kaki jurnalis.
“Kurungan burung dan bola besi menggambarkan kebebasan pers dan kebebasan informasi publik yang masih terbelenggu dan terkekang di Malang,” kata seorang Juru bicara aksi, Hari Istiawan.
Yang mereka sorot antara lain, banyaknya kendala saat meliput di Malang. Instansi plat merah sering tak memberikan informasi tentang data publik. Warga juga belum bisa mengakses informasi publik milik Pemkot. Intimidasi dan kekerasan juga dialami jurnalis saat meliput.
“Akses terhadap APBD dan berbagai sarana publik sangat terbatas. Dua jurnalis Radar Malang diangkut ke markas TNI AU Abdulrachman Saleh dan dirampas drone, kartu pers dan kartu memorinya saat meliput tragedi Super Tucano Februari kemarin,” kata Hari.
Aksi serupa dilaporkan terjadi di Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Lampung, dan sejumlah kota di tanah air. Sementara di Jakarta, peringatan digelar dalam sebuah seminar bertajuk Forum World Press Freedom Day di Gedung Dewan Pers.
Hadir dalam kegiatan tersebut, Direktur Representatif Unesco Indonesa Shahbaz Khan, Wakil Ketua Dewan Pers Ahmad Djauhar, Duta Besar Swedia untuk Indonesia Johanna Brismar Skoog, Menkominfo Rudiantara, Koordinator Kontras Hariz Azhar, Bupati Batang Jawa Tengah Yoyok Riy Sudibyo.
Acara tersebut digagas oleh Human Nation Rights, Southeast Asian Press Alliance (SEAPA), AJI Indonesia, Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia, Embassy of Sweeden, Dewan Pers, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco).
Musuh Kebebasan Pers
Aliansi Jurnalis Independen menyoroti ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi. Mereka menempatkan polisi sebagai musuh kebebasan pers tahun 2016 ini. Ini untuk kelima kali polisi menjadi musuh kebebasan pers sejak pertama kali dihelat tahun 2007.
“Peran polisi menegakkan hukum terkait kasus-kasus kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat telah gagal. Maka AJI Indonesia menetapkan polisi musuh kebebasan pers 2016,” kata Ketua Bidang Advokasi AJI, Iman D Nugroho dalam siaran persnya.
Polisi mereka nilai buruk dalam menjalankan tugas memberikan pengayoman terhadap warga negara terkait hak mendapatkan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Menurutnya, kondisi buruknya penanganan, membuat kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan, dalam 10 tahun terakhir.
Indonesia dalam kebebasan pers dan berekpresi terbaru menurut data World Press Freedom Index 2016 yang dirilis Reporters Sans Frontiers (Prancis) menyebutkan berada di posisi merah. Dalam ranking 130 dari 180 negara. “Posisi ini bahkan berada di bawah Timor Leste, Taiwan dan India,” katanya.
Menurut Iman, sejak AJI Indonesia menganugerahkan polisi sebagai musuh kebebasan pers tahun 2015 lalu, hingga kini belum tampak ada perubahan. Polisi gagal mereformasi diri sebagai pelayan dan pengayom publik. Desakan AJI agar kepolisian mengusut tuntas kasus pembunuhan delapan jurnalis yang hingga kini belum diketahui pelakunya hingga kini belum ada tindak lanjut.
Delapan jurnalis yang tewas karena pemberitaan tersebut adalah Muhammad Fuad Syahfrudin alias Udin (jurnalis Harian bernas Yogyakarta tewas tahun 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat tewas 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press tewas di Timor-Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaludin (jurnalis TVRI di Aceh, tewas 17 Juni 2003), Ersa Siregara (jurnalis RCTI tewas 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis tabloid Delta Pos, tewas 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal Merauke, tewas 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas 18 Desember 2010).
Kepolisian juga mendapat sorotan sepanjang tahun 2015-2016 karena gagal melindungi hak warga negara dalam menyampaikan pendapat atau ekspresi. Sejumlah kasus pembubaran diskusi, pemutaran film, dan penyampaian eskpresi lainnya oleh kelompok intoleran terkesan ada pembiaran.
“Polisi seharusnya melindungi hak warga negara yang mempunyai pendapat berbeda atau keyakinan dengan kelompok lain. Bukan dibiarkan,” kata Iman.
Hari Kebebasan Pers
Hari Kebebasan Pers Sedunia diperingati di seluruh dunia setiap tanggal 3 Mei. 3 Mei menjadi kesempatan untuk mempromosikan prinsip-prinsip dasar kebebasan pers dan untuk memberikan penghormatan kepada para wartawan yang gugur dalam tugas.
Terungkap dalam sebuah seminar di Jakarta, kondisi buruknya kebebasan pers tak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di negara-negara ASEAN. Masyarakat Asia Tenggara masih belum terakses informasi secara luas, dan kebebasan pers masih dibatasi oleh berbagai hal. Menurut Perwakilan Komnasham Thailand, Angkhana Neelapaijit, negaranya masih perlu memperoleh informasi dan pembelajaran dari negara sekitarnya dalam hal kebebasan berekspresi.
"Banyak tantangan yang terjadi saat ini di Thailand. Saya sangat berharap Thailand menerima banyak rekomendasi dari masyarakat internasional. Tidak hanya kebebasan berinstitusi tetapi juga membantu kami mempertahankan independensi informasi dan jurnalis bagi lembaga dan seluruh lapisan masyarakat," ujar Neelapaijit, dalam seminar Forum World Press Freedom Day di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa, 3 Mei 2016.
Menurutnya, turbulensi dan perubahan yang terjadi di seluruh dunia, termasuk tantangan-tantangan baru membutuhkan kerja sama dan aksi global. Kebutuhan akan informasi yang berkualitas sangat penting bagi lingkungan masyarakat. Kebebasan pers dan sistem yang berfungsi dengan baik dapat menjamin keutuhan dan keabsahan informasi yang menjadi hak setiap masyarakat.
Ouk Kimseng, perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informasi Kamboja, mengaku kalau negaranya telah membuat rancangan untuk kebebasan mengakses informasi. "Komitmen ini sedang dikembangkan di Kamboja untuk mengupayakan akses informasi dan kebebasan yang menjadi hak fundamental. Komitmen pemerintah ini bersifat strategis dan terus fokus kepada tujuan agar bertanggungjawab dan dapat dipercaya," kata dia.
Sementara itu, dalam rangka meningkatkan kesadaran untuk kebebasan berbicara di Hari Kebebasan Pers Dunia hari ini, Federasi Penerbit Surat Kabar Jerman (the Federation of German Newspaper Publishers) dan seniman asal China, Ai Weiwei, bekerjasama untuk melakukan aksi seni nasional.
Dilansir dari situs Wwd, Selasa, 3 Mei 2016, Weiwei yang juga aktivis politik ini menciptakan halaman depan untuk disebar di lebih dari 280 surat kabar Jerman dengan fitur "Golden Age," salah satu dari karya-karya terbaiknya sebagai tanggapan atas sikap pemerintah negara di dunia yang melakukan sensor dan pengawasan.
Ia juga berpartisipasi sebagai aktivis Amnesty International terhadap sensor awal tahun ini dan merupakan duta dari Reporters Without Borders (sebuah lembaga swadaya masyarakat).
Pada 2011, Weiwei dihukum oleh pemerintah China menjadi tahanan rumah selama empat tahun karena secara publik berbicara mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan negaranya.
Usai dibebaskan pada 2015, Weiwei lalu pindah ke Berlin, Jerman untuk menjalankan profesi baru sebagai dosen selama tiga tahun di University of the Arts.
Di sana, ia aktif menulis di media sosial untuk mengadvokasi para pembangkang politik di seluruh dunia, serta mendokumentasikan nasib kamp-kamp pengungsi Yunani dan Macedonia.
Karya-karyanya yang kritis banyak menampilkan tanggapan terhadap ketidakadilan politik dan sosial yang baru-baru ini telah dipamerkan di London Royal Academy of Arts, Inggris serta Paris 'Le Bon Marché, Prancis.
Laporan: Dinia Adrianjara