WNI Disandera Abu Sayyaf Menanti 'Uluran Tangan'
- REUTERS
VIVA.co.id – Kasus pemenggalan kepala John Ridsdel (68), warga negara Kanada, oleh kelompok militan Abu Sayyaf menuai reaksi dunia. Tidak hanya Kanada, pemerintah Indonesia cepat merespons dan mewaspadai perkembangan aktivitas milisi di selatan Filipina itu.
Pemenggalan dilakukan karena pemerintah Kanada tidak memenuhi tuntutan tebusan sebesar US$80 juta atau setara Rp105 miliar.
Ridsdel sebelumnya diculik dari kawasan resor wisata bersama dengan warga Kanada lainnya, Robert Hall dan pacarnya bernama Marites Flor asal Filipina serta Kjartan Sekkingstad asal Norwegia. Mereka diculik dekat kota Davao, sekitar 500 kilometer Pulau Jolo, pada 21 September 2015..
Pemerintah Indonesia bereaksi, karena kelompok yang menghuni wilayah Mindanao, Filipina Selatan itu juga tengah menyandera 10 warga negara Indonesia (WNI).
Lantas, bagaimana nasib WNI, lantaran Abu Sayyaf juga meminta tebusan untuk membebaskan sandera?
Pengamat terorisme internasional, Rakyan Adibrata, mengatakan, Abu Sayyaf tidak akan gegabah melakukan aksi serupa terhadap warga Indonesia. "Ada beberapa faktor," ungkap Rakyan kepada VIVA.co.id, Selasa, 26 April 2016.
Pertama, dari sisi politik. Pemenggalan warga Kanada bukan sebatas minta tebusan, namun ada alasan lain. Yaitu, Kanada adalah sekutu Amerika Serikat yang mendukung aksi pemberantasan terorisme di Timur Tengah.
"Jadi, tingkat kebencian terhadap orang asing (kulit putih) sangat tinggi. Khususnya, orang asing yang berasal dari negara pendukung AS," kata dia.
Kedua, Abu Sayyaf memiliki pandangan berbeda dengan Indonesia. Meskipun dari sandera WNI terdapat yang nonmuslim, kelompok ini melihat faktor persamaan serumpun, negara bertetangga, serta akses menuju dan ke kedua negara sangatlah mudah.
Ketiga, dalam melakukan aksinya, kelompok Abu Sayyaf selalu menerapkan strategi culik sandera untuk meminta tebusan. Namun, kata Rakyan, masalah ini lebih kepada urusan internal antara Pemerintah Filipina dan kelompok yang berdiri sejak 1991 tersebut.
Baca:
"Insiden penculikan dua kali WNI ini sebenarnya dilakukan di perairan mereka. Siapa pun yang lewat atau ditemukan, pasti diculik, dan ujung-ujungnya minta tebusan. Artinya, masalah ini masih dalam politik dalam negeri Filipina dan belum menyebar ke regional (ASEAN)," Rakyan menegaskan.
Terkait langkah yang sudah ditempuh Pemerintah Indonesia dalam upaya pembebasan seluruh WNI, Rakyan tidak meragukannya. Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kementerian Luar Negeri sudah siap melaksanakan tugasnya masing-masing.
"Kemlu terus-menerus melakukan diplomasi dengan Filipina. Sementara itu, TNI tinggal menunggu perintah untuk dikirim. Satu lagi, duta besar Indonesia untuk Filipina adalah mantan anggota pasukan khusus. Ia pastinya lebih paham," tutur dia.
Adalah Johny Josephus Lumintang, mantan anggota Kopassus TNI-AD, yang mengemban tugas mewakili Indonesia di Filipina. Ia pernah mereguk sukses dalam operasi pembebasan sandera di Mapenduma, Irian Jaya (sekarang Papua) pada 1996.
Kendati demikian, Rakyan juga mendorong pemerintah untuk bertindak di luar opsi lain. Ia lalu mencontohkan tawaran Hisyam bin Ali Zein atau Umar Patek dan Nur Misuari.
"Dia (Umar Patek) bisa bantu negosiasi dan tidak meminta imbalan apa pun. Begitu pula dengan Nur Misuari. Bahkan, dia tetap menghormati Indonesia atas bantuannya dulu yang menengahi konflik Filipina dengan MNLF. Tinggal pilih saja. Asalkan efektif, ya, jalankan," kata Rukyan.
Selanjutnya...Negosiasi Jalan Terus
Negosiasi Jalan Terus
Menyikapi aktivitas terakhir kelompok Abu Sayyaf itu, Presiden Joko Widodo pun meminta semua pihak bersabar menanti upaya pemerintah untuk pembebasan sandera WNI.
Sebab, negosiasi bukan hal mudah untuk dilakukan. Walau sudah sebulan belum ada hasil positif, Presiden Jokowi menegaskan, upaya pembebasan selalu sulit untuk dilakukan. Bahkan, ada beberapa warga asing yang sudah menjadi sandera lebih dari 8 bulan.
"Tidak segampang itu, jangan memudahkan persoalan yang tidak mudah," ujar Jokowi, di Istana Negara, Jakarta, Selasa, 26 April 2016.
Menurut Presiden, Indonesia juga tidak bisa langsung bergerak menindak kelompok tersebut, karena posisi mereka sudah masuk ke wilayah Filipina, sehingga harus ada izin dari negara tersebut.
Namun, Presiden memastikan, negosiasi terus dilakukan. Selain itu, pergerakan milisi di wilayah selatan Filipina ini ikut menyulitkan upaya pembebasan sandera.
Walau begitu, Jokowi optimistis awak kapal tunda Brahma 12 yang sudah disandera sejak 26 Maret 2016, bisa segera dibebaskan. Presiden juga memastikan akan menyelesaikan masalah ini secepatnya.
"Insya Allah segera kita selesaikan," katanya berjanji.
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan turut berbelasungkawa atas tewasnya warga negara Kanada itu. "Tentu kita bersedih itu. Harus kita waspadai," kata JK di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Selasa, 26 April 2016.
Pada kesempatan terpisah, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Arrmanatha Nassir, menegaskan bahwa Kemlu mengecam peristiwa terbunuhnya satu warga Kanada oleh kelompok militan Abu Sayyaf.
"Kemlu tentu mengecam terjadinya pembunuhan terhadap sandera warga Kanada," kata Arrmanatha kepada VIVA.co.id, Selasa, 26 April 2016.
Dia juga menjelaskan, Kemlu menerima informasi dari Pemerintah Filipina bahwa pada akhir Minggu lalu negeri itu melakukan operasi militer di kawasan Patikul, bagian barat Pulau Jolo dekat lokasi sandera warga Kanada tersebut.
Baca juga:
"Namun, operasi militer Filipina jauh dari lokasi sandera WNI yang berada di daerah timur Pulau Jolo. Informasi yang kami terima pagi ini (Selasa) adalah kondisi seluruh sandera WNI dalam keadaan baik," ungkapnya.
Soal bakal diadakannya pertemuan antara menlu dan panglima TNI, Filipina, dan Malaysia, Arrmanatha enggan berbicara banyak.
"Soal itu akan diinformasikan pada waktu yang tepat," kata Arrmanatha.
Sebelumnya, Menkopolhukam, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pada 3 Mei 2016, akan diadakan pertemuan tiga menteri luar negeri dan tiga panglima tentara di Jakarta untuk bersama-sama membahas pembebasan sandera WNI dan warga Malaysia di Filipina Selatan.