Nasib Partai Ka'bah setelah Islah
Senin, 11 April 2016 - 05:39 WIB
Sumber :
- ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
VIVA.co.id - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memiliki pemimpin baru. Romahurmuzy alias Romi terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum untuk periode 2016-2021 dalam Muktamar VIII yang digelar di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, pada Sabtu, 9 April 2016.
Sebenarnya ada enam kandidat ketua umum, di antaranya, Romahurmuzy, Epyardi Asda, dan Lukman Hakim Saifuddin. Tetapi sebagian peserta Muktamar menghendaki ketua umum ditetapkan secara musyawarah mufakat atau aklamasi alias tanpa pemungutan suara. Jadilah Romi sebagai kandidat tunggal, yang segera dikukuhkan sebagai Ketua Umum.
Muktamar itu diklaim sebagai upaya islah kedua kubu, Romi dengan Djan Faridz, yang bersengketa. Sebagian pendukung kubu Djan Faridz disebut menghadiri muktamar itu meski Djan tidak. Djan malah berada di Surabaya untuk menghadiri Musyawarah Kerja Wilayah PPP Jawa Timur.
Muktamar itu juga dinilai mendapatkan legitimasi karena dihadiri dan dibuka Presiden Joko Widodo dan Maimun Zubair, ketua Majelis Syariah PPP yang sekaligus dianggap sebagai tokoh yang dihormati di partai berlambang Ka'bah itu. Presiden pun mengakui merasa berkewajiban datang karena kehadiran KH Maimun Zubair alias Mbah Mun.
Kepala Negara juga berterus terang telah lebih dahulu memeriksa undangan kepadanya untuk membuka Muktamar PPP. Undangan ditandatangani Suryadharma Ali sebagai Ketua Umum dan Romahurmuziy selaku Sekretaris Jenderal. Berdasarkan itu, Presiden meyakini bahwa Muktamar benar-benar demi perdamaian kedua kubu yang berselisih.
"Artinya, ini islah benar. Jadi, saya datang sore hari ini, ini yang menyebabkan saya hadir," kata Presiden dalam pidatonya saat membuka muktamar itu pada Jumat, April 2016.
Presiden mengingatkan bahwa PPP adalah salah satu partai tertua di Indonesia. PPP seharusnya dapat menjadi pilar penegak kedaulatan dan penampung aspirasi rakyat. Konflik internal partai berbasis massa Islam itu harus segera diselesaikan. Perselisihan yang berlarut-larut menyebabkan PPP tidak produktif dan tak optimal bekerja untuk rakyat.
Saling gugat
Romi sebelumnya sudah terpilih sebagai Ketua Umum dalam Muktamar PPP di Surabaya pada Oktober 2014. Tetapi muktamar itu dianggap tak sah dan status Romi dipertanyakan. Muncul muktamar versi lain, yakni muktamar yang digelar kubu Djan Faridz di Jakarta pada Oktober 2014. Djan Faridz pun terpilih sebagai Ketua Umum.
Dua kepengurusan itu saling mengklaim sebagai pihak yang benar dan sah. Kedua kubu bahkan saling menggugat di pengadilan. Upaya hukum kedua kubu sesungguhnya berakhir dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kepengurusan PPP kubu Romi pada pada Oktober 2015.
Perpecahan terus berlanjut hingga Menteri Hukum dan HAM mencabut kepengurusan versi Muktamar Surabaya. Kepengurusan PPP yang sah dikembalikan kepada hasil Muktamar di Bandung tahun 2011. Versi ini menempatkan Suryadharma Ali sebagai ketua umum dan Romahurmuzy sebagai sekretaris jenderal.
Tetapi kubu Romi belum menyerah. Mereka mengajukan gugatan peninjauan kembali atas putusan MA yang membatalkan kepengurusan hasil Muktamar di Surabaya. Mereka ingin menegaskan bahwa kepengurusan yang legal sementara itu adalah kepengurusan hasil Muktamar di Bandung dengan Suryadharma Ali sebagai ketua umum. Soalnya kubu Djan Faridz mengklaim sebagai kepengurusan yang resmi setelah MA membatalkan kepemimpinan Romi. Padahal tidak begitu, sekurang-kurangnya menurut kubu Romi.
MA belum memutuskan gugatan peninjauan kembali yang diajukan kubu Romi itu. Tetapi kubu Romi mendahului dengan menggelar muktamar di Asrama Haji Pondok Gede itu.
Setengah bulan sebelum Muktamar di Pondok Gede, kubu Djan Faridz menggugat pemerintah yang dianggap tak kunjung menyelesaikan persoalan legalitas sengketa PPP. Gugatan dilayangkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pihak-pihak yang digugat ialah Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan; dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly. Presiden dituntut mengganti kerugian kubu Djan Faridz senilai Rp1 triliun.
Bukan Muktamar
Kubu Djan Faridz tentu saja menolak mengakui keabsahan Romi sebagai ketua umum, karena tidak dipilih melalui muktamar yang sah. Kubu Djan tetap melanjutkan gugatan terhadap pemerintah yang tidak mengesahkan kepengurusannya.
Sekretaris Jenderal PPP pimpinan Djan Faridz, Achmad Dimyati Natakusumah, tak mengakui hasil Muktamar di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta. Dia malah mempertanyakan keabsahan muktamar itu karena belum ada putusan atas gugatan peninjauan kembali di MA.
Menurut Dimyati, muktamar belum bisa dilakukan sebelum ada putusan peninjauan kembali. Apalagi proses hukum itu masih berjalan hingga kini. Muktamar seolah melawan proses hukum. Seharusnya semua pihak yang berselisih, termasuk kubu Romi, menahan diri sampai MA memutuskan menerima atau menolak gugatan peninjauan kembali. Kubu Djan pun berjanji menghormati apa pun putusan MA.
“Kalau memang nanti sudah selesai, apa pun putusannya, ya, nanti kami hormati. Kalau putusan nanti diterima, bagaimana hasil muktamar ini (baca: hasil Muktamar di Asrama Haji Pondok Gede),” ujarnya.
Atas dasar itulah, Dimyati menambahkan, kubu Djan Faridz tidak mengakui muktamar yang digelar kubu Romi meski dihadiri Presiden Joko Widodo. "Jadi (Muktamar PPP) yang di Pondok Gede itu kami anggap sebagai ajang pertemuan silaturahmi saja," katanya.
Muktamar PPP di Pondok Gede itu, katanya, penuh rekayasa dan pengulangan skenario lama, termasuk penunjukan atau pemilihan aklamasi Romi sebagai ketua umum. Dimyati sedari awal sudah memperkirakan bakal dijalankan skenario aklamasi itu, yang menyerupai pola dalam Muktamar di Surabaya.
Djan pun berpendapat serupa Dimyati saat ditanya wartawan di sela-sela menghadiri Musyawarah Kerja Wilayah PPP Jawa Timur di Surabaya pada Jumat, 8 April 2016. "Saya tidak tahu Muktamar Islah apa itu yang di Jakarta," katanya.
Menteri Perumahan Rakyat era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu mengaku tidak pernah menerima undangan dari panitia Muktamar PPP kubu Romi. "Kalau terima undangan, saya pasti tidak di sini. Kalau diundang, saya pasti datang, itu wajib karena silaturrahmi," ujarnya.
Sumber masalah
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, berpendapat, kepengurusan yang sah sesuai putusan MA adalah kepemimpinan Djan Faridz. Putusan MA bersifat final dan mengikat bagi semua pihak, kubu Djan, kubu Romi, maupun Menteri Hukum dan HAM sebagai pejabat yang meresmikan kepengurusan sebuah partai politik.
Kalau pun Menteri Hukum dan HAM menolak melaksanakan putusan hukum yang sudah diterbitkan MA, semua adalah tanggung jawab dan risiko sang Menteri Yasonna Laoly.
Yusril mengibaratkan Menteri Hukum dan HAM dengan Kantor Urusan Agama (KUA), yang sesungguhnya bersifat administratif kalau seluruh syarat pengajuan pengesahan partai politik sudah terpenuhi. Ringkasnya, jika semua persyaratan administratif dan hukum sebuah partai politik sudah terpenuhi, tak ada alasan bagi Menteri Hukum dan HAM untuk menunda-nunda mengesahkannya.
Yusril mengaku teringat pengalamannya yang serupa dialami PPP, yakni saat menjabat Menteri Kehakiman, dan menangani sengketa kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): kubu Muhaimin Iskandar dengan kubu Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dia mengesahkan kepengurusan PKB pimpinan Muhaimin Iskandar karena memang kepengurusan itulah yang memenuhi syarat dan ketentuan hukum.
Dia juga mengaku bahwa saat itu taat pada putusan pengadilan dan mengesahkan partai sesuai putusan tersebut. Dia menyampaikan dan menjelaskan kepada Gus Dur bahwa pemerintah tak bisa mengintervensi atau berat sebelah karena berpihak pada satu kubu.
Kondisi berbeda ditunjukkan Menteri Yasonna. Menteri justru mengabaikan putusan MA yang telah memutus kepengurusan PPP yang sah adalah hasil Muktamar di Jakarta yang dipimpin Djan Faridz. Menteri justru menghidupkan kembali Surat Keputusan yang sudah mati, yakni kepengurusan hasil Muktamar di Bandung tahun 2011. Surat itu dijadikan kubu Romi sebagai dasar untuk menggelar Muktamar di Asrama Haji Pondok Gede.
“Jadi persoalan yang dibuat Laoly sebenarnya membuat kisruh Golkar dan membuat kisruh PPP,” ujarnya di Jakarta pada Sabtu, 9 April 2016.
Yusril menyarankan Menteri Yasonna agar menjalankan politik berdasarkan hukum, bukan menjalankan hukum berdasarkan pertimbangan politik. Menteri sebagai bagian dari pemerintah seyogianya bersikap objektif. Sengketa berlarut-larut sebuah partai politik tak hanya mengganggu partai itu, tetapi juga mengganggu sistem pengelolaan politik dan pemerintahan.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Yusril mengaku teringat pengalamannya yang serupa dialami PPP, yakni saat menjabat Menteri Kehakiman, dan menangani sengketa kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): kubu Muhaimin Iskandar dengan kubu Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dia mengesahkan kepengurusan PKB pimpinan Muhaimin Iskandar karena memang kepengurusan itulah yang memenuhi syarat dan ketentuan hukum.