Mengusut Tindakan Densus di Kematian Siyono
- VIVAnews/Fajar Sodiq
VIVA.co.id - Bak bola salju, kematian terduga kasus terorisme, Siyono, terus menggelinding. Penyebab kematian warga Desa Pogung, Cawas, Klaten, Jawa Tengah, itu perlahan mulai tekuak. Kuat dugaan, Siyono tewas akibat kekerasan yang dilakukan oknum anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri.
Sekali pun Polri membantah Siyono tewas karena disiksa Densus 88, namun untuk menyelidiki penyebab kematian Siyono, tim dokter forensik dari Muhammadiyah disaksikan Komnas HAM dan dokter forensik Polda Jawa Tengah, membongkar makam Siyono, untuk mengautopsi jenazah Siyono pada Minggu lalu, 3 April 2016.
Â
Ketua Tim Forensik Muhammadiyah dr. Gatot Suharto menyebutkan, terdapat bekas luka akibat pukulan benda tumpul di tubuh Siyono. Luka ini dialami saat Siyono masih hidup. Bekas luka yang ditemukan di tubuh Siyono merupakan sisa bekas kekerasan dengan benda tumpul.
[Baca juga: ]
Selain itu juga, ditemukan patah tulang di tubuh Siyono. Hanya mengenai berapa jumlah luka persisnya, dokter Gatot belum bisa menyebutkan. Selanjutnya, setelah jenazah diautopsi, tim dokter forensik akan melakukan pemeriksaan mikroskopis untuk memperkuat hasil dari pemeriksaan jenazah Siyono.
Ihwal keterlibatan Muhammadiyah pada proses autopsi Siyono sebelumnya atas permintaan istri Siyono, Suratmi, saat mendatangi kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, pada akhir bulan Maret, Selasa, 29 Maret 2016. Suratmi meminta bantuan hukum Muhammadiyah atas kasus yang dialami suaminya.
"Dalam konteks ini, Muhammadiyah menyampaikan bahwa kami terbiasa menerima pengaduan dari masyarakat, termasuk yang terakhir dari keluarga Siyono," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin 4 April 2016.
Kedatangan Suratmi diterima Busyro Muqoddas, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik. Kepada Busyro, Suratmi mengaku saat akan menjemput jenazah suaminya di Jakarta, disodorkan surat pernyataan yang, salah satunya berisi tidak akan menempuh jalur hukum dan tidak melakukan autopsi.
Selain itu, saat berada di Jakarta untuk menjemput jenazah suaminya, Suratmi diberikan uang yang ditaruh dalam dua bungkusan. Uang itu diserahkan oleh Ayu dan Lastri yang diduga sebagai anggota Polri. Uang itu diberikan kepada Suratmi dan kakaknya.
Satu bungkus uang diberikan kepadanya untuk pendidikan anaknya dan satu bungkus diberikan kepada kakaknya sebagai biaya pemakaman jenazah. Uang itu diberikan saat di hotel menunggu jenazah Siyono.
Â
Suratmi tak mau menandatangani surat yang disodorkan polisi. Begitu juga uang yang diterima dari polisi, tak berani dia buka. Uang tersebut, akhirnya dia serahkan kepada Muhammadiyah untuk dijadikan barang bukti. Ia yakin, ada yang tidak beres dari kematian suaminya itu.
"Uang ini dititipkan sebagai bukti bahwa ibu menolak. Uang akan kami simpan dengan cara kami sebagai barang bukti," kata Busyro Muqoddas di Yogyakarta, 29 Maret lalu.
'Uang Damai'
Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti membenarkan telah memberikan uang pada keluarga Siyono. Kala itu, Kapolri bilang uang itu diberikan sebagai bentuk kemanusiaan. "Ya namanya kemanusiaan, ya sah-sah saja," kata Badrodin, Selasa lalu, 29 Maret 2016.
Badrorin membantah bahwa uang itu diserahkan sebagai bentuk suap, agar permasalahan kematian Siyono tidak dipermasalahkan keluarga. Ia mengatakan, uang tersebut merupakan uang pembinaan dan rasa kemanusiaan dari Polri kepada keluarga Siyono.
"Sogok mana maulah orang. Begini ya, namanya kemanusiaan. Kalau enggak mau terima, ya enggak apa-apa," ujarnya. []
Namun, penolakan keluarga terduga teroris Siyono atas pemberian uang oleh Kepolisian itu sempat dipersoalkan. Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Polisi Anton Charliyan menyesalkan pengembalian itu justru dilakukan tidak dari awal.
Ia bahkan curiga penolakan itu justru terjadi ketika ada sekelompok orang yang membela Siyono muncul.
"Kalau ditolak (uang dua gepok) kok enggak dari awal? Sekarang dikembalikan. Eh, pas ada golongan tertentu pro teroris dikembalikan," kata Irjen Anton di Jakarta, Selasa 5 April 2016.
Menurut Anton, pemberian uang itu tak lebih sebagai bentuk kemanusiaan dan belasungkawa dari polisi atas tewasnya Siyono ketika dicokok tim Densus 88. "Yang meninggal dunia kami berikan santunan sekali pun itu teroris, walau meninggal dalam baku tembak kami berikan (uang santunan) juga," kata dia.
Terlepas dari polemik 'uang damai' tersebut, Anton Charliyan menyesal atas kematian terduga teroris asal Klaten tersebut. Sebab, Siyono disebut-sebut menjadi saksi kunci dalam pengungkapan jaringan teroris di Indonesia.
Siyono dianggap mengetahui gudang senjata yang digunakan untuk melakukan aksi terorisme.
"SY (Siyono) itu adalah kepala gudang senjata. Ini atas keterangan tiga saksi yang telah ditangkap sebelumnya. Dalam teori Kepolisian, SY itu saksi kunci. Dia yang tahu di mana lokasi senjata yang mungkin mencapai puluhan atau ratusan itu," ujar Anton.
Kepolisian lanjut Anton, akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut kepada anggota Densus 88 yang membawa Siyono saat penangkapan lalu. Meski begitu, Anton kematian Siyono karena ditembak anggota Densus 88. "Kami akan usut kelalaian anggota. Ini sangat disayangkan," tegas Anton.
[Baca: ]
Jurus mabuk polisi
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhadjir Effendy menyesalkan pernyataan Kadiv Humas Polri Irjen Anton Charliyan, yang menyebut pihak yang mendukung autopsi Siyono sebagai pro teroris. Menurut Muhadjir, tidak seharusnya Anton Charliyan sebagai juru bicara Polri mengeluarkan pernyataan itu.
"Menurut saya, pernyataan kadiv itu tidak bijak. Menunjukkan arogansi sebagai aparat. seolah-olah aparat itu tidak perlu dikoreksi tindakannya. Seolah-olah aparat tidak melakukan malpraktik, suatu yang tidak bijak," ujar Muhadjir, kepada VIVA.co.id, Rabu 6 April 2016.
Muhadjir mengatakan, sebelumnya PPMuhammadiyah sudah bertemu dengan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Kapolri justru mendukung upaya yang dilakukan oleh Muhammadiyah itu. Tetapi, lanjut Muhadjir, pernyataan Anton justru bertolak belakang dengan Kapolri.
"Semestinya, Kepolisian berterima kasih kepada Muhammadiyah," ujar mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu.
Terkait tudingan bahwa yang mendukung Siyono adalah pro teroris, Muhadjir menilai itu tidak ditujukan ke Muhammadiyah. Sebab, dalam pertemuan dengan Kapolri, Muhammadiyah menjelaskan posisinya mendorong autopsi jenazah Siyono, yang tewas di tangan Densus 88 antiteror Mabes Polri, sebelum diproses hukum.
"Muhammadiyah sudah menjelaskan (kepada Kapolri) posisi terkait kasus Siyono. Kita tidak mencampuri, kita juga tidak ada urusan dengan tuduhan sebagai teroris, tapi kita betul-betul alasan meluruskan kebenaran dan kepentingan keberpihakan pada kemanusiaan. Apalagi, Siyono bukan anggota Muhammadiyah," ujarnya menjelaskan.
Lebih dari itu, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak menilai pernyataan Kadiv Humas Polri, Irjen Anton Charliyan justru sebagai bentuk teror kepada masyarakat. "Pernyataan Kadiv Humas itu penuh dengan teror untuk membungkam usaha masyarakat sipil untuk menemukan fakta," ujar Dahnil, kepada VIVA.co.id, Rabu 6 April 2016.
Â
Dahnil menilai, munculnya pernyataan Kadiv Humas Mabes Polri itu tidak lebih sebagai akrobat opini semata. Yakni dengan menuduh pihak-pihak tanpa dasar dan fakta yang jelas. "Panik ketika ada fakta yang mampu dibuka oleh kelompok masyarakat tentang apa yang sesungguhnya terjadi," katanya menambahkan.
Â
Menurut dia, tudingan ini juga sebagai kedangkalan bernalar Anton. Menurutnya, ada upaya yang dilakukan untuk mengarahkan opini publik dengan medelegitimasi para pihak yang berusaha mengungkap fakta sesungguhnya.
Â
"Padahal sikap Kapolri Jenderal Badrodin Haiti justru sangat arif membuka dan mempersilahkan mengungkap fakta yang sesungguhnya melalui otopsi tetapi Kadiv Humas justru menggunakan jurus mabuk dan jurus panik dengan menuduh semua pihak yang membela Siyono teroris," ujar President Religion for Peace Asia and Pacific Youth Interfaith Network (RfP-APYIN) ini.
[Baca: ]
Â
Evaluasi Densus 88
Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI turut menyesalkan pernyataan Anton Charliyan. PAN bahkan merasa tersinggung ketika jenderal bintang dua Polri itu kelompok yang selama ini membantu keluarga Siyono adalah pro teroris.
"Fraksi PAN mendesak Kapolri untuk mencopot Kadiv Humas dan mencabut pernyataannya yang menuduh kelompok pembela Siyono sebagai Pro Teroris," ujar Wakil Ketua F-PAN Teguh Juwarno, dalam siaran persnya, Rabu 6 April 2016.
Justru kata Teguh, tindakan Densus 88 selama ini yang harus dikritisi. Apalagi, yang sering menjadi sasaran adalah aktivis Islam di Tanah Air.
Polri dan Densus seharusnya mengedepankan upaya deradikalisasi yakni dengan melibatkan tokoh dan ormas Islam untuk mengajak para fundamentalis kembali ke jalan yang benar.
"Perjalanan panjang Muhammadiyah dan ormas Islam di Tanah Air telah membuktikan bahwa Umat Islam Indonesia adalah umat yang moderat dan toleran. Hentikan teror terhadap umat mayoritas di negeri ini," Teguh menegaskan.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani mendukung langkah Muhammadiyah yang membantu keluarga Siyono dalam mencari keadilan. Arsul menilai, proses autopsi terhadap jenazah Siyono sangap penting untuk mengungkap fakta dugaan kekerasan oleh Densus 88.
"Temuan tim forensik tersebut beserta hasil investigasi yang dilakukan oleh berbagai pihak seperti Komnas HAM, Muhammadiyah, dan Kontras merupakan bahan yang berguna untuk mengungkap dugaan tersebut," katanya di gedung DPR RI, Jakarta, Selasa 5 April 2016.
Arsul berharap, hasil autopsi dan data penelusuran berbagai penelusuran dugaan penganiayaan, Siyono juga bisa disampaikan pada DPR.
"Komisi III akan menjadikan bahan yang sangat berguna dalam Rapat Kerja dengan Kapolri untuk mengevaluasi kinerja Densus 88 secara keseluruhan," ujarnya menegaskan.
Politisi PPP ini menambahkan, tidak menutup kemungkinan DPR akan menindaklanjuti data tersebut dengan menggunakan hak politik yang dimilikinya. Hal ini dilakukan, setelah memanggil Kapolri untuk meminta penjelasan.
"Tidak tertutup kemungkinan, hasil tim forensik dan investigasi tersebut akan didalami di Panja Penegakan Hukum Komisi III," tegas Arsul.
[Baca: ]
(asp)