Memburu Aset Wajib Pajak di Luar Negeri

Ilustrasi pembayaran pajak.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA.co.id –  Indonesia segera menerapkan sistem keterbukaan data perbankan mulai 2017, sesuai dengan kesepakatan antara negara anggota G-20 mengenai Sistem Pertukaran Informasi Otomatis atau Automatic Exchange System of Information (AEOI).

Melalui sistem ini, nantinya seluruh Wajib Pajak (WP) yang membuka rekening di negara lain akan terlacak oleh otoritas pajak negara asal. Artinya, seluruh aset para WP yang selama ini disembunyikan di negara lain akan terlihat dengan jelas.

Presiden Joko Widodo pun memperingatkan bagi para WP yang selama ini menyimpan dananya di luar negeri, pada 2018, pemerintah akan dengan mudah mendapatkan data yang diinginkan.

"Pada 2018 semua akan semakin jelas. Seluruh bank internasional akan buka-bukaan semua," kata Jokowi, sapaan Joko Widodo di Balai Kartini Jakarta, Rabu 30 Maret 2016.

Menurut Jokowi, aset-aset setiap individu maupun perusahaan masih banyak yang tersimpan di perbankan luar negeri. Artinya, potensi dana yang selama ini berada di negara lain masih cukup besar.

Presiden mengungkapkan, era keterbukaan yang diterapkan di setiap negara memang tidak bisa dielakkan kehadirannya. Bukan hanya keterbukaan informasi perbankan, melainkan keterbukaan di sektor lain.

Namun, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Mekar Satria Utama, mengungkapkan, pemerintah saat ini tengah merevisi Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) guna mendukung keterbukaan informasi perbankan tersebut.

Menurut Mekar, selama ini keterbukaan informasi yang diberikan oleh perbankan masih terbentur dengan adanya ketentuan yang terangkum dalam UU Perbankan tentang kerahasiaan data. Alhasil, data para nasabah pun tidak dapat diakses secara rinci.

“Sudah ada kajiannya, dan sedang dibicarakan. Terutama mengenai permintaan data yang selama ini dibutuhkan,” ujar Mekar saat berbincang dengan VIVA.co.id, Rabu 30 Maret 2016.

Mekar menjelaskan, data yang selama ini dapat diakses oleh otoritas pajak dalam negeri hanya sebatas ketika sedang melakukan pemeriksaan, atau jika ada salah satu nasabah perbankan yang tersangkut masalah pidana perpajakan. Itu pun harus melalui mekanisme yang panjang, dan terkesan lama.

Sebagai contoh, Mekar melanjutkan, perbankan di Amerika Serikat setiap bulannya selalu memberikan data informasi para nasabahnya kepada otoritas pajak negara tersebut. Indonesia, kata dia seharusnya bisa menerapkan kebijakan yang sama.

“Kami ingin membuka, untuk melacak potensi yang bisa diberikan,” katanya.

Dalam draf UU KUP tersebut, akan ditekankan kepada pembangunan sistem pengawasan dan penegakan hukum perpajakan melalui pembentukan basis data yang kuat. 

Nantinya, pemerintah akan meniadakan kerahasiaan data yang diatur dalam perundang-undangan lain. “Intinya bagaimana ini bisa dipercepat dan diperluas. Akan kami masukkan juga,” tutur Mekar.

Rencana Lama

Menengok ke belakang, upaya untuk dapat melacak aset wajib pajak di luar negeri itu sebenarnya sudah tersirat dalam peraturan dirjen pajak. Dalam upaya menggenjot penerimaan pajak negera, Dirjen Pajak Kemenkeu sejak 28 Desember 2011 sudah bisa menagih utang pajak yang harus ditambah dari wajib pajak hingga ke luar negeri.

Kepastian tersebut diperoleh setelah keluarnya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-42/PEJ/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Bantuan Penagihan Pajak Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). 

Dalam keterangan tertulisnya, Senin, 2 Januari 2012 disebutkan, penagihan kekurangan dari wajib pajak di negara lain bisa dilakukan dengan meminta bantuan penagihan pajak kepada Competent Authority Negara Mitra Tax Treaty atas utang pajak.

Permintaan penagihan pajak tersebut sebagaimana terdapat dalam ketetapan pajak, surat tagihan pajak, surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan atau putusan banding, putusan peninjauan kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.

Permintaan bantuan penagihan pajak kepada Negara Mitra P3B dapat dilakukan oleh Ditjen Pajak dalam beberapa kasus seperti, terdapat utang pajak yang masih dapat ditagih berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib pajak/penanggung pajak yang terutang pajak tidak terdapat di Indonesia.

Selain itu, tidak ada lagi harta wajib pajak atau penanggung pajak di Indonesia yang dapat digunakan untuk melunasi utang pajak, atau telah dilakukan upaya/tindakan penagihan maksimal di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Kondisi lain yang menyebabkan permintaan bantuan penagihan adalah utang pajak tidak sedang dipersengketakan, penanggung pajak tidak mempunyai alasan untuk menolak penagihan utang pajak tersebut, telah dilakukan serangkaian analisis biaya dan manfaat atas utang pajak yang penagihannya akan dimintakan bantuan kepada Negara Mitra P3B, serta utang pajak belum kadaluarsa.

DJP Sebut 91,7 Persen NIK Sudah Dipadankan Jadi NPWP 

Dengan kebijakan baru tersebut, pemerintah Indonesia juga terkena kewajiban untuk ikut membantu permintaan penagihan pajak di wilayah Indonesia jika dimintakan bantuan dari Competent Authority Negara Mitra P3B. 

Berakhirnya era kemudahaan akses data wajib pajak di perbankan ini sebetulnya telah dibahas sejak 2015. Lebih dari 90 negara di dunia sepakat untuk menjadi anggota Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes. Tak hanya negara maju, Indonesia juga bakal menerapkan kebijakan serupa mulai 2018.

Ingatkan Masyarakat Lapor SPT Tepat Waktu, Sri Mulyani: Tinggal Lima Hari Lagi

Membidik target pajak

Sementara itu, Presiden Joko Widodo mengakui, pemerintah saat ini tengah mengkaji revisi target penerimaan pajak, yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar Rp1.360 triliun.

Sri Mulyani: 9,6 Juta Wajib Pajak Sudah Lapor SPT

Menurut Jokowi, penyesuaian target tersebut akan jauh lebih realistis, tanpa menghilangkan rasa optimisme yang ditanam pemerintah.

"Masih dalam proses kalkulasi. Kami tidak ingin tidak terlalu optimistis. Optimistis, tapi tetap realistis," ujar Jokowi di kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa 29 Maret 2016.

Jokowi menegaskan, penyesuaian kerangka penerimaan nantinya tidak akan terpatok pada rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty. Hingga saat ini, pengesahan rancangan undang-undang tax amnesty pun masih terganjal di parlemen.

"Tidak ada ketergantungan dari tax amnesty. Ada atau tidak ada, kami tetap kalkulasi," tutur Presiden.

Sementara itu, di tempat yang sama, Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, mengaku sudah memiliki alternatif lain untuk mengejar target penerimaan negara, jika tax amnesty gagal diterapkan pada tahun ini.

"Kalau tax amnesty tidak dilakukan, kami pasti akan melakukan penegakan hukum. Itu pasti jalan," kata Bambang.

Ia menjelaskan, untuk mendukung program tersebut, pengumpulan data dari basis wajib pajak yang tersebar di seluruh Indonesia pun menjadi hal prioritas. Keterbukaan informasi dari perbankan pun diharapkan bisa dilakukan.

Pemerintah akan berkoordinasi dengan aparat hukum demi mengoptimalisasi program penegakan hukum, dan menggenjot penerimaan negara. "Kami sudah berhubungan dengan kejaksaan, BIN (Badan Intelijen Negara), dan kepolisian untuk upaya mengejar penerimaan," ujarnya. 

Padahal seperti diketahui data pribadi nasabah adalah sesuatu yang sangat dijaga karena termasuk rahasia perbankan. 

Rahasia bank didefinisikan sebagai kewajiban bank untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal tertentu, termasuk untuk kepentingan perpajakan.

Akhirnya agar dapat mengakses data nasabah bank, diperlukan instruksi tertulis dari pimpinan otoritas perbankan kepada bank yang bersangkutan setelah sebelumnya mendapatkan permintaan dari menteri keuangan. 

Kenyataannya hal itu belum dianggap memuaskan pihak pemungut pajak, karena melihat makin banyaknya jumlah rekening di atas Rp1 miliar, namun setoran pajak tidak bertambah.

Melansir laman pajak.go.id, Dirjen Pajak pun kemudian menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 01 Tahun 2015. Inti aturan itu mewajibkan pihak bank selaku pemotong pajak penghasilan (PPh) untuk melampirkan daftar bukti pemotongan atas PPh final bunga deposito, tabungan, diskonto SBI dan jasa giro.

Selain untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak, tampaknya Ditjen Pajak juga ingin mengantisipasi penggunaan perbankan sebagai sarana penghindaran pajak. 

Apalagi saat ini negara-negara di dunia sudah mulai membuka akses data perbankan termasuk Swiss yang dikenal sangat ketat menjaga rahasia nasabah banknya. Dan, akankah Indonesia siap untuk itu?

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya