Ujung Maut Masalah Pelik Polisi
- Pixabay
VIVA.co.id - Tak genap sehari setelah tubuh Ratnita Handriani (34) ditemukan terbujur kaku di atas ranjangnya, polisi langsung menetapkan sang suami, anggota Polres Depok, Bripka Triono sebagai tersangka pembunuhan.
Triono memutus usia sang istri, diduga karena tak sabar mendengar Ranita sering menggerutu. Alasan muring itu, sementara menjadi motif Triono mengajak temannya Rahmat, bertindak seolah Tuhan. Mereka berkonspirasi menghabisi nyawa ibu dua orang anak tersebut di kediamannya sendiri di Cimanggis, Depok pada Minggu 27 Maret 2016.
Jika dirunut dalam dua bulan terakhir, kekerasan berujung maut yang mengait pada personel Polri dan keluarganya, layak menjadi catatan hitam. Sekitar dua pekan sebelumnya, 12 Maret 2016, anggota Brimob, Brigadir Aris menghabisi nyawa sang istri di rumahnya di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.
Brigadir Aris menembak mati Ani Fitriani, dengan pistolnya sendiri. Pembunuhan itu juga berujung percobaan bunuh diri. Sempat dirawat kritis di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Aris tak lama meninggal dunia.
Tidak sampai satu minggu, tepatnya 18 Maret 2016, anggota Polres Metro Jakarta Selatan ditemukan gantung diri di Lenteng Agung, Jakarta. Polisi tersebut bernama Aiptu Suparno.
Sementara itu, sebulan sebelumnya, anggota Satuan Intelkam Polres Melawi, Kalimantan Barat, Brigadir Petrus Bakus membantai dua orang anaknya. Setelah memutilasi anak kandung sendiri, Bakus, bahkan sempat akan membunuh sang istri, meskipun akhirnya bisa digagalkan.
Empat kasus pembunuhan oleh aparat penegak hukum dalam dua bulan terakhir menjadi sorotan publik. Meskipun nyatanya, tindak lanjut soal isu ini belum menjadi perhatian utama Kepolisian. Tatkala satu-persatu anggota dan orang-orang di sekitar mereka menjadi korban, persoalan ini seakan cukup ditindaklanjuti dengan penindakan hukum.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra, Desmond Junaidi Mahesa menilai pembunuhan oleh aparat Polri terhadap orang-orang terdekat mereka, tidak bisa diabaikan begitu saja. Desmond menilai, hal tersebut harus dibahas segera dengan Polri, agar evaluasi kasus-kasus berdarah segera dijalankan.
Mantan aktivis mahasiswa itu menilai bahwa persoalan tersebut harus dibereskan sejak di hulu, yaitu mulai perekrutan para calon anggota Korps Bhayangkara hingga tes psikologi dan tes kejiwaan yang harus mereka ikuti.
“Sistem penerimaan harus dievaluasi ulang. Di mana kesalahannya. Habis reses kami panggil Kapolri untuk membicarakan ini. Apa temuan Kepolisian atas polisi-polisi sakit jiwa kayak gini. Salahnya di mana," kata Desmond Mahesa sebagaimana dikutip dari VIVA.co.id, Selasa 29 Maret 2016.
***
Dua poin yang disoroti Politikus Gerindra ini adalah perekrutan calon polisi yang tidak proper dengan dugaan masih adanya lulus seleksi dengan bayaran, sehingga pribadi yang tidak kompeten bisa lolos.
Poin lainnya adalah, bahwa awak korps ini memang menghadapi beban kerja yang berat, namun tidak memiliki wadah untuk menyelesaikannya. Tak ayal, para personel yang sewajarnya disebut pengayom masyarakat itu justru membantai orang-orang terdekat mereka.
Hal senada juga diutarakan Indonesia Police Watch (IPW). Terjadinya peristiwa berdarah di kalangan personel Polri tak bisa dilepaskan dari sistem perekrutan yang tidak transparan. Ketua Presidium IPW, Neta S. Pane menuturkan bahwa Kepolisian memang masih kurang serius menangani pembunuhan oleh aparat.
Neta, bahkan menyatakan, beberapa kasus kriminal ini akan bisa terulang karena para elite di Mabes Polri diperkirakan tak menganggap masalah tersebut membutuhkan penanganan segera. Dalam catatan IPW beberapa tahun terakhir, terdapat kasus sesama aparat polisi saling bunuh, polisi menembak pacar juga istri, aparat menembak atasan hingga aparat memutilasi anak.
“Ada persoalan kejiwaan yang perlu segera dicermati dan diatasi para elite di Mabes Polri. Sebab, kasus mutilasi ini hanya bagian kecil dari sejumlah kasus sadis yang dilakukan para polisi lapisan bawah sejak beberapa tahun terakhir," kata Neta soal kasus mutilasi anak oleh polisi di Kalimantan Barat.
Perkara maut di kalangan personel Kepolisian dari tahun ke tahun bukannya mengalami penurunan. Dalam hal ini, sistem tes psikologis bagi para calon taruna Kepolisian seyogianya diperketat. Selain sistem perekrutan, masa pendidikan calon polisi juga tak mustahil perlu diperpanjang, sehingga para personel pada akhirnya semakin matang dalam menyelesaikan sengkarut masalah dalam pekerjaan maupun keluarganya.
Selain dua kasus berdarah terakhir yang dilakukan oknum Polri, VIVA.co.id juga sempat merilis pembunuhan yang dilakukan oleh Brigadir Polisi S. Simanjuntak terhadap istrinya, Risma Nainggolan di Riau pada Oktober 2015. Simanjuntak belakangan menjadi buron setelah menjagal sang istri.
Lalu, beberapa bulan lebih awal, di Bieureuen, Aceh, Anggota Polsek Juli bernama Brigadir Kepala Oktoviano bunuh diri dengan menembak kepala sendiri di rumahnya pada tanggal 3 April 2015.
***
Tes kejiwaan
Hari ini, Bripka Triono (T) menurut penuturan Kapolres Depok, Kombes Dwiyono sedang menjalani serangkaian tes di Polda Metro Jaya. Polisi pembunuh istri dan rekannya Rahmat, diancam dengan Pasal 340 Juncto 338 tentang Pembunuhan dengan ancaman hukuman seumur hidup.
"Saat ini, dua tersangka, yakni T dan M, alias R, alias Madun sudah kami lakukan penahanan. Untuk tersangka T, kami lakukan tes psikologis untuk mengetahui kondisi yang bersangkutan. Pemeriksaan dilakukan di Polda di bagian Bidokes," jelas Dwiyono di Depok, Jawa Barat, Selasa 29 Maret 2016.
Kapolres tersebut mengatakan, hingga saat ini dugaan motif pembunuhan adalah masalah pribadi.
Dalam kasus tersebut, Kepolisian sudah memeriksa lima orang saksi. Sementara itu, menurut Ketua RT setempat dan warga, pasangan Triono dan Ratnita memang kerap bertengkar. Bahkan, menurut salah satu anggota Kepolisian yang melayat, pasangan ini sempat hendak bercerai beberapa waktu yang lalu.
"Ya, sering bertengkar. Terakhir ribut, katanya Minggu kemarin," kata Ketua RT lokasi kediaman Triono bernama Waras.
Adanya masalah pribadi ini juga pernah disoroti oleh IPW. Menurut Neta, setidaknya ada tiga hal yang biasanya menjadi masalah pelik di kalangan anggota Polri. Tiga hal itu adalah masalah asmara, atau rumah tangga, masalah pekerjaan termasuk dengan atasan, dan masalah ekonomi. IPW menilai, jika disoroti kasus-kasus kekerasan berujung maut selama ini, motifnya tak jauh dari tiga problem tersebut.
Padahal, Kapolres Depok Kombes Dwiyono, setelah adanya tragedi mutilasi oleh aparat polisi di Kalimantan Barat Februari lalu, sempat menyerukan agar aparatnya meningkatkan kehidupan spiritual masing-masing. Tak hanya itu, Dwiyono juga meminta para kapolsek sebagai atasan memperhatikan bawahan jika ditenggarai sedang menghadapi masalah.
"Kami menyadari tantangan tugas yang kami emban cukup berat, maka perlu peningkatan mental spiritual dari sisi agama. Setiap Jumat, bagi yang Muslim saya wajibkan untuk membaca (surat) Yasin. Ini berkaitan dengan pembinaan mental," kata Kombes Dwiyono.
Nahasnya, tak sampai sebulan berselang, kejadian pembunuhan oleh aparat sendiri malah terjadi di lingkungan Polres Depok. Meskipun pihak Polres sendiri sudah menyadari bahwa pekerjaan dan tekanan sebagai polisi dipercaya menjadi salah satu faktor perilaku devian di antara aparat Kepolisian.
Ketika sejumlah kalangan dan pemangku kepentingan sudah menilai masalah ini tak lagi sekadar isu random, maka memang selayaknya disikapi dengan pendekatan yang intensif oleh jajaran pimpinan Kepolisian.
Polisi dengan slogan melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat itu bisa-bisa tak dipercaya dengan adanya kasus-kasus pembantaian, yang justru dilakukan oleh tangan-tangan penegak hukum. Lambang Rastra Sewakottama korps Bhayangkara tak lagi berwibawa, jika Kepolisian, bahkan tak bisa mengurusi internalnya.
Persoalan mental dan psikologi polisi jangan sampai dianggap enteng. Buktinya pada 2008, sebenarnya sudah ada penelitian mendalam mengenai gangguan psikis yang kerap dialami oleh personel Kepolisian. Penelitian tersebut dilakukan oleh Universitas at Buffalo (UB) yang merupakan universitas negeri ternama di New York. Peneliti UB, John Violanti meneliti 400 aparat polisi secara intensif pada jangka waktu tertentu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tugas sebagai polisi sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik dan mental mereka. Sejumlah gejala yang dialami subyek yang ditelitinya, yaitu gejala tekanan darah tinggi, insomnia, masalah jantung, post-traumatic stress disorder (PTSD) hingga gangguan hormonal yang menyebabkan kasus-kasus bunuh diri.
Polisi, karena itu dianggap pekerjaan yang berbahaya. Bukan saja, karena harus mempertaruhkan nyawa di jalanan, namun justru kritis untuk kondisi mental polisi itu sendiri. (asp)