Kala Terorisme Coba Hentikan Nadi Eropa
- REUTERS/Philippe Wojazer
VIVA.co.id – Ledakan bom yang terjadi di Brussels, Belgia, membuat Eropa tersentak. Ancaman teroris lalu terasa seperti sedang bergerilya, menembus jantung Eropa.
Serangan bom yang terjadi pada 22 Maret 2016 di bandara Zaventem dan stasiun metro Maelbeek di Belgia itu menewaskan sekitar 30-an orang. Serangan ini sangat mengejutkan.
Pelaku bom bunuh diri, kakak beradik Khalid dan Ibrahim el Bakraoui berhasil menembus penjagaan bandara, dan stasiun metro. Dua area publik yang harusnya steril karena ketatnya pemeriksaan. Satu pelaku lagi, yang diidentifikasi sebagai Najim Laachroui bahkan berhasil buron.
Keterkejutan dan ketakutan menyelimuti Brussels. Kota ini adalah pusat Eropa. Bahkan kantor Komisi Eropa berada di kota yang sebelumnya sangat aman ini.
Pemerintah Brussels lalu memutuskan untuk mengunci (lock down) seluruh area publik, termasuk stasiun dan transportasi udara, serta meningkatkan penjagaan hingga level tertinggi.
"Apa yang kita takutkan telah terjadi. Kita dihantam oleh serangan buta," ucap Perdana Menteri Belgia Charles Michels, seperti dikutip dari The Daily Beast, Selasa, 22 Maret 2016.
Brussels terpukul dan berduka. Mereka menetapkan waktu duka cita selama tiga hari. Menutup seluruh area publik, meliburkan kantor dan sekolah, dan meminta warga untuk tetap tinggal di rumah.
Serangan di jantung Eropa ini terjadi hanya selisih empat hari setelah pihak keamanan Belgia berhasil menangkap Salah Abdeslam, tersangka utama serangan Paris yang telah menewaskan 130 orang.
Brussels kecolongan. Padahal, usai penangkapan Salah Abdeslam, pemerintah Brussels mengakui, Abdeslam siap melakukan “sesuatu” dari Brussels.
Menteri Luar Negeri Belgia Didier Reynders dalam sebuah acara diskusi publik, satu hari sebelum bom bunuh diri menyentak Brussels mengatakan, saat penangkapan Abdeslam, pihak keamanan menemukan banyak sekali senjata dan mereka mendapat fakta, Abdeslam sedang membangun jaringan baru untuk melakukan serangan.
"Dari lima orang yang diduga bagian dari jaringan, ternyata kami menemukan 30 nama baru. Ia sangat siap untuk memulai ‘sesuatu’ dari Brussels," ujar Reynders seperti dikutip dari The Daily Beast, Senin, 21 Maret 2016. Dan esoknya, “sesuatu” itu menjadi kenyataan.
Namun, serangan teror tak hanya menghentak Brussels. Sebelum Brussels menjadi sasaran, Turki lebih dulu mendapat serangan.
Bahkan, serangan di Turki jauh lebih menyakitkan. Hanya dalam hitungan bulan, serangan bom bunuh diri memborbardir negara yang eksotis itu.
Dimulai akhir Oktober, ketika sebuah serangan kembar terjadi di Ankara beberapa saat sebelum warga Turki menggelar demonstrasi damai. Dua ledakan besar menewaskan 100 orang dan melukai ratusan lainnya.
Serangan berikutnya terjadi pada Februari, dan masih di Ankara. Sebuah bom mobil meledak di antara rombongan militer Turki yang sedang melakukan konvoi. Sebanyak 28 orang tewas dan belasan lainnya luka-luka.
Lalu, pada 13 Maret, sebuah bom mobil kembali mengguncang Ankara. Serangan itu menewaskan 37 orang.
Belum reda duka cita Turki, tanggal 19 Maret, ledakan bom kembali terjadi. Kali ini bom meledak di lokasi favorit turis di Taksim Square, Istanbul, yang menjadi sasarannya.
Turki bergerak. Presiden Recep Tayyip Erdogan meminta rakyatnya untuk tetap tenang, tak termakan teror, dan menjaga persatuan. Bagi Erdogan, ketenangan rakyat Turki akan membuat pemerintah bisa terus bergerak mengantisipasi kejadian berikutnya.
Tapi, ketika Turki dan Belgia sibuk bebenah, sebuah bom bunuh diri meledak di Pakistan. Ledakan terjadi di taman bermain yang dipenuhi keluarga yang sedang menikmati libur Paskah, Minggu, 27 Maret 2016.
Sekitar 69 pengunjung tewas, dan ratusan lainnya luka-luka. Ahsanullah Ahsan, juru bicara Jamaat-ul-Ahrar, sebuah faksi di Taliban yang sudah bersumpah setia pada kelompok militan ISIS mengaku bertanggung jawab.
“Serangan bom tersebut menargetkan kelompok Kristen yang sedang merayakan Paskah,” ujarnya seperti dikutip dari Fox News, Minggu, 26 Maret 2016. Padahal, jumlah pemeluk Kristen di Pakistan tak sampai dua persen.
Dunia terkejut, dan tersentak. Seluruh pemimpin dunia mengecam serangan tersebut. Paus Fransiskus mengutuk serangan tersebut. Ia meminta agar seluruh manusia menghentikan kekerasan, menghentikan teror, dan kematian yang terjadi akibatnya.
Gedung Putih juga menyampaikan duka cita. “Amerika menyampaikan duka cita atas serangan yang terjadi di Pakistan. Kami bersama Pakistan yang saat ini pasti berada dalam situasi yang sulit,” ujar Ned Price, juru bicara Gedung Putih, seperti dikutip dari USA Today, Senin, 28 Maret 2016.
Eropa Berperang
Ledakan bom bunuh diri, dengan korban puluhan dan ratusan orang, terjadi di empat negara hanya dalam waktu hitungan bulan. Kondisi ini membuat Eropa bergetar. Kelompok militan ISIS yang selama ini mereka perangi menunjukkan giginya.
Mengutip The Guardian, Kamis, 25 Maret 2016, dari laporan yang beredar, serangan di Brussels itu erat kaitannya dengan pelaku serangan di Paris. Apalagi, nyaris di setiap bom bunuh diri yang terjadi, kemudian ISIS mengaku bertanggung jawab.
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan juga mengatakan, salah satu pelaku serangan Brussels pernah tertangkap di Turki pada Juni 2015, dan atas permintaan sendiri dideportasi ke Belanda.
Erdogan mengaku Turki sudah memberi peringatan pada Belgia sejak Juli 2015. Namun, pemerintah Belgia mengabaikan peringatan Turki bahwa penyerang adalah bagian dari kelompok militan.
Presiden AS Barack Obama menyerukan, serangan Brussels adalah sebuah peringatan bahwa seluruh dunia harus bersatu. "Kita semua harus bersatu, melepaskan kenegaraan, ras, dan agama. Kita harus berjuang bersama menghadapi terorisme," ujar Obama.
Perdana Menteri Prancis, Manuel Valls, mengatakan, saat ini Eropa bukan lagi “berpura-pura” sedang perang. "Kita sedang berperang," ujar Valls, tegas.
Bagi Eropa, serangan di Brussels, adalah serangan yang merasuk ke jantung negara-negara makmur tersebut. "Setelah Brussels diserang, artinya seluruh Eropa juga diserang," komentar Presiden Prancis Francois Hollande.
Hollande bersumpah, terorisme baik internasional maupun internal, akan diperangi hingga ke akarnya. Dan Eropa bersumpah, tak akan membiarkan kelompok militan berkuasa dan terorisme merajalela.
Laporan: Dinia Adrianjara