Merancang 3 In 1 Lenyap dari Jakarta
- REUTERS/Beawiharta
VIVA.co.id – Belasan orang berdiri di pinggir jalan di kawasan Pakubuwono, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ada pria, wanita muda, hingga ibu-ibu membawa balita di lokasi itu. Seraya melambaikan satu hingga dua jarinya ke arah para pengendara mobil, mereka menawarkan jasa sebagai joki three in one.
Pemandangan serupa ada di sejumlah tempat lain menuju kawasan 3 in 1 di Ibu Kota. Saban pagi dan sore, para orang tua dan muda beraksi. Mereka menarget para pengendara kendaraan yang hendak masuk kawasan itu, tapi penumpangnya tak sampai tiga orang.
Keberadaan para joki muncul ketika program 3 in 1 (three in one) mulai diberlakukan. Kebijakan itu resmi diterapkan setelah dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 4104/2003 Tanggal 23 Desember 2003.
SK itu berisi tentang penetapan kawasan pengendalian lalu lintas dan kewajiban mengangkut paling sedikit tiga orang penumpang per kendaraan pada ruas-ruas jalan tertentu di Provinsi DKI Jakarta. Ruas-ruas jalan itu di antaranya Jalan Sisingamangaraja, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH Thamrin, Jalan Medan Merdeka Barat, sebagian Jalan Gatot Subroto.
Kebijakan 3 in 1 merupakan salah satu program Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk mengurangi kemacetan di Ibu Kota. Pemberlakuan 3 in 1 dimulai Senin sampai Jumat pada pukul 07.00 - 10.00 WIB dan pukul 16.00 - 19.00 WIB. Tapi, aturan yang diterapkan ketika Sutiyoso menjadi Gubernur DKI ini, tidak berlaku pada Sabtu dan Minggu, serta hari libur nasional.
Setelah berlangsung sekitar 13 tahun, kini muncul wacana untuk menghapus program 3 in 1. Adalah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang melontarkan rencana penghapusan aturan itu. Sebab, aturan tersebut dinilai membuka kemungkinan dilakukannya eksploitasi terhadap anak oleh sebagian orang.
Mereka memanfaatkan pemberlakuan 3 in 1 untuk menjadi joki. Layaknya pengemis, para joki itu tak jarang membawa balita untuk menarik belas kasihan. Mereka diduga juga tak segan mencekoki anak yang dibawanya dengan obat penenang agar tak berisik saat berada di dalam mobil. "Bayi dikasih obat biar enggak ganggu yang punya mobil. Enggak benar itu," ujar Ahok, sapaan Basuki, Senin, 28 Maret 2016.
Wacana penghapusan 3in 1 itu muncul setelah kasus eksploitasi anak di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, terungkap. Pekan lalu, aparat Polres Jakarta Selatan menetapkan empat orang yaitu SM (18), ER (17), NH (35) dan I (45), sebagai tersangka perkara tersebut. Mereka diduga menggunakan bayi berusia enam bulan dan 17 anak berusia 5-6 tahun untuk dijadikan alat mengemis. Petugas menemukan ada indikasi pemberian obat penenang kepada bayi berusia enam bulan yang dimanfaatkan untuk mengamen dan mengemis.
Rencana menghilangkan aturan tersebut tak semata lantaran eksploitasi anak. Namun juga karena program itu dinilai tak efektif membatasi jumlah kendaraan di jalur-jalur yang telah ditentukan. "Saya pikir aturan 3 in 1 enggak ada gunanya juga," ujar Ahok.
Senada seirama. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menyokong rencana Ahok. Alasan utamanya, bukan karena masalah joki, tapi lantaran kebijakan itu tidak mencapai tujuan awal saat digagas, yaitu mengurangi kemacetan. Dia menilai, 3 in 1 tdak efektif lagi untuk solusi kemacetan. "Kami mendesak untuk segera implementasikan ERP (electronic road pricing), yang lebih efektif mengatasi kemacetan," katanya.
Pendapat serupa dikemukakan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra, Prabowo Soenirman. Dia setuju aturan itu dihapus jika tujuannnya untuk mengurangi kesempatan orang melakukan eksploitasi anak. Namun, dia mengingatkan Pemprov DKI mesti menyiapkan aturan penggantinya lebih dulu sebelum 3 in 1 benar-benar dihilangkan. "Sebaiknya dilakukan setelah program ERP dilakukan," ujar Prabowo.
Adapun pihak kepolisian menyatakan masih mengkaji wacana penghapusan 3 in 1. Jika memang dalam kajian nanti aturan ini tdak banyak bermanfaat maka bisa dihapus. "Efisiensi dan efektivitasnya kita lihat, kalau memang tidak banyak berguna ya kita hapus," ujar Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Moechgiyarto
Semula, menurut Ahok, Pemprov DKI memang berencana menghapus 3 in 1 setelah memberlakukan aturan baru ERP. Namun, karena penerapan jalan berbayar elektronik itu mandek, penghapusan aturan 3 in 1 akan terlebih dahulu dilakukan. Selain itu, "Nanti ada MRT (Mass Rapid Transit), 3 in 1 harus disetop."
Selanjutnya... Pengganti 3 in 1
***
Saat ini moda transportasi kereta angkut massal cepat (MRT) tahap pertama tengah dibangun di jalur selatan ke utara (Lebak Bulus - Bundaran HI). Proyek moda transportasi itu dikerjakan bersama di bawah tanggung jawab pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI.
Rencananya, MRT sudah bisa dinikmati saat Jakarta menggelar Asian Games 2018. Namun, penyelesaian itu terancam molor. MRT diperkirakan baru bisa beroperasi pada Januari 2019, atau lima bulan setelah Asian Games 2018 digelar pada Agustus 2018.
Molornya penyelesaian MRT itu lantaran PT MRT Jakarta sempat kendor melakukan pengawasan. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemprov DKI itu, tak mengawasi saat salah satu kontraktor paket proyek menghentikan pekerjaannya. Hal itu lantaran terhambat keberadaan saluran utilitas berupa pipa air dan gas.
Ahok meminta jajaran direksi MRT untuk lebih mengawasi kinerja kontraktor. Ia tak ingin lagi mendengar pengerjaan MRT terhambat karena kontraktor kurang cakap dan PT MRT kurang melakukan pengawasan. "Kalau kamu enggak mau mengurusi, ya saya pecat, ganti orang baru," ujar Ahok
Tak hanya MRT. Sistem ERP pun digadang-gadang sebagai salah satu solusi mengurangi kemacetan di Jakarta. Pemprov DKI pernah melakukan uji coba ERP di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, pada 15 Juli 2014.
Penerapan sistem ini sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DKI Jakarta 2030 junto Perda Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi.
Saat itu, petugas menguji coba teknologi yang akan dipakai dalam ERP. Ketika uji coba pertama kali tersebut, gate entry (gantry) atau gerbang pendeteksi ERP yang telah dibangun berhasil mendeteksi dan mengidentifikasi 4 mobil milik Dinas Perhubungan (Dishub) DKI yang melintas di bawah gerbang. "Gantry berhasil mendeteksi On-Board Unit (OBU) yang dipasang di 4 mobil yang berbeda," ujar Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta saat itu Muhammad Akbar, 15 Juli 2014.
OBU merupakan sebuah alat kecil berbentuk lonjong berukuran sekitar 13 x 5 cm yang harus ditempelkan di bagian dalam jendela mobil. Sistem kerjanya, gantry mendeteksi OBU di setiap kendaraan dari jarak 100 meter sebelum kendaraan tersebut melintasi gantry.
Namun, ternyata alat yang diujicobakan oleh Kapsch AG itu tidak bisa membaca pelat nomor polisi (nopol) kendaraan roda empat saat melintasi gantry. Salah satu penyebabnya lantaran alat dan sistem ERP kesulitan memahami karakter huruf-huruf di pelat nopol kendaraan yang ada di Indonesia. Sebab, tidak semua pelat nopol kendaraan menggunakan standar dari kepolisian, melainkan telah dimodifikasi.