Memperjuangkan Tempe Jadi Makanan Pokok Luar Angkasa

peluncuran roket atlas 5 untuk misi Mars
Sumber :
  • REUTERS/Joe Skipper

VIVA.co.id – Indonesia boleh berbangga hati, karena sebuah eksperimen karya anak bangsa telah dibawa oleh Badan Antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA) dengan menumpang roket Atlas 5, Rabu 23 Maret 2016.

NASA Akan Hancurkan Stasiun Luar Angkasa

Roket tersebut terbang dari Cape Canaveral menuju orbit rendah bumi.  Tidak tanggung-tanggung, ada dua eksperimen buatan siswa Indonesia yang berhasil dibawa NASA, yakni untuk meneliti kemungkinan menciptakan ragi dan untuk mencari kemungkinan menumbuhkan padi di ruang hampa.

Kedua eksperimen itu bisa menjadi awal untuk menciptakan makanan yang bisa bertahan di luar angkasa, nasi dan tempe.

Rusia Ucapkan Selamat Tinggal kepada AS

Kebanggaan ini terungkap jelas dari sisi pemerintah (dalam hal ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) maupun penyelenggara (Indonesia Space Research Group).

Menurut mereka, yang menjadi pencapaian tidak hanya upaya untuk menjadikan nasi dan tempe sebagai makanan pokok di luar angkasa, melainkan lebih dari itu.

Rusia dan AS akan Berpisah

“Lebih dari itu. Ini bagian dari kampanye bahwa Indonesia juga punya peneliti yang bagus, dan punya obyek asli Indonesia (tempe). Saya kira, ini berita bagus bagi bangsa indonesia. Terutama kalangan anak muda, yang punya prestasi bisa masuk dan dikawal NASA. Kita tahu, untuk penelitian masuk ke NASA itu prosedurnya tidak mudah,” ujar Muhammad Dimyati selaku Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristek Dikti, saat dihubungi Viva.co.id, Rabu 23 Maret 2016.

Kebanggaan yang sama juga disampaikan Kepala LIPI, Iskandar Zulkarnain. Selain sebagai sebuah prestasi, hal ini diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi dunia pendidikan di Indonesia, untuk memberikan perhatian dan pemikiran yang serius, guna mendorong tumbuh kembang semangat meneliti di kalangan generasi muda sejak dini.

Sayangnya, Iskandar mengaku belum mengetahui apa target dari hal ini. Ia mengatakan, belum mendapatkan informasi terbaru terkait eksperimen-eksperimen bangsa yang dibawa NASA itu.

“Targetnya belum bisa saya pastikan, apakah padi akan menjadi sumber makanan di luar angkasa nantinya? Dan, karena ini desain anak-anak SLTA, maka kemungkinan ini lebih kepada pemanfaatan program yang ditawarkan oleh NASA bagi mereka,” papar Iskandar.

Meski LIPI mengaku belum mendapatkan informasi lengkap, Kemenristek Dikti justru terkesan mengetahui segalanya. Bahkan, mereka berencana untuk menjadikan siswa-siswa berprestasi ini sebagai salah satu pihak yang akan dikunjungi dalam program kunjungan ke peneliti dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK).

“Saya rencana akan berkunjung ke berbagai peneliti dan LPNK yang berprestasi, termasuk siswa-siswa ini. Soal berhasil atau tidak, tingkat keberhasilan penelitian itu tergantung. Kan, baru mengorbit hari ini. Tapi saya yakin, mereka punya kepercayaan diri untuk berhasil,” ujar Dimyati.

Terkait dengan bantuan dana dari pemerintah untuk keberhasilan penelitian ini, Dimyati mengungkapkan, saat ini ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi untuk bisa mendapatkan anggaran penelitian. Hal ini, karena anggaran baru bisa diberikan jika peneliti bergabung ke konsorsium, atau perguruan tinggi.

“Kalau siswa, bisa kita bantu, kalau mereka gabung ke konsorsium atau perguruan tinggi. Saat ini, kami sedang menyusun Perpres UU pada sub bab penelitian. Jadi, nanti mereka (siswa) bisa diberikan anggaran APBN untuk di luar perguruan tinggi, atau LPNK,” katanya.

Mahalnya harga kirim barang ke luar angkasa

Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristek Dikti Muhammad Dimyati menjelaskan, menurut penuturan Joko Saputro, direktur Indonesia Space Research Group yang menjembatani eksperimen ini, biaya pengiriman perangkat ke Stasiun Antariksa Internasional (ISS) itu luar biasa mahal. Bahkan, bisa sampai US$60 juta. Namun, dalam peluncuran hari ini, mereka hanya membayar satu persen dari harga tetap.

“Biaya peluncuran Rabu tadi pagi sekitar US$60 juta untuk mengangkut payload (muatan) seberat 2,5 ton ke ISS. Dengan kata lain, ongkos kirim dari Bumi ke ISS sekitar Rp4 miliar per kilogram. Perangkat eksperimen ilmiah anak-anak SMA kita beratnya masing-masing sekitar 1/2 kilogram. Jadi, untuk dua eksperimen seharusnya kami membayar Rp4 miliar. Tetapi, biaya yang kami keluarkan hanya satu persen dari harga biaya tersebut karena hasil negosiasi,” papar Saputro, seperti dituturkan Dimyati.

Saputro juga menjelaskan, Rendezvous (pertemuan) kargo dengan ISS diperkirakan terjadi 26 Maret 2016, empat hari sesudah peluncuran ke orbit. Ini merupakan waktu yang cukup lama namun bisa diterima dengan wajar mengingat butuh waktu selama enam bulan bagi Saputro dan para siswa tersebut untuk membuat micro lab tersebut.

“Proses persiapan dari awal hingga peluncuran tadi pagi terbilang singkat. Akhir Mei yang lalu, sesudah selesai mengajar di Michigan, saya mampir ke San Jose (Silicon Valley) dan bertemu dengan beberapa teman yang mantan, atau pensiunan peneliti di NASA. Dari mereka saya mendapat informasi bahwa ada kesempatan untuk ‘menyelundupkan’ eksperimen ke ISS. Saya katakan ‘menyelundupkan’, karena sebenarnya Indonesia bukan bagian dari konsorsium negara-negara yang membangun ISS. Kekhawatiran saya adalah, jika project ini bocor ke media massa terlebih dahulu, dan kemudian ada yang mempertanyakan ‘Why experiment units from Indonesia? Indonesia has not contributed even a single penny to this project!’, saya khawatir eksperimen anak-anak SMA kita dibatalkan oleh NASA. Banyak peneliti senior di US sendiri yang harus antre bertahun-tahun untuk mendapatkan kesempatan emas mengirimkan perangkat eksperimen di ISS. Karena itu, saya tersenyum lega, ketika 3 Maret yang lalu mendapat kabar bahwa eksperimen anak-anak SMA Indonesia sudah loaded ke dalam Cygnus,” tutur Saputro dalam pesan singkatnya kepada Dimyati.

Eksperimen ragi dan padi

Atlas 5 Rabu pagi meluncur denga membawa Cygnus cargo freighter, yang antara lain berisi dua perangkat eksperimen ilmiah yang disiapkan oleh siswa-siswa Indonesia.

Dua eksperimen itu dibuat dalam bentuk micro-lab yang difungsikan untuk bisa meneliti pertumbuhan ragi dan padi dalam kondisi gravitasi nol. Eksperimen pertama disiapkan oleh tim siswa dari SMA Unggul Del di Laguboti, Sumatera Utara. Mereka bertugas mempelajari pertumbuhan ragi (yeast) di luar angkasa.

Ini merupakan eksperimen pendahuluan sebelum meluncurkan eksperimen berikutnya untuk mempelajari cara menciptakan tempe di antariksa. Sedangkan eksperimen kedua disiapkan oleh tim siswa gabungan dari beberapa SMA di Jakarta, Bandung, dan Jayapura untuk mempelajari pertumbuhan padi di luar angkasa.

Penuturan Saputro, Januari lalu, micro-lab buatan Indonesia itu berhasil lolos flight-test NASA yang sangat ketat dan mendapatkan izin untuk diluncurkan. Perangkat micro-lab yang dirancang oleh para siswa SMA tersebut dilengkapi dengan kamera digital, sensor, dan  micro-controller.

Dengan semua perangkat ini diharapkan eksperimen terkait pertumbuhan ragi dan padi dapat diamati dari Bumi, atau di mana pun, asal terhubung dengan Internet. Mereka juga bisa mengunduh foto-foto dari micro-lab yang dipancarkan dari ISS ke Bumi.

"Beberapa hari dari sekarang, para siswa di Laguboti dan di Jakarta, Bandung, Jayapura, akan mulai mengamati dan mencatat hasil eksperimen mereka. Para siswa SMA Indonesia tersebut sudah mendapat undangan untuk mempresentasikan hasil penelitian mereka di Annual Conference of the American Society for Gravitational and Space Research di Washington DC pada November 2016," kata Saputro.

Nama-nama siswa yang terlibat, terbagi dalam dua tim, yakni tim Ragi dan tim Padi. Tim Ragi yang berasal dari SMA Unggul Del, Laguboti, Sumatera Utara, yakni Anisa Auvira, Freddy Simanjuntak, Gilbert Nadapdap, Gomos Manalu, Hagai Sinulingga, Jonatan Daniel, Joy Gultom, Junita Sirait, Martin Siahaan, dan Rudini Silitonga. Tim ini dibimbing oleh Arini Desianti Pratiwi, Elin Bawekes, Riza Muhida, Yalun Arifin, dan Ichsan

Sedangkan tim Padi terdiri dari Anatsya Womsiwor (SMAN 1 Sentani), Bennett J. Krisno (SMA Pelita Harapan Lippo Village), Bob Kaway (SMA Advent Doyo Baru), Derrick Harianto (Binus School Simprug), Gisella Austin (SMA Pelita Harapan Lippo Village), Jason Reysan (SMA BPK Penabur 2 Bandung), Marie Felicia Surya (SMA Pelita Harapan Lippo Village), Natasha Harianto (Binus School Simprug), Stefince Irene Cendrawasih (SMAN 1 Sentani), Tithus Lamek Yewi (SMA Advent Doyo Baru).  Pembimbing tim ini adalah Syailendra Harahap. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya