Menyoal Taksi 'Hitam' Uber dan Grab yang Membelah Arus
- ANTARA FOTO/Yossy Widya
VIVA.co.id – Ribuan sopir di Jakarta kembali beraksi di jalanan. Angkutan yang masih beroperasi dipaksa berhenti. Beberapa mobil dirusak dan penumpangnya dipaksa turun ke jalan.
Kemacetan dan kekisruhan di sejumlah ruas jalan pun tak terhindarkan pada Selasa 22 Maret 2016. Penyebabnya, para sopir menolak adanya layanan angkutan umum yang berbasis aplikasi seperti atau pun sejenisnya seperti Gojek dan lainnya namun tak diatur dalam undang-undang.
Angkutan itu dianggap ilegal. Merugikan dan dituding 'gelap' karena tak membayar kontribusi apa pun ke negara. Tak cuma itu, layanan ini juga diyakini tak memberikan perlindungan kepada penggunanya.
Dan sebagai catatan, demo ini bukan pertama. Ini sesungguhnya juga pernah terjadi serupa di Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Jerman, Korea Selatan, Belgia, Kanada, Belanda, India, Jepang, Filipina, Rusia, Spanyol, Taiwan hingga pun Thailand.
Kehadiran layanan angkutan penumpang sesungguhnya telah hadir sejak tahun 2009 di Amerika Serikat. Lewat jasa ini, para pengguna mobil dimanjakan dengan beragam kemudahan.
Seperti pemesanan cukup lewat telepon seluler, pembayaran tanpa harus uang tunai, tarif jauh lebih murah dari angkutan sejenis dan tentu saja layanannya menggunakan mobil mewah yang kadang hanya bisa dinikmati oleh orang kaya.
Tak pelak, layanan ini pun langsung mencuri hati masyarakat. Dengan cepat, layanan ini berbiak merambah hingga ke 300 kota di 57 negara. Uber Taksi contohnya, setidaknya pada tahun 2013, layanan ini mampu meraup untung hingga Rp237 triliun. Menggiurkan bukan?
"Saya cuma ingin ada aplikasi smartphone yang bisa membawa keliling layaknya orang kaya, dengan sopir pribadi dan mobil mewah," kata pendiri Uber Travis Kalanick ketika ditanya soal bisnisnya dalam suatu wawancara.
Hadirnya layanan ini jelas membelah arus konvensional transportasi. Tarif angkutan yang murah serta dilayani dengan mobil berkelas, membuat publik jatuh hati. Taksi-taksi yang masih mengandalkan argometer pun dianggap tak cukup memenuhi transparansi tarif.
Alhasil, atau mereka yang pun menjadi primadona. Layanan 'memanjakan' itu pun menjadi pilihan bagi mereka yang selama ini bosan dengan atau sejenisnya.
Payung Hukum
Jasa transportasi di Indonesia merebak sejak tahun 2014. Perlahan namun pasti, ini menancapkan kuku bisnisnya.
Dalam perjalanannya, riak protes pun bermunculan. Tentu yang paling lantang suaranya adalah para sopir seperti
Kedua taksi yang sejatinya juga berbasis aplikasi ini menganggap kehadiran di Indonesia mengganggu nasib periuk nasi sopir mereka.
Dari pengakuan para sopir, pendapatan mereka anjlok drastis hampir mencapai 100 persen tiap harinya akibat ulah dua layanan transportasi tersebut.
"Mereka bersaingnya tidak sehat, tidak memakai pelat kuning, dan argo," kata seorang sopir taksi, Suyono.
Di Indonesia, ketentuan yang mengatur tentang layanan transportasi dalam sejumlah undang-undang seperti UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Peraturan Pemerintah tentang Angkutan Jalan.
Dan dalam ketentuan itu, memang tak ada yang menyentuh terkait layanan seperti . Sehingga mahfum adanya, jika layanan tersebut dianggap ilegal.
Itu pun belum dikaitkan dengan UU Nomor 25 tentang Penanaman Modal, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 tahun 2000 tentang Kantor Perwakilan Perusahaan Asing dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Jelas semakin ribet bahasannya.
Sebab itu kemudian pemerintah melalui Kementerian Perhubungan Indonesia pun menawarkan dua opsi pilihan terhadap . Pertama yakni menjadi layanan penyedia aplikasi murni dan kedua menjadi penyedia jasa angkutan umum.
Jika opsi penyedia aplikasi yang diambil, maka layanan ini memang tak bisa mengelola sopir namun murni menjadi penyedia aplikasi di internet atau pilihannya menjadi provider dan itu harus menggandeng angkutan yang telah memiliki izin resmi.
Sedangkan untuk opsi kedua yang diambil yakni pengusaha angkutan umum. Maka, baik Grab Car maupun Uber diharuskan mengurus izin operator. Teknisnya ada dua, yaitu atau non taksi.
"Kalau kategorinya taksi, harus dengan argometer, tarifnya juga ditetapkan oleh pemerintah daerah. Nah, kalau non taksi itu yang mereka sasar adalah rental. Itu juga ada aturan-aturan mengenai aturan rentalnya yang pasti semua kendaraannya itu harus di KIR (Kelayakan kendaraan), harus diasuransikan," kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Sugihardjo, Senin 21 Maret 2016.
Azas Keadilan
Komisaris Tbk Noni Purnomo menyebut sesungguhnya mereka tak pernah merasa terganggu dengan kehadiran transportasi berbasis aplikasi seperti
Hanya saja, ia menekankan agar ada kesetaraan. Sebabnya pemerintah telah mengatur ketentuan jelas soal layanan transportasi dengan cukup rigit dan ketat.
"Ini lebih kepada kesetaraan bisnis. Banyak sekali aturan yang harus ditaati oleh perusahaan transportasi, dalam mengoperasikan kendaraannya," kata Noni di Jakarta, Selasa 22 Maret 2016.
Sebab itu, jika layanan sejenis seperti diberlakukan di Indonesia. Maka layanan ini berpotensi menyalahi ketentuan perundangan yang telah diatur oleh negara. Imbasnya tentu saja pada keselamatan penumpang.
"Sebab itu kami minta pemerintah segera mengambil keputusan. Ini sebagai bentuk perlindungan konsumen," kata pemimpin taksi yang telah beroperasi sejak tahun 1972 tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengaku akan mengevaluasi sistem perundangan yang bisa mengakomodir layanan transportasi seperti di Indonesia.
Ia tak menampik, jika UU yang mengatur selama ini tak membaca perubahan zaman seperti layanan teknologi untuk transportasi. "Tak terbayangkan dengan kita kemajuan teknologi ini seperti ini," kata Luhut, Selasa petang 22 Maret 2016.
Hanya saja, Luhut menekankan bahwa tetap ada hal yang harus dipatuhi dalam ketentuan di Indonesia. Kuncinya, yakni berbadan hukum dan membayar pajak.
"Presiden sudah memerintahkan untuk mengevaluasi supaya ada azas keadilan. Kita hanya memastikan bahwa ada hal yang harus dipatuhi yakni berbadan hukum dan membayar pajak. Jadi beri kami waktu untuk mendalami ini lebih jauh," ujar Luhut di Kantor Menkopolhukam.
Terlanjur Puas
Di bagian lain, polemik ternyata tak memberi pengaruh apapun kepada sejumlah pengguna jasa transportasi ini.
Di jejaring sosial bahkan netizen berbalik menuding bila taksi-taksi resmi itu tak siap dengan perkembangan zaman.
Kemajuan teknologi adalah keniscayaan.
— ADDIE MS (@addiems) March 22, 2016
Taksi konvensional tuntut taksi aplikasi ditutup. Apa toko CD juga hrs minta iTunes dll ditutup ya?
Saya pikir, kalau usaha taksi konvensional ini pakai aplikasi IT yg bagus, bisa lebih unggul. Bahkan sdh berbadan hukum, manajemen bagus dsb
— Tifatul Sembiring (@tifsembiring) March 22, 2016
Fenomena terlanjur puas itu pun merebak dan menguat di kalangan netizen. Mereka pun merisak balik angkutan resmi seperti .
Kesan bluebird sebagai perusahaan taxi yang aman dan berkelas akan hancur dalam sehari ini .. gilanya lagi ini perush Go public..
— Rudi Valinka #HOKI (@kurawa) March 22, 2016
Dead Blue Bird, your time is up. The era is shifting and there's nothing you can do about it. Deal with it :)
— Ernest Prakasa (@ernestprakasa) March 22, 2016
Prinsip secara keseluruhan sederhana sekali, yakni tarif yang murah. Sebabnya, taksi meski memiliki argometer sebagai bentuk transparansi tarif ternyata belum memuaskan.
Lihat saja angka ini sebagai perbandingan. Layanan standar Uber misalnya, dengan menggunakan jenis kendaraan Toyota Avanza, Uber hanya mematok tarif Rp3.000 per buka pintu, per kilometer sebesar Rp2000 dan waktu tunggu Rp300 per menit. Jelas jauh lebih murah dibanding taksi di mata penggunanya.
Apapun itu, layanan transportasi memang sudah beragam saat ini. Namun tetap, apapun bentuknya, mau berbasis aplikasi atau pun tidak, status hukum layanan harus tetap menjadi nomor satu. Jangan sampai, karena kemajuan teknlogi lantas membelah arus dan mengabaikan ketentuan yang mengatur di sebuah negara. (umi)