Otoritas BNN Diperbesar, Setara Kementerian
- VIVA.co.id/ Anwar Sadat
VIVA.co.id - Pertemuan di Ruang Rapat lantai 7 Gedung BNN Kamis lalu ternyata memberi angin segar bagi BNN. Tak sekadar penambahan anggaran dan personel, Menko Polhukam Luhut Pandjaitan usai bertemu dengan Budi Waseso menyebut badan itu bakal naik derajat jadi lembaga setingkat kementerian. Transformasi akan dituangkan melalui perpres. BNN diharapkan makin sekalor memerangi sindikat candu dan jaringan kejahatannya.
Enam bulan menjabat sebagai bos BNN, kiprah Budi Waseso cukup menarik perhatian. Tak seperti sebelumnya, lembaga pemberantas narkoba seakan bergairah, agresif menggerebek kampung-kampung narkoba, pabrik narkotika hingga menyisir lokasi hiburan yang berpotensi sebagai sarang peredaran obat terlarang.
Tak tanggung-tanggung, Buwas, demikian Budi Waseso kerap disapa, menyingkap “borok” dengan eksplisit menyatakan bahwa lapas tak ayal adalah sarang narkoba. Buwas berencana bakal menyerbu lapas-lapas yang ditengarai sebagian besar penghuninya terkait obat terlarang. Data ini pula yang diyakini Luhut Binsar Pandjaitan. Dia membenarkan bahwa 70 persen peredaran obat terlarang dikendalikan dari balik jeruji.
Pada 8 September 2015, Budi Waseso dilantik Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti menjadi kepala BNN. Dia bertukar posisi dengan Komjen Polisi Anang Iskandar yang lalu menempati posisi Buwas terdahulu sebagai kabareskrim Polri. Seakan menyambut gayung keinginan presiden yang mewanti-wanti gerakan nasional antinarkoba, Buwas berangsangan “membersihkan” zona-zona rawan narkotika termasuk di ibukota. Kiprah BNN ini positif ditanggapi Presiden Jokowi. Menurut Presiden, memberantas narkoba memang harus seperti orang gila. Pasalnya, korban narkotika saat ini relatif tinggi. Catatan BNN, 40 hingga 50 orang Indonesia berujung maut akibat narkoba setiap hari. Sementara gembong-gembong narkoba internasional menjadikan Indonesia sebagai pasar besar.
Rasa-rasanya bukan hal mengejutkan kalau dalam hitungan bulan pascapenggantian pimpinannya, BNN diapresiasi. Apalagi wacana penambahan personel dan anggaran sejak beberapa waktu lalu sudah diisyaratkan pemerintah. Rencana menaikkan status BNN menjadi setingkat kementerian memiliki beberapa alasan.
Menurut Luhut Pandjaitan status tersebut akan memudahkan BNN berkoordinasi dengan lembaga lainnya. Sementara menurut Sekretaris Kabinet Pramono Anung, BNN diharapkan tak lagi dibawahi Polri namun bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Perubahan status ini kemudian akan berimplikasi pada perubahan level struktur dan hierarki di BNN. Termasuk kesetaraan Kepala BNN dengan pucuk pimpinan Polri yang setara kementerian. Hal tersebut akan disusul pula perihal anggaran yang juga harus ideal untuk lembaga level kementerian.
“Tentunya untuk hal tersebut harus ada payungnya, harus ada regulasinya, harus ada aturan mainnya,” kata Pramono Anung di Kompleks Sekretariat Kabinet, Jumat 11 Maret 2016.
Yang lalu menjadi alasan adalah keluhan Buwas tentang instansinya yang masih tertinggal dalam hal dibandingkan sindikat narkoba internasional. Soal peralatan, BNN sebenarnya belumlah bisa diandalkan. Sementara personel pula sangat jauh dari jumlah ideal. Dengan jumlah yang diperkirakan seharusnya 74 ribu, BNN baru memiliki 4 ribu awak.
“Kendala peralatan kami kalah dengan sindikat narkoba. Alat mereka lebih canggih. Misalkan ketika kami menyadap mereka, ternyata mereka memiliki alat antisadap,” kata Buwas di Kantor BNN Cawang ketika dikunjungi Menko Polhukam.
Tak hanya soal berhadap-hadapan dengan sindikat narkoba yang sebenarnya, prosedur mereka memasuki lapas juga pernah disebut-sebut harus menemui kendala. Pihak BNN pernah menyatakan harus menunggu lebih dari 1 jam untuk diizinkan masuk lapas untuk penggerebekan. Pihak lapas tak selalu kooperatif dengan BNN.
Dalam 2 hari setelah rencana perubahan status BNN ini disampaikan, tak sedikit pihak yang mendukungnya, termasuk dari Kepolisian. Kabareskrim, Komjen Polisi Anang Iskandar menilai langkah pemerintah itu tepat karena akan menggencarkan pemberantasan narkoba. Tak hanya Anang, legislator dari Komisi III DPR juga bersimpati dengan rencana kebijakan pemerintah.
Rencana ini dicap Ketua Komisi III Bambang Soesatyo sebagai refleksi keseriusan pemerintah dalam menghabisi kejahatan narkoba. Sementara Politikus PKS, Nasir Djamil menilai pemberantasan narkoba mendesak sehingga diperlukan aktor pemberantas yang punya posisi kuat.
“Karena kejahatan narkoba sudah sangat menimbulkan dampak terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Nasir Djamil kepada VIVA.co.id, Jumat 11 Maret 2016.
Jika melihat sejarah perjalanan BNN, lembaga ini ibarat dari waktu ke waktu punya rekam jejak penguatan. Cikal bakal BNN sendiri sudah dimulai sejak Orde Baru. Sayangnya kala itu, pemberantasan narkoba dianggap isu marginal karena keyakinan pemerintah bahwa masyarakat ber-Pancasila akan minim terpengaruh kejahatan
obat terlarang.
Dengan Inpres Nomor 6 tahun 1971, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (BAKIN) diminta menanggulangi 6 masalah nasional, salah satunya adalah penyalahgunaan narkotika. Atas dasar itu dibentuklah badan koordinasi bernama Bakolak yang sayangnya tidak memiliki wewenang operasional. Pula anggarannya hanya melalui kebijakan BAKIN.
Menjelang reformasi hingga pascareformasi, DPR lalu menelurkan Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Dengan mandat UU itu, maka dibentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN). Badan ini dianggap perlu karena penanganan penyalahgunaan narkoba cenderung terlambat dibandingkan negara-negara tetangga yang sudah lebih siap. Perkembangan kejahatan narkoba saat itu pesat di Tanah Air.
BKNN secara kelembagaan diketuai oleh kapolri ex-officio. Namun tak jauh berbeda dengan Bakalok, BKNN juga tidak memiliki anggaran dan personel sendiri sehingga harus mengandalkan satuan tugas dari Kepolisian. Tak lagi dianggap memadai, kebijakan ini lalu dikoreksi.
Dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002, BKNN berganti nama menjadi BNN. Selanjutnya, dengan perkembangan kejahatan narkotika yang semakin luas, kewenangan BNN diperkuat melalui dasar UU baru hasil revisi yaitu UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. BNN memiliki anggaran, personel, hingga kewenangan penyelidikan dan penyidikan.
Perihal BNN dalam UU Narkotika mulai diterakan dalam Bab XI tentang Pencegahan dan Pemberantasan.
“Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya disingkat BNN,” begitu bunyi Pasal 64 ayat (1) UU Narkotika.
Sementara dalam Pasal 64 ayat (2) disebutkan bahwa BNN adalah lembaga negara nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sementara wewenang penyelidikan, penangkapan, penyidikan, penyadapan BNN juga diatur jelas dalam produk legislasi tersebut mulai Pasal 69 hingga Pasal 71 yang sesungguhnya menunjukkan betapa kuat wewenang lembaga ini kendatipun dalam struktur pemerintah hanya dipimpin oleh level eselon 1.
Kuatnya wewenang BNN yang dimandatkan UU lalu membuat sejumlah kalangan merasa tak perlu institusi ini naik derajat. Semua kewenangan yang perlu dimiliki dalam hal pemberantasan narkoba sebenarnya sudah dikantungi BNN. Apalagi saat ini Negara masih memiliki alat lain untuk menangani masalah tersebut yaitu Polri. Kepolisian sejak lama memiliki Direktorat Khusus Tindak Pidana Narkoba bahkan satuan ini memiliki hierarki hingga ke tingkat Polsek di seluruh Indonesia.
Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan pemerintah tak perlu menambah lembaga baru yang levelnya kementerian. Hal tersebut dianggap tak juga signifikan akan mendongkrak angka statistik pemberantasan obat terlarang di Tanah Air. Kebutuhan saat ini menurut Refly bukan lagi menambah lembaga baru namun mengevaluasi dan menjadikan fungsi lembaga-lembaga yang ada semakin efektif. Adanya lembaga baru diyakini bakal jadi “lahan” pejabat-pejabat baru yang digaji tinggi namun tak terjamin kinerjanya.
“Kalaupun kita akhirnya harus membentuk lembaga baru jangan buru-buru juga, langsung ditempatkan di bawah presiden setingkat menteri, karena itu berkenaan dengan fasilitas kan,” kata Refly Harun.
Refly menambahkan hal semacam ini yang terjadi dalam pembentukan BNP2TKI, lembaga setingkat kementerian yang mengurusi soal TKI dan dalam perjalanannya memiliki fungsi tumpang tindih dengan Kementerian Tenaga Kerja. Pada periode pemerintahan lalu, menteri tenaga kerja bahkan tak akur dengan kepala BNP2TKI yang menyebabkan mandeknya koordinasi.
“Secara formal di bawah presiden kan. Tapi presiden tidak bisa kontrol secara langsung juga. Jadi lebih baik tetap berkoordinasi di bawah kementerian,” kata dia lagi.
Sementara Anggota Komisi III Arsul Sani dari dari Fraksi PPP mengungkapkan pendapat berbeda dengan dua rekannya di Komisi Hukum. Arsul menilai, naik kelasnya BNN secara kelembagaan bukanlah solusi pemberantasan narkoba. Pemerintah disarankan lebih konkret antara lain menambah signifikan jumlah anggaran dan personel. Hal itu kata politikus PPP ini langsung menyentuh kebutuhan BNN selama ini.
Dia menambahkan, kalaupun BNN ingin dijadikan lembaga pemberantas tunggal setingkat kementerian maka secara birokrasi harus diatur agar tak ada dualisme fungsi dengan Direktorat Narkoba di Kepolisian.
“Sekarang ini kan ada double kewenangan. Ada kewenangan untuk penindakan di Direktorat Narkoba Polri dan ada juga di BNN. Kan kalau ada penggerebekan bisa di Narkoba Polisi bisa di BNN. Jadi pemerintah harus menegaskan siapa yang jadi leading sector,” kata Arsul Sani.
Adanya bagian Polri dengan wewenang sejenis BNN jika dijadikan setara kementerian serta potensi lembaga baru bakal membengkakkan anggaran selayaknya menjadi pertimbangan pemerintah untuk berpikir ulang soal perubahan status BNN. Pada dasarnya toh lembaga pimpinan Buwas ini sudah cukup mapan dalam aturan yura fungsinya. Apalagi yang selama ini dikeluhkan hanyalah soal peralatan hingga personel yang sejurus bisa terjawab dengan penambahan anggaran.
Namun Nasir Djamil mencoba menjawab hal tersebut. Dia menilai bahwa keberadaan BNN sebagai kementerian tak akan berujung pada tumpang tindih fungsi dan kebijakan kelembagaan. Kuncinya kata Nasir adalah sinergitas.
“Justru akan diatur agar BNN ke depan bisa bersinergi dengan tingkatan yang paling bawah,” kata Nasir Djamil.
Namun argumen ini pula tak serta-merta bisa diterima jika merujuk pada pengalaman lalu. Barangkali Anggota Komisi III itu lupa bahwa hal yang paling sulit dalam pemerintahan selama ini adalah perihal koordinasi itu.
Sebut salah satunya soal pemberantasan korupsi. Yang selalu diserukan adalah adanya sinergitas antara KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Pada kenyataannya tak sekali dua kali terjadi singgungan yang berujung pada jilid-jilid kriminalisasi KPK.
Bahkan Menko Polhukam Luhut Pandjaitan dalam wawancara khusus dengan VIVA.co.id beberapa waktu lalu mengatakan, bahwa tugas besarnya adalah membereskan persoalan sinergi. Masalah klasik yang disebut koordinasi diakui menko masih menjadi persoalan.
“Itu di mana-mana. Selama setahun saya di pemerintahan ini, itu (koordinasi) sangat jelek kita dan itu yang sedang diusahakan kerja keras oleh Presiden,” kata Luhut Pandjaitan.