Nestapa Guru Honorer
- VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id – Bertahun-tahun sudah guru membagikan ilmu dan menciptakan pemimpin negara, peneliti, alim ulama sampai pengusaha. Namun, keberhasilan mereka dalam mencetak generasi sukses berbanding terbalik dengan nasib mereka sendiri. Apalagi bagi guru honorer, yang dalam sebulan masih ada yang cuma mendapatkan upah Rp350 ribu - jauh dari layak.
Kondisi ini menciptakan frustasi pada Mashudi (38), guru honorer di SMAN 1 Ketanggungan, Brebes, Jawa Tengah. Alhasil dia harus ditangkap kepolisian dan mendekam di rumah tahanan Polda Metro Jaya, sejak Kamis 3 Maret 2016 lalu, karena diduga mengirimkan pesan bernada ancaman via SMS kepada Yuddy Chrisnandi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB).
Ancaman dilayangkan, karena Mashudi kesal dengan Yuddy, yang tidak juga mengangkatnya menjadi guru tetap. Atas perbuatannya ini, dia pun dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Peristiwa penangkapan ini menyebar di media massa sehingga mendapatkan perhatian Menteri Yuddy Chrisnandi. Politikus Partai Hanura itu pun pada Kamis, 10 Maret 2016, langsung mencabut laporannya di Polda Metro Jaya, sehingga Mashudi bisa dibebaskan.
"Pak Menpan (Yuddy) telah memaafkan apa yang telah dilakukan oleh Pak Mashudi. Jadi sekarang saya ditugaskan beliau untuk mencabut laporan atas apa yang telah saya laporkan pada 28 Februari 2016," ujar Reza Pahlevi, Sekretaris Pribadi Yuddy Chrisnandi, di Mapolda Metro Jaya, Kamis 10 Maret 2016.
Laporan ini dicabut, karena Mashudi telah mengajukan permohonan maaf dalam surat yang diberikan lewat penjaminnya, yaitu mantan Menteri Pertanian, Suswono.
Sementara terkait permintaan Mashudi untuk diangkat jadi pegawai negeri sipil (PNS), Reza menjelaskan, kementeriannya masih mengkaji hal ini. "Masih kita carikan terus solusi dan upayanya seperti apa," ucapnya.
Guru Honorer Cuma Tagih Janji
Menanggapi penangkapan ini, Ketua Forum Honorer Kategori 2 Indonesia (FHK2I) Tuti Purwaningsih dalam perbincangannya dengan tvOne, Kamis 10 Maret 2016, mengungkapkan bahwa rasa frustasi yang dirasakan Mashudi, juga dialami ribuan tenaga honorer yang kini nasibnya semakin tidak jelas.
"Kita tahu diri tidak meminta sekaligus diangkat, kita sabar menunggu tahapan itu, dengan jalan regulasi yang jelas, jadi kita menunggu dengan adanya kepastian. Tidak seperti sekarang, sehari mau diangkat, kemudian dibatalkan," ungkap Tuti.
Dia juga menyesalkan sikap Yuddy yang terkesan membuat sulit proses pengangkatan guru honorer ini, dengan membuat dalih tidak adanya payung hukum dan anggaran pemerintah untuk membiayai gaji mereka nantinya.
"Regulasi dan anggaran, Menteri Keuangan bilang tidak masalah. Regulasi, Menkumham (Menteri Hukum dan HAM) juga bilang tidak masalah. Sekarang mau alasan apa lagi? Ini yang kita masih menanti," tuturnya.
Tuntutan ini tidak berlebihan, jika mengingat masa pengabdian mereka ada yang sudah 40 tahun lebih, seperti Maman Supratman, guru honorer di SMP Negeri 17 Kota Bekasi. Dia sudah mengabdi sejak 1974, tapi sampai saat Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan mendatanginya Desember 2014 lalu, dia masih berstatus tenaga honorer.
Dukungan terhadap pengangkatan guru honorer menjadi PNS sebenarnya sudah tidak ada kendala secara politik. Setelah unjuk rasa guru honorer pada Februari lalu, Wakil Ketua Komisi II DPR, Wahidin Halim, menjelaskan Komisi II DPR tidak mempermasalahkan rencana itu. Namun dia menilai adanya kisruh pengangkatan tenaga honorer ini dipicu ketidakkonsistenan Yuddy.Â
"Kemudian sekarang Menteri PAN Yuddy Chrisnandi membatalkan keputusan pengangkatan tenaga honorer K2 (Kategori 2) yang sekarang berjumlah kurang lebih 400 ribuan orang se-Indonesia dengan alasan pengangkatan tenaga Honorer K2 ini tidak memiliki landasan hukum," kata Wahidin Jumat 12 Februari 2016.
Janji Tinggal Janji
Tuntutan pengangkatan guru honorer menjadi PNS ini sebenarnya bukan masalah baru. Setidaknya sudah sejak 2009, mereka berulang kali menggelar unjuk rasa dan menyampaikan aspirasi mengenai kondisi mereka pada pembuat kebijakan di negeri ini. Baik Presiden dan DPRÂ sudah mereka datangi, demi diberikan status yang jelas.
Akhirnya, pada September 2015 lalu, Yuddy dihadapan Komisi II DPR mengungkapkan janjinya untuk mengangkat guru honorer menjadi PNS secara bertahap. "Pemerintah akan membuat roadmap (program) pengangkatan seluruh honorer K2 tersebut menjadi PNS secara bertahap hingga 2019," katanya di kompleks Parlemen di Jakarta, Selasa, 15 September 2015.
Syaratnya, pemerintah bisa menghemat anggaran agar bisa mengalokasikan Rp34 triliun buat gaji, rekrutmen mengedepankan mereka yang memenuhi syarat, dan pemerintah perlu membuat desain kebutuhan atas pengangkatan guru honorer menjadi PNS.Â
Pada kesempatan berbeda, Yuddy juga mengungkapkan akan memprioritaskan pengangkatan guru honorer di kawasan pedesaan, perbatasan negara, pulau terluar dan daerah terpencil. "Yang diutamakan guru yang sudah lama mengajar di kawasan pedalaman dan terpencil," ungkapnya di masjid Markas Polda Jatim, Surabaya, Jawa Timur, Jumat 5 Februari 2016.
Tapi, hampir 6 bulan sejak janji itu terucap, tak juga terlihat realisasinya. Yuddy seolah menelan ludahnya sendiri, dan guru honorer tak juga berstatus PNS. (ren)