Euforia Gerhana Matahari Total
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id - Menjelang pagi, suasana riuh di bibir Pantai Tanjung Kelayang, Kabupaten Belitung, Rabu, 9 Maret 2016. Ribuan orang berduyun-duyun memadati kawasan pantai sejak Subuh. Mereka ingin menyaksikan fenomena langka ratusan tahun sekali, Gerhana Matahari Total (GMT).
Menjelang pukul 07.00 WIB, ribuan orang di pinggir pantai bertepuk tangan sembari bersorak, saat menyaksikan langit di atas pantai mulai redup, karena piringan Bulan mulai menutupi Matahari. Para wisawatan mulai mengenakan kaca mata pelindung untuk menyaksikan proses gerhana Matahari.
Sepuluh menit kemudian, langit mulai gelap. Pagi itu, suasana di Belitung seperti saat senja tiba, sinar Matahari semakin menipis dan bentuk sang surya seperti sabit.
Puncaknya terjadi pukul 07.20 WIB, langit Belitung berubah menjadi gelap untuk beberapa saat. Ketika itu, piringan Bulan penuh menutupi Matahari, tersisa cahaya korona Matahari yang memancar indah di balik piringan Bulan.
"Luar biasa, Subhanallah, Allahuakbar," kata salah seorang wisatawan yang menyaksikan GMT di Tanjung Kelayang, Belitung.
Sayang, fenomena langka di Pantai Tanjung Kelayang, Belitung, ini hanya berlangsung sekitar 2 menit. Perlahan, Matahari kembali bersinar, dan pukul 07.24 WIB, langit Tanjung Kelayang kembali terang benderang, seperti sedia kala.
Euforia menyaksikan momen langka GMT juga dirasakan warga Kota Palembang, Sumatera Selatan dan Palu, Sulawesi Tengah. Di Palembang, lokasi nonton bareng gerhana Matahari dipusatkan di Jembatan Ampera. Warga tumpah ruah memadati ikon Kota Palembang itu. Sejumlah acara pun disuguhkan pagi itu.
Palembang menjadi kota pertama dari berbagai kota besar yang dilalui oleh GMT abad ini. Proses terjadinya GMT di Palembang hanya 06.20 WIB, puncaknya terjadi pukul 07.20 WIB, di mana langit Palembang tiba-tiba gelap selama 52 detik. Sayangnya, momen langka tersebut terhalang .
"Kita kehilangan momen karena tertutup awan (asap). Seperti yang dijelaskan sebelumnya, gelapnya sekarang bukan karena mendung, melainkan pancaran sinar Matahari yang tertutup oleh Bulan dengan sempurna," ucap Kepala Bagian Humas Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Jasyanto di Jembatan Ampera, Rabu 9 Maret 2016.
Di Palu, Sulawesi Tengah, gema takbir menggema di tempat pemantauan gerhana di Lapangan Dolo Sigi, Palu, Sulawesi Tengah. Puncak fenomena gerhana Matahari total di Palu terjadi pada pukul 08.38 Wita.
"Allah Akbar, Allah Akbar. Subhanallah, Alhamdullilah, Allah Akbar," sahut warga yang melihat fenomena alam yang terjadi 350 tahun sekali ini.
Pemantauan gerhana di Lapangan Dolo Sigi, Palu, menjadi istimewa karena dihadiri langsung Wakil Presiden Jusuf Kalla. Didampingi sejumlah pejabat setempat, JK yang mengenakan kemeja batik dengan seksama menyaksikan GMT dengan kacamata gerhana. Setelah gerhana selesai, JK menyempatkan diri berdialog dengan masyarakat.
Suasana serupa juga terjadi di Anjungan Nusantara Pantai Talise, Palu, di mana puluhan ribu masyarakat Kota Palu takjub menyaksikan langsung detik-detik saat Matahari ditutup oleh Bulan. Saat gerhana terjadi, seketika Kota Palu gelap. Ribuan warga pun berteriak histeris. GMT di Palu berlangsung sekitar 2 menit 20 detik.
Sementara itu, warga Ibu Kota Jakarta tak seberuntung warga Pelembang, Belitung maupun Palu. Di Jakarta hanya mengalami gerhana matahari hampir total. "Untuk Jakarta sendiri tertutup sekitar 90 persen," kata Deputi Geofisika BMKG Masturiyono di kantor BMKG, Jalan Angkasa, Jakarta Pusat, Rabu 9 Maret 2016.
Masturiyono menyebut sentuhan pertama Bulan menutupi Matahari untuk wilayah Jakarta tercatat sekitar pukul 06.21 WIB. Adapun durasi Matahari tertutup Bulan yang bisa terlihat di Jakarta hanya berlangsung kurang dari satu menit.
Selain berkumpul di lokasi-lokasi pemantauan gerhana, tak sedikit warga di sejumlah wilayah di Indonesia yang memilih menggelar salat gerhana saat peristiwa GMT terjadi. Salat sunnah gerhana merupakan wujud rasa syukur dan meneguhkan keimanan atas kebesaran Allah dengan terjadinya GMT.
Perilaku Satwa
Peristiwa langka GMT 2016 yang bertepatan dengan Hari Raya Nyepi itu tidak hanya dirasakan bagi umat manusia. Beragam satwa juga menunjukkan reaksi berbeda saat terjadi GMT. Setidaknya reaksi sejumlah satwa liar itu yang diamati ilmuwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat terjadinya GMT, Rabu 9 Maret 2016.
Salah satu observasi dilakukan di Pusat Penelitian Biologi LIPI di Cibinong, Jawa Barat. Di sini, beberapa tim melakukan pengamatan pada sejumlah satwa liar yang ada di penangkaran seperti hewan mamalia, burung, dan reptil.
Kasubdit Kerja Sama dan Pusat Informasi LIPI, Ruliyana, menjelaskan, ini dilakukan karena dulu ada penelitian penyebab GMT terhadap perilaku abnormal pada satwa.
"Selain di sini, kami juga membagi tim Rolelindu di Palu, Sulawesi Selatan, yakni pengamatan kelelawar, burung dan reptil. Sedangkan di Cibinong ini ada penangkaran satwa liar, reptil, burung. Hasilnya, untuk jenis burung yang di dalam kandang jadi sunyi seperti tidur," kata Ruliyana saat di temui di Gedung Satwaloka komplek LIPI, Cibinong, Bogor.
Perilaku ini, kata Ruliyana, juga terlihat pada hewan mamalia, khususnya yang nokturnal atau aktif pada malam hari. "Begitu terang, dia cari posisi untuk tidur. Setelah gelap (GMT) dia cari posisi aktif, namun kan di sini tidak terlalu gelap," kata dia.
Selanjutnya untuk jenis serangga, umumnya menyangka fenomena gerhana sebagai tanda pergantian siang ke malam. Misalnya, tongeret yang saat gerhana mengeluarkan bunyi lebih rendah. Lain halnya dengan kumbang kotoran, pada pagi hari dia terlihat aktif, dan begitu Matahari mulai tertutup serangga ini memilih masuk ke tanah.
"Mungkin dikira kehidupan siang sudah berakhir. Tentu saja respons ini mungkin tak jauh berbeda dengan satwa yang ada di alam liar," ujar Kepala Bidang Zoologi LIPI, Hari Sutrisno.
Di tempat yang sama, peneliti Mamalia LIPI, Wartika Rosa Farida mengatakan, dari riset ini bisa disimpulkan satwa jurnal (yang beraktivitas di siang hari) tidak terlalu terpengaruh dengan perubahan gerhana.
"Mamalia yang paling sensitif atau menunjukkan respons positif di penangkaran ini adalah kukang. Pada saat cahaya terang dia tidur, namun saat gerhana kembali beraktivitas," ucapnya. Untuk jenis reptil tidak terpengaruh cahaya, namun suhu.
Taman Marga Satwa Ragunan (TMSR), Jakarta Selatan, juga turut melakukan pengamatan satwa-satwa saat terjadi gerhana Matahari. Terutama untuk satwa yang biasa beraktivitas atau lebih aktif pada malam hari.
Hal itu lantaran langit menjadi gelap, sehingga tampak seperti malam hari. Salah satu yang terlihat adalah burung Pelikan. Burung berleher panjang tersebut terlihat cenderung tidak turun ke air. Yang biasanya sudah mulai aktif, namun saat gerhana terjadi, burung tersebut terlihat tidak ada yang turun.
"Burung Pelikan. Biasanya jam segini aktif masuk air. Enggak ada yang turun. Cenderung tidur," kata Humas Taman Marga Satwa Ragunan (TMSR) Wahyudi Bambang di Ragunan, Jakarta Selatan, Rabu 9 Maret, 2016.
Perilaku satwa primata yang biasa mulai beraktivitas di siang hari juga kembali ke kandang. Hal ini lantaran saat fenomena gerhana Matahari terjadi langit tampak kembali mulai gelap seperti malam hari.
Satwa primata yang dimaksud adalah monyet dan kera. Mamalia yang menjadi anggota ordo biologi Primates yang semula sudah keluar kandang. Namun, saat fenomena terjadi, satwa tersebut kembali masuk ke kandang tidurnya. Termasuk Siamang yang cenderung lebih aktif bersuara yang biasa dilakukan menjelang tidur.
"Mereka masuk ke rumah tidurnya. Nggak ada yang keluar," ujar Wahyudi. [Baca:
]
Perubahan perilaku biologis juga dialami Macan Tutul yang di Ragunan. Fenomena GMT yang membawa perubahan dari terang ke gelap, membuat satwa Macan Tutul yang semulanya sudah keluar kemudian kembali untuk tidur pada saat fenomena gerhana terjadi.
"Tadinya Macan Tutul sudah keluar. Karena ada perubahan terang menjadi gelap. Macannya kembali masuk lagi dan tidur," kata Kepala dokter hewan di Taman Marga Satwa Ragunan (TMSR) drh. Syafri Edwar.
Kapan Gerhana Lagi?
Terlepas dari fenomena yang terjadi saat peristiwa langka GMT di Indonesia pada 9 April 2016, peristiwa langka GMT di Indonesia yang menyedot perhatian dunia dinilai positif. Betapa tidak, 12 provinsi di Indonesia menjadi menjadi titik stategis dilintasi GMT. Kondisi ini tidak saja menjadi berkah bagi daya tarik wisata, tapi juga perkembangan ilmu pengetahuan.
Saking langkanya peristiwa ini, fenomena GMT 2016 ini dianggap sangat istimewa. Sebab, peristiwa ini sangat langka terjadi, bahkan diperkirakan baru terjadi lagi 350 tahun yang akan datang. Karena termasuk langka, sejumlah wisatawan asing pun rela untuk datang mengunjungi lndonesia untuk menikmati fenomena alam tersebut.
"Mungkin yang kaya gitu, kita nggak pernah lihat lagi. Langka sekali, makanya ini laku jual, jadi seluruh dunia melihat ke lndonesia," ujar Deputi Geofisika BMKG, Masturyono saat dihubungi, Rabu, 9 Maret 2016.
Masturyono menjelaskan, terdapat periode pendek dan panjang dalam siklus gerhana Matahari. Menurut dia, fenomena gerhana Matahari sebenarnya cukup sering terjadi. Bahkan dalam satu tahun, bisa terjadi beberapa kali gerhana Matahari, namun tidak total.
Ketika gerhana total pun, belum tentu bisa terlihat dari hampir sebagian besar wilayah Indonesia. Seperti contohnya saat gerhana Matahari 1983 yang hanya bisa dinimati di beberapa daerah saja, termasuk Tanjung Kodok dan Makassar.
Hal tersebut yang kemudian menjadi pembeda gerhana Matahari pada 2016. Hampir sebagian besar wilayah di lndonesia bisa melihat fenomena tersebut, meski hanya parsial.
"Daerah yang 100 persen Matahari tertutup saja sudah beberapa provinsi, yang seluruh lndonesia melihat gerhana itu, tapi sebagian besar hanya 90-80 persen," katanya.
Dengan besarnya antusias masyarakat baik lokal maupun mancanegara untuk menyaksikan fenomena GMT, muncul pertanyaan kapan GMT akan kembali melintas di Tanah Air?
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin pun memberikan informasi mengenai kedatangan GMT di wilayah Indonesia kembali. Menurut Thomas, fenomena serupa akan kembali terulang di Indonesia tujuh tahun mendatang.
"Nanti akan ada GMT lagi tahun 2023. Cakupannya nanti akan terjadi di wilayah Indonesia bagian timur, melintasi Papua," ujar Thomas Djamaluddin ketika dihubungi VIVA.co.id melalui sambungan telepon, Rabu, 9 Maret 2016.
Bahkan, kata Thomas, tak hanya 2023 akan terjadinya GMT, melainkan juga akan berlangsung pada 2042. "Untuk GMT 2042 akan melintasi hanya Sumatera dan Kalimantan," ungkap pria yang juga ahli di bidang astronomi terebut.
Mengenai karakteristik dari GMT 2016 dengan GMT 2023 atau GMT 2042, Thomas menegaskan kalau semuanya mempunyai perbedaan tersendiri. Artinya, gerhana yang telah terjadi hari ini akan berbeda dengan GMT 2023 ataupun 2042.
"Gerhana mempunyai karakter masing-masing, jalurnya berbeda, lebar, dan lamanya juga. Biasanya (GMT) terjadi tergantung pada konfigurasi Matahari, Bulan, dan Bumi," ucapnya.
Begitu pula berlangsungnya GMT 2016 dengan GMT 2023 dan GMT 2042. "Bulan pasti akan berbeda-beda (tidak selalu bulan Maret), karena Gerhana berubah-ubah dari segi waktunya," tutur Thomas.
Sebagaimana diketahui, GMT melintasi wilayah Indonesia pada 9 Maret 2016. Ada 12 provinsi di Indonesia yang dapat menyaksikan langsung peristiwa yang akan terjadi 350 tahun lagi itu.
Wilayah tersebut adalah Bengkulu, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara.
Adapun tujuh kota yang dilewati GMT adalah Bengkulu, Palembang, Samarinda, Palu, Tanjung Pandan, Pangkalan Bun, dan Ternate.
Selain itu, sejumlah daerah lain di Indonesia juga bisa menyaksikan Gerhana Matahari Sebagian (GMS), antara lain, Padang, Jakarta, Bandung, Surabaya, Pontianak, Denpasar, Banjarmasin, Makassar, Kupang, Manado, dan Ambon.